—————
hujan
—————
•••
Tadinya langit sore terlihat begitu cerah—seperti masa depanku dengan William—sebelum tiba-tiba awan berubah gelap disertai rintik kecil yang mulai turun menghujami tempat aku berpijak. Menyadari semakin lama hujan semakin deras aku mengubah haluan berbelok ke ruko terdekat untuk meneduh sementara sampai hujan ini reda.
Di antara pemandangan kacau yang membuncar karena hujan, satu-satunya pemandangan yang menarik atensiku hanya puluhan paving block yang terciprat hujaman air menciptakan suara yang mengalun damai dalam kepalaku.
Apa boleh aku menembus hingga halte bus? Jaraknya tidak begitu jauh dan aku malas jika harus menunggu disini. Maksudku jika aku pulang cepat aku bisa langsung berganti baju, kan? Eh, tapi bagaimana dengan William ya? Setauku ia masih di sekolah mengurus ekskul nya? Apa ia baik-baik saja?
Hujan selalu dikaitkan dengan kenangan dan hal yang terkenang dalam memoriku hanyalah lelaki es kutub yang keberadaannya sulit sekali terdeteksi. Bagaikan rekaman yang terputar otomatis di kepalaku, sebuah kekhawatiran muncul terus-menerus dalam bentuk pertanyaan
Apakah William baik-baik saja?
Bagaimana William pulang nanti?
Bukankah jas hujannya robek karenaku minggu kemarin?
Ia pulang menggunakan apa? Hujan-hujanan?
Atau William membawa payung?
Tapi bukankah sulit membawa payung dan menyetir motor?
Sesuatu dalam diriku menginstruksi untuk menemukan payung atau jas hujan bagaimanapun caranya. Karena aku ingat jas hujan milik William kupinjam dan itu robek karenaku, aku sudah berjanji akan menggantinya namun belum menemukan waktu yang pas untuk membeli jas hujan. Aku juga terlalu malas untuk mampir jadi mungkin ini adalah pertanda aku harus menggantinya sekarang. Mataku menyisir seluruh toko sekitar dengan harapan bahwa takdir akan membawakan payung itu dengan jalan yang tidak disangka-sangka. Semua seperti terencana dengan baik.
Refleks senyumku mengembang saat aku melewati toko yang memajang berbagai jenis payung di etalasenya. Buru-buru aku melangkah menyebrang jalanan kecil itu menembus hujan yang deras dan masuk ke dalam toko yang memiliki bunyi bel khas saat pelanggan masuk. Biasanya aku sempat mengeksplor satu toko mencari apakah ada barang lucu yang menarik atensiku untuk sekedar memenuhi hasrat femininku bahwa barang ini sangat lucu tanpa ada kegunaannya dalam sehari-hariku, tapi kali ini pikiranku terfokus mencari satu barang. Ya, jas hujan!
Wajahku seketika lega ketika menemukan ada satu jas hujan tersisa di atas rak paling ujung. Aku menghampiri rak tersebut dan meraihnya sebelum menyadari ada tangan lain yang juga menarik jas hujan tersebut—meski itu terlihat jelas tanganku lebih dulu mendarat. Sontak aku menengok untuk melihat siapa pemilik tangan tersebut, itu wanita paruh baya dengan setelan kasual dan anak yang ia tuntun di sisi kirinya. Kami saling berpandangan selama beberapa detik seperti bernegosiasi dalam pikiran masing-masing mengenai siapa yang pantas mendapatkan jas hujan terakhir ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Reason
Teen FictionBagaimana rasanya bertahan di tengah hubungan samar antara kekasihmu dan sahabatnya? Di saat kau terluka dengan hubungan ini, kau baru menyadari bahwa kekasihmu juga terluka menahan perasaan yang tidak bisa ia ungkap pada sahabatnya. "Seandainya ka...