Sebelum lanjut baca, jangan lupa vote, and voment ^^
Oke lanjuttttt
•••
Aya membuka mata perlahan, ketika merasa seutas sinar terang mengenai dirinya.
Ketika itu, Aya bingung dengan apa yang ia lihat, pasalnya ini bukanlah tempat dimana terakhir kali dia berada.
"Dimana ini?"
Hamparan bunga yang tersusun rapih, serta kupu-kupu dan capung yang berterbangan kesana kemari.
Aya mendekat ke salah satu bunga berwarna merah itu, dan mencium aromanya beberapa kali.
Saat itu juga seseorang memanggil namanya.
"Aya"
Aya menoleh ke belakang.
Dan betapa kagetnya ketika sosok yang memanggilnya tadi, adalah orang yang saat ini ia tempati tubuhnya.
"Rachel?" Wanita itu tersenyum.
"Akhirnya kita bertemu" ucap wanita itu, yang tak lain adalah Rachel asli.
"Rachel, kenapa harus aku?" Empat kata itu tanpa Aya sadari terlontar begitu saja.
Aya, sudah sangat lama ingin menanyakan hal itu kepada Rachel "kenapa harus dirinya?".
"Itu semua takdir Aya. Kalo kamu tanya kenapa, aku juga ga tau kenapa. Tapi, aku yakin dengan adanya kamu di tubuhku beberapa hal yang mungkin menjadi pertanyaan besar saat kehidupanmu dulu akan terjawab." Mendengar itu, Aya mengernyitkan dahinya.
Rachel tersenyum kembali.
"Aya, lakukan apa yang menurutmu benar. Jangan pernah memikirkan hal yang membuat keputusanmu goyah,"
"Dunia ini berisi ketidakadilan, manusia akan melakukan segala hal yang menurutnya benar untuk mencapai tujuan mereka,"
"Bahkan, ketika hal itu salah dan bisa membuat seseorang hancur?" saut Aya, Rachel mengangguk.
"Benar Aya, ketidakadilan itu faktanya adalah suatu perbuatan pengecut yang mungkin berdampak instan bagi mereka."
"Aya, aku tidak berbeda denganmu. Selama ini sikap arogan yang aku miliki hanya topeng untuk menutupi kerapuhan dalam diriku yang sebenarnya."
"Kamu tau, saat aku kehilangan kedua orangtuaku adalah saat di mana seluruh nafasku hilang."
"Hidup setelah kehilangan mereka seperti di ambang dua pilihan, antara 'mengakhirinya' atau 'tetap hidup' tapi rasanya sepi dan sunyi." Tanpa Aya sadari air matanya menetes mendengar apa yang di katakan wanita itu.
"Perlahan kamu akan mulai terbiasa dengan lingkungan ku. Dan terimakasih karena sudah menganggap mereka seperti adikmu sendiri."
"Ingatanku akan membantu ketika kamu membutuhkannya. Tapi, ingat Aya," Aya memperhatikan wanita di depannya dengan tenang.
"Jangan pernah berpikir untuk mengorbankan dirimu sendiri untuk masalahku, cukup kehilangan kedua orangtuaku saja, tapi tidak kehilangan adikku." Aya kaget mendengar apa yang dikatakan Rachel.
Apa maksudnya tidak untuk kehilangan adiknya?
Saat Aya kan menanyakan hal itu, hembusan angin kuat menerpanya.
"Dalam dirimu sendiri ada begitu banyak hal yang tidak kamu sadari." Setelah mengatakan itu, Rachel perlahan menghilang bersamaan dengan hembusan angin, hanya tersisa Aya sendirian di tempat itu.
"Rachel?"
Aya mencari wanita yang berbicara dengannya tadi, tapi tetap saja nihil.
Di saat bersamaan Aya terbangun dari tidurnya.
Nafasnya terengah-engah terdengar di seluruh kamarnya saat ini.
"Kamar Rachel?" ya, Aya terbangun dan melihat sekeliling yang tak lain adalah tempat terakhir kali ia berada.
Aya melirik jam digital di samping tempat tidur yang menunjukkan pukul 06.50.
Merasa nafasnya sudah kembali normal, Aya memutuskan untuk membersihkan diri.
20 menit kemudian, Aya membawa langkahnya ke arah walk in closet.
•••
Di ruang makan terlihat penghuni mansion ini tengah menyantap sarapan.
Aya keluar dari lift, dan berjalan menuju ruang makan untuk sarapan bersama.
"Morning kak" ucap mereka bersamaan
"Morning," saut Aya, dan langsung mendudukkan dirinya di kursi yang sudah di siapkan.
Merekapun memulai sarapan pagi bersama, tak ada yang berani memulai pembicaraan ketika acara makan masih berlangsung.
Setelah menyelesaikan makan, satu persatu dari mereka mulai membereskan piring dan mulai mulai meninggalkan ruang makan.
"Kak kita berangkat dulu," ucap Agil.
"Hmm, hati-hati."
Merasa semua adik-adiknya mulai meninggalkan ruang makan satu persatu, Rachel menyelesaikan makannya.
"Adrian, Jeje" panggilnya.
"Iya kak?" saut Jeje.
"Gue udah memutuskan buat masuk ke SMA itu." mendengar apa yang di katakan Rachel, Adrian dan Jeje saling memandang.
"Maksudnya kakak?" tanya Jeje
"Jangan bilang kakak bakal jadi pelajar buat ngawasin mereka?" ucap Adrian.
Jeje menatap Rachel penuh tanya.
"Iya,"
"Kak, ga usah bercanda." saut Adrian
"Terus, kakak bakal masuk jadi murid baru gitu?"
"Perusahaan kakak?"
Melihat kedua adiknya menatap penuh tanya, perlahan Aya menjelaskan point dari kenapa dia mutusin buat mulai sekolah lagi.
Pasalnya bagi Adrian dan Jeje keputusan kakaknya ini membuat mereka bertanya-tanya.
Bagaimana tidak, Rachel sudah bukan usia anak SMA lagi. Ya walau wajahnya tidak ada perbedaan dengan wajah anak SMA.
Tapi tetap saja itu aneh, kenapa harus menjadi murid baru? Sedangkan sekolah itu sendiri adalah miliknya.
"Selain buat ngawasin mereka, gue juga mau cari tau siapa yang udah berani nyentuh Cia."
"Tapi-" ucapan Jeje terhenti ketika Rachel menatapnya.
"Semua bakal berjalan sesuai rencana. Dan Adrian, jangan bilang ke siapapun tentang ini, termasuk Kak Radit." Adrian hanya mengangguk dan mulai beranjak meninggalkan ruang makan.
"Iya kak, kalo gitu aku pergi dulu."
Tersisa Rachel dan Jeje saat ini.
"Gimana kesepakatan kemarin malem?"
"Semua aman kak, pemilik bar udah mutusin buat kolaborasi dengan perusahaan kita."
"Tapi," mendengar kata itu Rachel menatap Jeje.
"Tapi?"
"Dia meminta keamanan keluarganya terjamin." Mendengar itu Rachel tersenyum.
"Itu tergantung kinerja dia sendiri, apakah dia bakal tetap setia atau berkhianat."
Rachel dan Jeje mulai meninggalkan ruang makan.
Jeje saat ini tengah berada di ruangan yang terdapat beberapa komputer serta beberapa orang berpakaian jas serba hitam.
"Nona," ucap mereka ketika Jeje memasuki ruangan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
OUR SOUL
Teen FictionApakah kalian pernah mendengar Transmigrasi Jiwa? Mungkin terasa familiar bukan? Tapi, apakah masih ada hal seperti itu di Jaman ini? Aneh, ajaib dan mustahil bukan? Sama halnya dengan yang di alami seorang wanita bernama Aya Alviaresa, dia mengalam...