why?

42 4 0
                                    


"the person who broke you can't be the one who fix you"


_____


Aku tersenyum getir saat kalimat sakral itu meluncur dari bibir William. Ia menggerakan matanya mencoba menangkap reaksiku dengan tatapan penuh harap. Terus aku harus bereaksi seperti apa?

"Berhenti membuat lelucon di tengah malam."

Aku memalingkan wajah tidak ingin menatapnya. Aku tidak tahu ia sedang merencanakan apalagi. Aku sudah muak dengan sandiwaranya yang tak pernah usai. Meski tahu di lubuk hati aku masih sangat mencintainya, ingin berhambur kepadanya dan harusnya menjadikan kesempatan itu untuk kembali bersama. Munafik jika aku tidak menginginkannya.

"Aku serius."

"Aku tidak mengerti, William."

Aku hanya merasa ini tidak benar. Maksudku, setalah apa yang William lakukan padaku, ia berani menampakkan dirinya dan berkata bahwa kita harus kembali bersama? Sungguh ini lebih terlihat seperti lelucon payah di tengah malam.

Mungkin William tengah mencari pelarian lagi? Sandiwara baru lagi? Bukan maksudnya aku berprasangka buruk, tapi ini teramat mencurigakan. William yang dulu tidak peduli padaku sekarang tiba-tiba bersikap baik dan, oh sangat hangat? Itu sama sekali bukan William yang kukenal.

"Aku tahu kau tidak akan perca—"

"Terus kenapa?!"

William tersentak. Aku hanya menghela napas kasar, menatapnya dengan segudang kekecewaan yang ingin sekali aku luapkan padanya. Kekecewaan yang selama ini aku pendam rapat-rapat demi tidak merusak hubungannya. Dan dengan mudahnya dia berkata kita harus kembali bersama? Seolah-olah lukaku telah lama sembuh. Seolah-olah senyumku belakangan ini tanda aku telah melupakan semua rasa sakitnya. Seolah-olah tindakannya tidak menyakitiku sama sekali.

"Terus kenapa kau melakukannya jika kua tahu aku tak akan percaya?!"

"Aku hanya ingin memperbaiki semuanya. Kita bisa memulai dari awal Haura."

Aku tertawa sarkastik. "Memperbaiki semuanya, katamu?"

"Aku berjanji akan memperbaiki semuanya."

Lalu bagaimana dengan lukanya? Apa bisa kau perbaikinya, William?

William meraih tanganku, menatap mataku cukup dalam. Mata yang dulu kupuja-puja tampak seperti semesta, kini sangat membuat hatiku ngilu. Kenapa semuanya terlihat begitu mudah baginya? Kenapa mengembalikan kepercayaanku terlihat seperti membalikkan telapak tangan baginya?

Aku menarik tanganku, balas menatapnya tajam.

"Kenapa? Apa ini semua karena Jovan?"

"Jovan? Kau gila? Kenapa kau membawa Jovan pada masalah ini?"

"Kau tidak ingin kembali bersama karena lelaki brengsek itu, kan?" aku berdecak tidak percaya. Kupikir lelaki ini akan sadar setelah dengan gamblangnya bersikap tegas. Tapi ternyata ia justru menyalahkan presensi orang lain.

Bukankah seharusnya Jovan yang memanggil William brengsek. Brengsek karena telah merusak nama baik Jovan demi reputasi sialannya.

"Tutup mulutmu!"

"Kau masih mencintaiku, kan? Kau sadar Jovan hanya pelarianmu. Aku tahu kau masih memendam perasaan terhadapku."

"Sungguh aku tidak tahu isi kepalamu hanya dipenuhi omong kosong. Kau tahu kenapa? Aku lelah William. Aku ingin sedetik saja terbebas dari rasa sakit itu. Tapi apa? Meskipun hubungan kita sudah usai, meskipun aku tidak terlibat sandiwara itu lagi, aku masih merasa sangat terluka. Kau tahu bagaimana rasanya berjuang sendirian? Kau memaksaku untuk terus mencintaimu—dengan kau yang mencintai gadis lain?"

Aku terdiam, menjeda sejenak dan menarik napas. Mencoba mengendalikan untuk tidak menangis. Meskipun dalam hati ini terasa sangat menyakitkan. Kau tahu, lelaki brengsek ini perlu tahu bagaimana penderitaanku saat itu.

"Dan aku tidak mengerti kenapa kau tiba-tiba berubah seperti ini? Maksudku, itu membingungkan. Tak mungkin kan kau ingin menyakitiku untuk yang kedua kali, kan? Jika tidak kenapa kau terlihat begitu menyepelekan?."

"Harga diriku, Kau menjatuhkan harga diriku. Dengan bersikap bahwa aku hanya akan terus mencintaimu, dan memikirkan tentangmu sepanjang hari- dengan kau yang hanya memikirkan dan mencintai gadis lain. Ya, aku memang tolol itu untuk mencintai lelaki brengsek sepertimu. Tapi disaat aku sadar bahwa aku setolol itu, aku tetap tidak bisa berhenti mencintaimu. Dan sekali lagi, itu menyakitkan."

William memasang reaksi yang campur aduk. Aku tahu itu membingungkan saat gadis lugu yang dulu kau sepelekan bisa setegas ini dan berani menatapnya tajam. Ya itu tidak sepenuhnya salah, aku mencoba untuk bersikap tegas saat di dalam hati aku masih takut untuk menyakiti William, takut mengecewakannya dan sangat-sangat mengharapkan aku menjadi gadis yang sempurna untuknya.

"Itu masa lalu, aku sudah berubah."

"Dengar William. Seandainya kau tahu, aku sempat menunggu di sana, di jalan yang sama, di jalan yang kupikir itu lintasan menuju bahagia. Kau tahu berapa banyak alasan yang mendorongku untuk menyerah? Tapi aku berkata pada diriku sendiri untuk menunggu sejenak, tunggu sesaat aku yakin kau kembali."

Napasku terasa tercekat, air mataku tak bisa terbendung lagi dan rasanya sangat sesak.

"A-aku berhenti di tengah jalan, menyadari sesuatu. Jalan itu kini terlalu asing bagiku. Aku tahu kita tidak pernah bahagia menempuh jalan itu. Kau menahan deritamu bersamaku demi melihat senyum bangga seseorang di belakangmu?"

Aku mulai meneteskan air mata. Tak bisa menahan kepedihan. Mengingat bagaimana aku berjuang untuk tetap bertahan, untuk tetap berpikir bahwa aku masih layak menjadi seorang kekasih dengan kenyataan seseorang sedang menghancurkan harga diriku pelan-pelan.

"Aku ingin kau kembali William..."

"Tapi kau terluka bersamaku"

"Maaf."

ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang