Make Your Self Happy

47 4 0
                                    

Sukir: [Beli sarapan itu perjuangannya mungkin lebih berat dibanding dengan ujian kenaikan golongan.]
Karin : [Bisa begitu?]
Sukir : [Melawan ibu-ibu nanti dibilang kualat. Mengalah, nggak bisa sarapan.]
Karin : [Ada apa hari ini dengan kaum gue?]
Sukir : [Biasa, serobot menyerobot]
Karin : [Lo itu, ya. udah tua. Masa, tetap mau melawan ibu-ibu? Nggak  kapok?]
Sukir : [Secara urutan kehadiran, gue di urutan ke tiga, setelah mbak-mbak bohay dan mas-mas berbadan tambun.]
Karin : [Terus?]
Sukir : [Tiba-tiba datang gerombolan emak-emak yang dari kejauhan sudah heboh tertawa, menyerbu gerobak lontong sayur.]
Karin : [Dan penderitaanmu dimulai. Jeng jeeeeeng!]
Sukir : [Sound effect lo ga banget.]
Karin : [Biarin. Untuk menguatkan adegan penderitaan lo!]
Sukir : [Tepat. Penderitaan. Seperti telah direncanakan, berstrategi dan masif, ketiga emak-emak itu mengatur posisi.]
Sukir : [Satu, nyempil ke sebelah abang-abangnya.]
Sukir : [Satu, sekonyong-konyong ambil ketupat sendiri.]
Sukir : [Lalu, satu lagi, mengeluarkan uang dan disodorkan langsung di dekat panci sayur.]
Karin : [Seperti sdh terlatih dan terkoordinasi ya?]
Sukir : [Tepat skali. 'Pak, saya beli tiga ya. Pak ni ketupatnya ya yg beli 3. Pak ni uangnya ya, 3. Pas kan?'.]
Karin : [Hahaha]
Sukir : [Gue dan mas-mas tambun cuma saling pandang, lalu makin mendekat pandangan kami. Tak banyak bicara. Lalu ... ]
Karin : [Hahaha ... Lalu, apa? Ciuman? Hahaha ... ]

Karin menyeka air yang tak disadari telah membulat kecil di setiap sudut luar matanya. Tawanya tak hanya diekspresikan melalui teks, tapi juga terlepaa saat ini. Andai Sukir dapat melihat tawa Karin saat ini.
Sukir : [Lalu mas-nya bilang, 'de javu ya, Mas?'.]
Sukir : [Gue jawab, 'iya, Mas. Kayak udah pernah kejadian'.]
Sukir : [Setelah kami sadari, memang kemarin juga kami mengalami hal yg sama, di tempat yg sama dan di jam sama serta pelaku dan korban yang sama.]
Karin: [Huahaha ... Cukup ... Cukup.]

Karin menyempatkan diri untuk meletakan ponsel di meja, agar ia mudah mengusir air mata yang belum berhenti keluar. Tawa pagi ini benar-benar menguras air mata.

Tawanya yang tak terhenti, hingga mampu mencuri perhatian Teller dan Customer Service yang sedang bersiap di tempat masing-masing, menoleh pada Karin yang asyik tertawa sendiri.

Karin : [Cerita lo bikin gue jadi perhatian anak Teller dan CS, nih.]
Sukir : [Loh, kok gue yang disalahin?]
Karin : [Gue nggak berhenti ngakak, tauuu ... ]
Sukir : [Bilang ke teman-teman lo, kalo ada yang merasa ibu-ibu tadi atau ibunya dari ibu-ibu yg beli lontong sayur tadi, sampaikan salam paling oye padanya.]
Karin : [Hahaha ... Udah, ah, gue mau siap-siap dulu. Mau morning briefing. Makanya, lebih baik titip sama teman kerja yang ibu-ibu juga. Biar diduluin.]
Karin : [Teman satu tim lo yg waktu itu ketemu gue emak-emak juga, kan?]
Sukir : [Betul sekali. Hanya gue yang berkelamin laki-laki. Korban penindasan dari emak-emak sudah jadi hal wajar di tim ini.]
Karin : [Hahahaha ... ]

Karin memilih untuk mengakhiri percakapan pagi itu agar tak habis terkuras air matanya.

***

Intensifnya komunikasi Sukir dan Karin berawal dari chat dengan topik sarapan yang membuat Karin terpingkal-pingkal. Pada saat jam istirahat, Karin meneleponnya dan menceritakan betapa ia menjadi perhatian rekan-rekan kerjanya saat tertawa lepas. Berawal dari chat tersebut mereka jadi lebih sering berkomunikasi.
Tiga minggu terlewati. Walau lebih sering berkomunikasi via chat, namun sesekali mereka sempatkan waktu janjian makan siang bersama. Frekuensi pertemuan siang masih kalah dengan bertemu pada saat pagi menikmati sarapan. Tak jarang mereka juga janjian pulang bersama ke stasiun di hari Jumat. Itu semua dilakukan dengan diam-diam. Bukan sebagai rahasia, tapi Sukir menghindari interogasi lanjutan dari Bareskrim Bank Sarap. Sampai sini paham, kan?
"Kamu tuh ya, parno banget sama senior-senior kamu?" Karin menunjuk-nunjuk Sukir menggunakan sumpit. Intensnya komunikasi mereka dan pertemuan di setiap pagi serta jumat sore, membuat panggilan satu sama lainnya berubah menjadi aku-kamu. Hubungan ini sudah naik level.
"Mereka itu ratu bully. Kalau sudah duduk di hadapan mereka, seperti tak punya privasi. Semuanya terbongkar," jelas Sukir. Karin menanggapinya dengan tawa. Mereka menikmati Sabtu siang bersama, meniru kebanyakan pasangan yang menghabiskan weekend di luar rumah. Bedanya, mereka berdua belum resmi berpasangan.
"Tapi mereka baik sama kamu?"
"Kalo ditanya kebaikan mereka, melebihi dari kebaikan rekan kerja pada umumnya. Mereka sudah seperti kakakku sendiri. Ya begitu, karena sudah seperti kakak, mereka jadi bebas memperlakukan adiknya apa aja."
"Hahaha ... Kamu itu ya."
Ini pertama kalinya mereka jalan bersama di luar hari kerja. Biasanya hanya janjian sarapan, makan siang, atau pulang bersama ke stasiun di hari Jumat.
"Repot?" tanya Karin tersenyum.
Sukir hanya mengangkat alis, kurang paham pertanyaan Karin.
"Nggak nyaman pakai itu?" Tanya Karin lagi, walau sebelumnya tak dijawab Sukir.
Karin memang meminta Sukir untuk berpakaian rapi. Mengenakan kemeja putih dipadukan dengan jas hitam, bawahan jeans hitam, rambut klimis, dan mengenakan jam tangan. Sesuatu yang bukan Sukir.
"Agak sulit untuk melakukan gerakan-gerakan yang ekstrim dan bernilai seni sih."
"Seperti?"
"Menari Reog."
Karin tertawa kecil.
Manis. Duh Gusti, tersiksa amat sih gue. Sukir membatin.
"Kamu bawa yang aku minta?"
"Pasti."
"Sekarang kamu ke toilet, ganti semua dengan yang kamu bawa."
"Aku udah necis seperti ini, kamu minta ganti? Padahal kemarin kamu yang minta berpenampilan seperti ini."
"Masih mau melanjutkan kencan kita?"
"Yeah...Kamu memang yang pegang kendali kencan hari ini. Semua pria yang sedang kasmaran pun pasti menuruti."
"Oke, aku cari toilet dulu," lanjut Sukir.
"Aku tunggu di sini."
"Jangan kabur," baru tiga langkah, Sukir berbalik, kembali mendekat pada Karin.
Karin hanya menggeleng, lalu tersenyum.
"Apa jaminannya kalau kamu nggak akan kabur?"
"Kamu, mentang-mentang urus kredit nasabah setiap hari, sampai tanya jaminan segala."
"Loh, aku kan nggak tahu maksud kamu seperti apa."
"Oke. Kalo aku kabur, besok malam kamu bisa bawa bapakmu ke rumah, temui orangtuaku, lamar aku."
"Oke. Baiknya kamu sekarang kabur, biar siang ini aku bisa kabari orang tuaku untuk belanja seserahan." Sukir memainkan alis. Kalau yang seperti ini membuatnya semangat.
"Tidak secepat itu Rudolfo," gestur tangan Karin meyakinkan, dan menirukan dialog telenovela.
"Oke." Sukir tertawa dan berbalik lalu menuju toilet umum. Tapi baru dua langkah, ia teringat sesuatu dan berbalik.
"Apa lagi?" Tanya Karin, berkacak pinggang.
"Kalaupun kamu benar-benar kabur dan besok malam aku melamarmu, bagaimana caranya?"
"Maksudmu?" Karin memajukan tubuh, tangannya masih menyilang di depan dada.
"Aku kan belum tau rumahmu Neeeeng." Sukir memiringkan kepalanya, berekspersi tidak jelas.
Karin hanya tertawa.
Kamu cerdik. Memang nggak salah kali ini. Batin Sukir seperti menemukan titik cahaya yang ia cari selama ini.
