reason 11

36 2 0
                                    

—————

bola

—————

—————

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

Entah sejak kapan memandang Raya bisa membuatku semerasa bersalah ini. Masih terekam jelas dalam kepalaku mengenai insiden kemarin siang, pekikan pilu Raya, wajah paniknya dan mata sembabnya—traumanya yang baru aku tahu ia memilikinya. Aku merasa sangat jahat karena membuat Raya kembali mengingat hal traumatis itu. Aku tidak tahu seberapa besar dampak ucapanku terhadapnya. Kenapa aku tidak tahu lebih awal? Kenapa William tidak berterus terang saja lebih awal agar aku bisa mengantisipasinya?

Tapi aku bersyukur, Raya tidak menjauhiku sejak insiden itu. Ia masih menyapaku, tersenym bahkan bercerita random tentang ia menabrak pohon saat mencoba mencari tali rambutnya yang terjatuh. Ia hanya menjawab tidak apa-apa saat aku menyinggung masalah kemarin. Aku tahu Raya teramat baik, tapi aku tidak tahu ia selapang dada itu memaafkan kesalahanku. Justru William yang aku tidak mengerti kenapa ia menjauh, seolah-olah aku membuat kesalahan besar—memang sih itu kesalahan besar, tapi kupikir itu bukan kesalahan yang tidak bisa dimaafkan. Aku sudah berusaha mengajaknya mengobrol, melakukan hal di luar nalar untuk menarik atensinya—membuat skenario pertengkaran dengan Ucup di depan William misalnya. Bahkan menulis surat dengan harapan ia membacanya karena jika aku mengirim pesan William sudah tahu siapa pengirimnya sehingga aku berasumsi ia pasti mengabaikan pesan itu. Tapi bahkan mengirim surat pun tidak bekerja dengan baik.

Hal aneh yang aku temukan William dan Raya masih berjarak, tentu aku ingin bertanya apa masalahnya tapi kupikir tidak etis setelah kemarin aku berhasil mengacaukan kewarasan Raya—yang berakhir William marah besar padaku. Raya bisa kembali berbaikan bersamaku tapi kenapa tidak dengan William? Apa ia masih marah dengan kenyataan William memukul kak Vernon?

"Kau mau ke kantin?" itu Raya, dia baik sekali masih menawariku makan siang bersama, tak lupa dengan seulas senyum. Bisa kau pikir saat orang yang kau sakiti secara langsung begitu lapang dadanya memaafkanmu, tidakkah kau merasa begitu kotor untuk menerima pemaafannya? Dan di saat William yang notabenenya tidak dirugikan dalam hal apapun, kenapa begitu sulit bahkan untuk memasang telinga mendengarkan penjelasanku?

"Ah tidak apa-apa aku—"

"Kau pasti belum makan siang kan? Ayo!" Raya menarikku untuk bangkit, dan aku tidak bisa melakukan apa-apa selain mengikutinya karena itu mungkin berpotensi membuatnya sedih jika aku mengelak. Sudah cukup aku menyakitinya kemarin.

"B-baiklah."

Pemandangan yang bisa ditebak, semua orang sudah berkumpul dalam satu meja lengkap dengan hidangan yang sudah mereka pesan. Semua sorot mata tertuju hangat menatapku, kecuali satu orang di ujung sana, yang kupikir ia bahkan tak mau repot-repot menatapku dan tetap menunduk berkutat dengan makanannya. Benar, itu William.

ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang