Bagaimana rasanya bertahan di tengah hubungan samar antara kekasihmu dan sahabatnya? Di saat kau terluka dengan hubungan ini, kau baru menyadari bahwa kekasihmu juga terluka menahan perasaan yang tidak bisa ia ungkap pada sahabatnya.
"Seandainya ka...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
•••
"William mana?" tanyaku menatap bergantian pada Ucup, Jovan juga Agam yang sedang duduk di meja dan fokus bermain game yang kupikir sama seperti yang dimainkan William tempo hari lalu. Sesaat aku berpikir, kenapa lelaki terobsesi dengan permainan seperti itu? Aku tahu itu hiburan dan perempuan tentu punya hiburannya sendiri tapi haruskah tiap jam menit detik? Kalian tidak tahu mereka pernah bolos jam pelajaran hanya untuk mempermainkan permainan itu di atap sekolah.
Sinting memang.
"Hey?!"
"Apa?"
"Dimana William?"
"Pergi mungkin? Kau berisik sekali," jawab Ucup tanpa menatapku. Kurang ajar anak satu ini. Okey, setidaknya kuapresiasi sedikit karena ia masih sudi menjawab pertanyaanku. Tidak mengabaikanku seperti dua orang sinting ini.
"Mungkin?"
Seharusnya mereka bertanggung jawab atas kehadiran William. Karena laki-laki selalu bersama, kan? Jadi seharusnya mereka peduli William ada di mana bersama siapa.
"Sudah kubilang pergi, tidak tahu kemana. Ia seperti hantu yang tiba-tiba hilang," lagi-lagi Agam yang merespon. Tapi kali ini agak ketus.
"Serius! Dimana William?!"
"Iya, serius tidak tahu! Kau pasti merengek ingin sekelompok bahasa inggris dengannya," decih Agam.
"Lancang sekali! Mana mungkin aku merengek!" memang benar aku mencarinya sekalian ingin menawarkan diri sekelompok bahasa inggris dengannya. Tapi tentu saja tidak merengek, William akan dengan senang hati merekrutku. Karena satu-satunya orang beruntung yang akan menjadi teman sekelompoknya adalah aku—kekasihnya.
Ada jeda sebentar, aku hanya menatap lelaki itu tajam karena berani memberi informasi tidak jelas. Meski ia tidak sadar sedang diberi tatapan tajam.
"SIAL KALAH!" tiba-tiba Jovan mengaduh kencang. Membuat aku tersentak dan otomatis berpindah menatap tajam padanya. Lelaki itu hanya berdecak kesal, menatap Agam dan Ucup yang masih asik bermain. Kuyakin Jovan payah memainkan game ini. Ia sebelas dua belas dengan William.
"Payah," cetusku.
"Memang kau bisa?"
"Ya, aku tidak tahu permainan itu."
"Kau juga payah berarti."
"Apa kau bilang?"
"Sudah sana cari William, kau berisik jika ada disini," dengus lelaki itu sambil turun dari meja mendorong pundakku untuk menjauh darinya.