Zona (Tak) Nyaman?

33 3 1
                                    

"Suk, tebak siapa yang datang?" Davina menghampiri kubikel Sukir bersama seseorang.
Sukir sebenarnya malas merespon davina. Sulit untuk akrab dan bercanda dengan wanita satu itu.
"Saya lagi malas main tebak-tebakan, Mbak."
"Hai, Mas." Sapa seseorang.
Suara itu ia hafal.
"Okta." Sukir cukup terkejut.
"Liat Okta, baru deh semangat." Davina menyindir dengan nada bercanda.
Okta meresponnya dengan tertawa.
"Suk, Madam minta ke HR untuk narik Okta ke Kredit dan satu tim sama kamu. Nggak perlu lewat Dinda, beliau menggunakan kuasanya sebagai kepala divisi." Davina menjelaskan kenapa Okta bisa datang hari ini.
"Kita satu tim lagi, Mas."
Sukir tak berkata apa-apa. Bingung untuk berkata apa.
"Udah, saya tinggal dulu. Biar nggak kaku, ya." Davina lalu pamit kembali ke mejanya.

Saat ini Sukir sudah tidak berada di bawah supervisi Davina. Walau begitu, bukan berarti Sukir bebas dari atasan yang tak mengenakkan. Kali ini Sukir di bawah supervisi Dinda, pada departemen Legal Documentation. Keluar kandang macan, malah masuk ke kandang benalu.

"Lama nggak ketemu, ya, Ta." Sapa Sukir saat Okta duduk di sebelahnya. Kursi yang beberapa bulan sebelumnya kosong, kini terisi kembali oleh orang yang sama.
"Iya, Mas. Terakhir di M Block itu, ya."
Entah Sukir mau senang atau sebaliknya. Ada yang salah dengan perasaannya. Perasaan menyukai kekasih orang lain. Semenjak ia bertemu dengan Okta di dalam mimpi, semua mengarah kepada perasaan suka. Hal itu ia akumulasikan dengan kejadian-kejadian sebelumnya, mulai dari perjalanan dinas bersama Okta ke Malang, lalu bagaimana Okta memperlakukannya ketika ia hilang fokus di Yogyakarta. Sampai pada Okta pamit selesai OJT, dan ketika pacar Okta datang menjemput. Ada api cemburu yang meletup-letup walau itu hanya percikan kecil.

Semua ia akumulasikan dengan kesimpulan satu rasa. Sekalipun itu dibumbui oleh rasa percaya diri yang berlebihan tentang perasaan Okta. Okta yang tak melakukan penolakan saat Sukir menggenggam erat tangannya dalam penerbangan pertamanya. Juga pada saat dengan sengaja ia meraih tangan Okta untuk menggenggam dengan lembut di dalam taksi online. Sampai pada pertemuannya di M Block sesuai permintaan Okta, api cemburu itu kian membesar ketika Okta menceritakan akan menikah dan dalam waktu dekat ia akan dilamar.

Apakah perasaan itu akan menjadi percuma? Sukir masih tak bisa berpikir jernih. Awalnya ia berusaha meredupkan perasaan itu, namun kalah oleh cinta yang tumbuh diam-diam dan perlahan membentengi hatinya.

***

"Hanya masalah catatan di sistem absensi aja dipersulit, Din?!"
"Tapi ini catatannya jelek, Kir. Lo di sini setiap bulan selalu ada catatan terlambat," Dinda menunjukan print out report absensi yang dikirim HR.
"Tapi liat juga jam pulangnya, dong."
"Di mata HR, overtime belum tentu untuk menyelesaikan pekerjaan. Bisa aja untuk menghindari jam macet pulang kerja, jadi nunggu di kantor."
"Din, elo kan supervisor. Masa, lo nggak liat pekerjaan gue selama ini? Walaupun lo belum satu tahun di sini."
"Ini kan, pertanggungjawaban gue ke HR."
"Waktu sama Pak Burhan, nggak dipermasalahkan."
"Gue bukan Pak Burhan, Kir,"
Lagi, Sukir dibuat panas dan emosi oleh Dinda. Baru saja menjabat sebagai Legal Documentation Department Head, namun sikap Dinda sudah ingin terlihat seperti Madam. Berupaya dengan sok tegas, sok berwibawa, dan sok yang paling berkuasa. Madam pun tak seperti itu.
Ternyata, rekomendasi dari Pak SM pada Dinda karena orang tuanya berteman dengan beliau. Kebenaran itu akhirnya didapati setelah Riri mencari informasi hingga ke sekretaris direksi.
Karyawan dengan level manager seperti Wida dan Riri sampai kalah, apalagi Davina, yang merasa sakit hati dengan cepatnya anak baru itu mendapatkan posisi.
"Oh iya, Kir, mulai besok diusahakan datang kantor lebih pagi." pesan Dinda sebelum Sukir meninggalkan mejanya untuk kembali ke kubikel.
"Dan satu lagi. Mungkin lo bisa panggil gue dengan kata sapa 'Mbak'. Bukan berarti gue minta dihormati atau gila hormat, tapi untuk lo juga. Supaya orang lain nggak menilai lo nggak sopan atau nggak jaga attitude menyapa supervisor dengan nama saja."
"Siap ... Mbak." Sukir dengan sarkas melakukan gerakan hormat.

Sukir Bankir Getir! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang