"Kemarin bilang nggak ada rencana, eh pagi-pagi udah sarapan bareng aja. Ketawa-ketawa, lagi," Wida merepet ketika Sukir masuk ke dalam ruangan.
Sukir belum juga melemparkan bokong ke kursi, merasakan ini sebuah serangan untuknya.
"Lagi marah sama siapa Mbak?" Sukir pura-pura tidak merasa sedang disindir Wida.
"Pagi Mbak Wida. Pagi Mas Sukir," Agnes masuk ke dalam ruangan dengan panik, ia tergesa-gesa menuju kubikel dan menyalakan komputer.
"Masih pagi udah heboh aja, Nes?" tanya Sukir.
"Aku ada pengikatan di Sunter, Mas. Debiturnya Kakak sih. Tapi karena dia ada pengikatan juga nanti jam 11 di Ancol, jadi aku yang diminta berangkat," jelas Agnes.
"Lah, itu kan satu arah. Kenapa dia nggak sekalian?" tanya Wida.
"Katanya takut nanti kelamaan dan malah nggak cukup waktu ke Ancol,"
"Memang dia aja yang ingin pelesir ke Ancol," cibir Wida.
"Eh, Sukir! Ceritain gimana tadi bisa sarapan sama Karin? Udah curi start aja lo tanpa pemberitahuan ke kita!" cerocos Riri yang baru masuk ke dalam ruangan, melempar tasnya ke kubikel sebelah Sukir, lalu menarik kursi untuk mendekat.
"Duh, masih pagi udah disidang bareskrim," kening menjadi sasaran tepukan Sukir. Pagi begini sudah harus berhadapan dengan dua master ghibah.
"Cepetan cerita! Sebelum kakak datang,"
"Ancamannya itu terus. Kakak datang juga nggak ada pengaruhnya sama sekali, Mbak,"
"Kakak langsung ke Ancol nanti, nggak ke kantor dulu," ujar Agnes yang masih dengan tergesa-gesa menyiapkan berkas.
"Wah, lebih aman lagi. Interogasi bisa berjalan panjang nih," Wida semakin bersemangat.
"Eh mau ke mana lo?!" baru saja Sukir akan beranjak dari kursi, belum setengah badan berdiri, sudah ditahan Riri, dengan setengah paksa menekan pundak Sukir turun dan kembali duduk.
"Saya mau ke toilet dulu, Mbak,"
"Tahan dulu,"
"Kalo bocor gimana?"
"Biarin, nanti tinggal dipel sama Sodik,"
"Ampun deh saya kalo sama kalian," Sukir menyerah.
Dengan penuh keterpaksaan Sukir akhirnya menceritakan kronologis bagaimana bisa sarapan dengan Karin, mulai dari malapetaka bersama ibu-ibu hingga pelototan dari Karin dan berakhir dengan bertukar tawa di atas hidangan sarapan mereka.
"Hebat juga lo bisa begitu?" Riri tak menyangka lelaki payah seperti Sukir bisa akrab secepat itu.
"Situasinya lagi pas aja Mbak. Kan saya kemarin bilang nunggu waktu dan situasi yang pas,"
"Ini udah ada yang baru. Jangan inget-inget masa lalu, apalagi di depan Karin,"
"Mbak, baru juga kenalan. Belum dekat. Nggak jauh juga kali mikirinya,"
"Elo tuh harus diingetin sama kita-kita. Kalo nggak gitu, gagal move on," Wida menambahkan.
"Dan elo itu terlalu yakin sama diri lo sendiri, menjadi lebih baik untuk mantan bini lo, sementara mantan bini lo merasa ada yang lebih baik lagi dan sampai di saat terakhir, dia lebih memilih turun dari kapal yang elo nahkodai, untuk ke darat demi dirinya sendiri, bukan demi kapal yang kalian naiki," Riri selalu mengingatkan dan menasehati gue.
"Elo juga nggak bisa memaksakan diri bisa merubah dia," timpal Wida. Sangat bersyukur Sukir bisa berada di sekitar mereka.
"Makasih ya Mbak-mbakku. Kalian selalu bisa menjaga saya yang masih belum bisa membangun pondasi,"
"Ya udah...gorengan," seloroh Wida, minta jatah preman.
"Teteeep..." sesaat bola mata Sukir berputar, selalu ada pajak di setiap kebajikan.
"Inget kandungan!" Riri sudah memberikan peringatan pertama.
"Iya gue tau. Becanda aja kok,"
"Bakwan apa risol, Mbak?" Sukir menggoda Wida.
"Bakwan!" Wida cepat tanggap.
"Bumil satu ini susah banget sih diaturnya!" Riri kesal.
"Elo juga Sukir, jangan suka mancing-mancing deh! Kalo mau, beli bubur kacang ijo aja," Sukir menjadi sasaran kekesalan Riri..
"Duile bubur kacang ijo, emangnya lagi posyandu," sela Wida di antara kekesalan Riri.
"Sehat, tau!" bantah Riri.
"Sudah...sudah, jadi pada ribut begini sih?" Sukir coba menengahi.
"Ya ribut gara-gara elo!" tunjuk Riri.
"Lah, kok saya lagi?"
"Emang elo gudangnya salah," cibir Riri, kembali ke kubikel untuk mulai menyibukan diri dengan pekerjaannya.
"Bakwan tiga tahu dua, ya?" Wida dengan gerak bibir yang sangat jelas namun tanpa suara, memberikan kode sekali lagi kepada Sukir, ditambah dengan jari tangannya memberikan penegasan jumlah gorengan yang ia minta.
"Nggak usah bisik-bisik pake kode deh! Gue tau!" Riri yang sudah terbenam di kubikelnya tetap tak dapat melepaskan pengawasannya kepada mereka. Kedua pelaku pun berpura-pura sibuk dengan kegiatan masing-masing.
"Eh, by the way, elo udah bisa move on seratus persen apa belum sih, Kir?" selidik Wida, berjalan mendekat ke meja gue.
"Nggak tau Mba. Tapi yang saya rasain saat ini, udah mulai membiasakan diri kalau hidup saya ya memang harus berjalan ke depan, bukan jalan di tempat atau ke belakang,"
"Ya kalo jalan ke belakang hanya Michael Jackson yang bisa. Moon walk," seloroh Wida sembari mempraktekan gerakan andalan King of Pop tersebut. Sukir hanya bisa tertawa dengan tingkah senior yang satu ini. Sementara Riri misuh-misuh.
"Biasanya kan cewek yang susah move on, tapi ini cowok. Apa elo sebenarnya bukan cowok?" kecurigaan Riri yang tak jelas dan mendapat tatapan aneh dari Wida. Secara diam-diam Wida menuliskan sesuatu pada post it yang tergeletak di dekat kotak alat tulis Di meja Sukir.
"Cowok lah Mbak. Masa saya harus buktikan luar dalam di sini?"
"Saya cuma merasa, saya belum melakukan yang terbaik. Dan saya belum bisa menjadi yang terbaik," lanjut Sukir.
"Belum tentu seperti itu. Bisa juga dia bukan yang terbaik untuk elo," pandangan dari Wida. Ia selesai menuliskan sesuatu, dan memberikan kode kepada Sukir untuk membaca sekilas tulisannya.
"Dan dia nggak bisa mengerti apa yang elo lakukan selama ini adalah usaha yang terbaik," Riri menimpali.
"Kalau saya sudah melakukan yang terbaik, dia nggak akan ninggalin saya, Mbak,"
"Itu pilihan dia, bukan kesepakatan kalian,"
"Kesepakatan kami, Mbak. Saya yang membiarkan ia memilih pilihannya,"
"Itu bukan kesepakatan, tapi elo yang mengalah. Sampai dalam keadaan seperti itu, masih aja elo yang mengalah," Riri bangun dari kursinya. Ia sebenarnya gemas pada Sukir yang lebih sering mengalah.
"Tapi itu sudah jadi keputusan kami Mbak. Saya juga sempat hilang kendali di puncak emosi saya saat itu,"
"Emosi elo itu adalah kumpulan dari apa yang elo pendam sebelumnya, terus menumpuk dan akhirnya menggunung. Meledaklah. Dan itu yang nggak pernah dipikirkan Namira. Dia selalu merasa kalau elo selalu mengalah dan nggak akan pernah se-frontal itu," ujar Wida. Melihat Riri yang berjalan mendekat, ia memberi kode pada Sukir untuk sembunyikan post it tulisannya.
Sukir jadi ingat ke belakang, ketika emosinya benar-benar tidak terbendnung. Ketika ia akhirnya luapkan segala yang dipendam dan ditahan. Emosi itu juga yang menjadi bumerang untuk kehidupan rumah tangganya.
"Kalau ada yang mengganjal dan nggak enak di hati, cerita dan katakan sejujurnya. Bukan dipendam dan ditelan sendiri. Nggak baik untuk kesehatan hati, Kir," Sukir ingat sekali petuah dari Riri kala itu. Ia yang lebih sering menahan diri dan menelan habis setiap perselisihan maupun ada hal yang tidak sejalan dengan hati.
"Elo nggak bisa terus-menerus menyalahkan diri sendiri. Lihat diri elo sekarang. Buah dari kerja keras setelah nggak bersama dia lagi. Dalam waktu dua tahun, level jabatan elo udah naik. Nggak ada yang sia-sia," ceramah Riri, menyadarkan Sukir, ternyata dia sudah ada di antara Sukir dan Wida. Matanya sepertinya sedang mencari sesuatu di meja Sukir.
"Tapi ada yang menjadi tumbal dari karir saya di kantor ini,"
"Bukan tumbal, tapi pengorbanan. Segala sesuatu harus ada pengorbanannya. Kalau nggak mau berkorban, hidup elo ya begitu-begitu saja. Dan hidup elo flat karena ingin menghindari masalah atau tantangan," Riri sepertinya mendapati sesuatu. Ya, catatan Wida yang tadi Sukir sembunyiakn di balik monitor, berhasil ia temukan dan dicoret dengan tanda silang besar pada kalimat "BAKWAN 3 TAHU 2, SAMBEL BANYAK", dan menuliskan sesuatu di balik post it tersebut. Sukir dan Wida saling berpandangan di belakang Riri.
'SKLI LAGI BAHAS GORENGAN, GW SURUH JALAN KAYANG LO BEDUA DARI BAWAH SAMPE SINI!!!" tulisan Riri di balik post it tadi.
Sukir membaca tulisan itu langsung lemas. Apalagi Wida yang sudah bernafsu sekali menyantap gorengan.
"Oh iya, tadi saya dikasih nomornya Karin," tiba-tiba Sukir teringat sesuatu. Di saat yang bersamaan Agnes sudah sellesai menyiapkan dokumen pengikatan.
"Tuh, ada kesempatan di depan mata, buat apa menoleh ke belakang lagi?" ujar Riri.
"Menang banyak banget lo," timpal Wida
"Alhamdulillah, Rejeki anak soleh," jawab Sukir sekenanya.
"Aku baru tahu kalo nama Bapaknya Mas Sukir itu Soleh," Agnes menyambar saja, tangannya menjinjing tas make up.
"Anak ini main samber aja! Sana daandan dulu," usir Riri.
"Mbak Riri kok tahu aku mau dandan?" Agnes berjalan menuju pintu. Pertanyaan yang seharusnya sudah ada jasaban ketika mereka semua meilhat tas make up yang dipegang Agnes.
"Nggak usah dijawab, Ri," saran Wida.
"Kenapa nggak lo telepon dari tadi?" Riri lanjut bertanya pada Sukir dan membiarkan Agnes kebingungan hingga tak perlu menunju jawaban dari Riri, ia keeluar ruangna menuju toilet.
"Saya juga baru ingat, Mbak. Tadi dia yang ketik langsung di ponsel saya,"
"Udah cepetan telepon dia," Wida menyuruh sesegera mungkin menghubungi Karin.
"Mau ngomong apa?"
"Apa aja. Bebas. Udah gede Kir. Gue heran sama elo. Kayak begini aja masih nggak mengerti harus ngapain," jawab Wida, menanggapi respon Sukir yang tak mencerminkan seseorang yang berpengalaman dalam menaklukan hati wanita.
Sukir mengerti dan tak mau memperpanjang pertanyaan itu ke dalam sub pertanyaan lainnya, misalnya harus dengan gaya apa meneleponnya, atau tema apa yang menarik untuk dibicarakan pagi ini. Apakah politik, sosial ekonomi, atau es di antartika?
Ia mengecek phonebook. Mencari hingga mendapati nama Karin dan segera menelepon.
Suara seorang wanita menyambut di sana, namun bukan suara Karin. Ia hapal sekali suara Karin, tidak seperti suara di ujung telepon.
"Yassalaaaam," Sukir menepuk kening hingga berbunyi keras kemudian menutup sebagian wajah dengan telapak tangan.
"Kenapa lo? Langsung nggak bisa berkata-kata dengar suara Karin. Payah ah," tanya Riri.
"Ini bukan nomor telepon Karin, tapi nomor telepon kantornya," Sukir menjawab.
"Maksudnya?"
"Dengar aja sendiri," gue menyodorkan ponsel pada Riri.
Selamat datang di Bank Bahana. Tekan 1 untuk layanan perbankan. Tekan 2 untuk layanan kartu kredit. Tekan 3 untuk layanan produk perbankan, atau tekan nol untuk bantuan operator.
Riri mendengarkan dengan seksama suara dari ujung telepon. Wida merapatkan telinganya, ikut mendengarkan. Sesaat kemudian mereka berdua tertawa lepas. Tawa yang melemahkan Sukir. Puas mereka berdua!
KAMU SEDANG MEMBACA
Sukir Bankir Getir! (Tamat)
General FictionKisah karyawan Bank bernama Surendra Kiran, atau biasa dipanggil Sukir, yang selalu saja menghadapi kenyataan yang getir, mulai dari karir, percintaan, hingga rumah tangga. Sudah dua tahun ia menduda dan mulai coba membuka hatinya kepada orang baru...