Tak sampai 10 menit, Sukir sudah kembali dengan perubahan kostum. hanya kaos abu-abu dengan tulisan BLAZ di depannya, serta mengenakan jeans hitam. Gaya rambut tak dibuat klimis seperti sebelumnya. Ia biarkan agak acak namun masih cukup rapi.
"Nah, kaya gini kan lebih ganteng. Duh aku bisa naksir nih." Karin memuji dengan jelas, dan Sukir melayang dalam hati.
Pujian pertama darimu, Karin. Terus saja puji sampai aku meleleh dan mencair. Sukir membatin.
"Aku nggak ngerti sama maksud kamu. Kemarin minta aku dandan serapi mungkin, seperti eksekutif muda."
"Kamu mau aja aku minta seperti itu."
"Ingin menyenangkan kamu. Sesuai permintaanmu, ya aku turuti."
"Walaupun nggak nyaman, tetap kamu lakukan?"
"Why not?"
"Hey... Seharusnya kamu jadi diri sendiri. Kalau nggak nyaman, katakan dan tinggalin. Kamu nggak harus selalu menuruti apa yang aku minta, kalau kamu merasa nggak nyaman. Buat apa melakukannya dengan terpaksa?"
"Kamu lagi kenapa sih? Sakit, ya?" Sukir ingin memastikan apakah ini benar Karin?
"Nggak, Kir. Aku normal. Aku hargai usaha kamu untuk ikuti permintaanku. Tapi aku juga kasihan sama kamu. Ternyata selama mendampingi Namira, kamu hidup bukan untuk dirimu sendiri juga, tapi hanya untuk Namira."
"Loh, kok jadi bahas dia?"
"Kamu sadar nggak sih, segala perasaanmu dulu hanya untuk menyenangkan Namira? Itu memang baik sih. Membahagiakan orang yang dicintai. Tapi bukan berarti selalu menuruti permintaannya. Sekarang kamu sudah tidak dengan dia lagi. Harusnya kamu berubah, Kir."
Sukir terdiam. Cukup telak apa yang dikatakan Karin.
"Aku melakukan ini supaya kamu kenal dirimu sendiri," ujar Karin.
"Kir, sayang bila kamu menghabiskan waktu dengan orang yang menuntut di luar dari kebiasaanmu dan yang nggak kamu suka. Pilihannya dua. Kamu tetap lakukan walau dengan berat hati atau kamu tinggalkan dan kamu bisa melakukan yang lebih baik untuk diri kamu sendiri," lanjut Karin.
Belum ada orang yang mampu menampar Sukir seperti yang dilakukan Karin.
"Bahagiakan diri kamu dulu, baru kamu bahagiakan orang lain. Bila kamu sudah merasa bahagia, maka nothing to loose untuk membahagiakan orang lain," wejangan dari Karin, langsung terserap dan juga menyentil sisi sensitif Sukir.
Sukir berusaha menyerap lebih dalam kalimat Karin. Bertubi-tubi mendapatkan serangan dari Karin yang memang pada kenyataannya seperti itu. Sukir belum merasakan kebahagiaan untuk dirinya sendiri.
"Aku suka kamu yang seperti ini. Kamu lebih percaya diri dan merasa nyaman. Dan pasti... bahagia," lanjut Karin, ia tersenyum menatap Sukir, senyum termanis siang ini. Seharian seperti ini bisa diabetes, pikir Sukir.
"Tapi aku nggak keren kayak tadi ah. Tadi kan rapi banget. Tipe-tipe pria idaman ibu kota."
"Kamu yakin tadi kamu keren?"
"Nggak juga sih. Risi aja. Aneh."
"Pede, nggak?"
"Nggak." Sukir menggeleng.
"Aku juga malas kalo kencan sama orang yang nggak percaya diri dengan penampilannya sendiri. Sekarang udah pede?"
"Lebih pede."
"Cakeeep. Yuk," ajak Karin. Mereka berdua melanjutkan kencan yang tak romantis itu. Ya, tidak romantis, karena kencan murah meriah dengan menaiki City Tour Bus Jakarta, berkeliling kota Jakarta dan menikmati segala cerita bersejarahnya.
"Kamu nggak apa-apa kita hanya jalan-jalan seperti ini?" Sukir ingin memastikan. Ia tak ingin Karin terpaksa melakukannya.
"Memang kenapa?"
"Nggak apa-apa. Biasanya kan cewek sukanya kencan ke Mall, restoran dengan daftar menu yang tulisannya njelimet, atau ke tempat-tempat yang instagramable. Bagus view sedikit langsung foto, cekrek, upload."
"Hahaha...Apa aku seperti itu?"
"Nggak sih."
"Nah itu kamu tahu aku seperti apa. Jadi buat apa kamu tanya seperti itu?"
Sukir hanya bisa mengangkat kedua bahunya, sejalan kemudian melanjutkan kencan ini.
"Sepertinya, kamu sudah mulai mengenali aku, nih," lirik Karin, menggoda. Sukir hanya tertawa.
Karin berhenti sejenak.
"Kir, jangan pernah kamu samaratakan sesuatu yang pernah kamu alami dengan seseorang, ya?" Pinta Karin. Sukir terdiam sejenak lalu mengangguk tanda setuju.

*******

Sukir Bankir Getir! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang