—————
berkunjung
—————
•••
Pagi itu aku terbangun dengan rasa pusing hebat di kepalaku. Mataku terasa panas, tubuhku sulit digerakkan, tenggorokanku kering dan rasanya untuk berteriak meminta air saja begitu sulit. Detik itu juga tanpa pikir panjang, aku menyadari sesuatu bahwa aku jatuh sakit.
Kemudian aku teringat bahwa kemarin sore aku pulang dengan keadaan basah kuyup—dan patah hati. Meratapi kenapa William dengan mudahnya menyepelekan perjuanganku di saat aku mengesampingkan kepentinganku demi dirinya? AKu masih tidak percaya ia dengan santainya memberi jas hujan itu pada Raya saat ia bisa melihat jelas dengan mata kepalanya—aku yang menyodorkan jas hujan itu—basah kuyup dan menggigil. Maksudku, kau bahkan tidak perlu bertanya, anak kecil saja tahu aku hujan-hujanan.
Oke aku mengaku bahwa itu bukan sepenuhnya salah William. Aku memang menyalahkannya karena sikap apatis dan cueknya, tapi sore itu, saat Jovan menawarkanku pulang dengan jemputan mobil kakaknya. Aku yang bodoh karena menolak dan membiarkan mobilnya pergi dengan alasan aku dijemput ibuku dengan mobil juga, meski kenyataannya aku hanya ingin menangis di tengah hujan. Hanya ingin meluapkan semua keluh kesah dimana seseorang tidak akan bertanya apa yang terjadi.
Ya, benar. Sepanjang perjalanan menuju rumah aku tidak menghindari hujan, karena satu-satunya cara menyamarkan bahwa aku tengah menangis. Aku butuh pelampiasan itu, aku butuh menangis untuk menegaskan bahwa sikap William sangat melukaiku. Menjadi tidak terlihat di mata kekasihmu sendiri itu terlalu menyakitkan bagiku.
Ternyata aku sebodoh itu mencintai seseorang. Hal yang lebih bodoh, sore itu aku hujan-hujanan dan menggigil kedinginan, namun aku masih sempat berpikir untuk memaafkannya jika William membalas pesan yang aku kirim tengah malam karena mendadak merindukannya. Tapi kau tahu apa? Aku tetap memutuskan untuk memaafkannya meski aku tahu dia online dan mengabaikan pesanku. Bodoh, sangat bodoh. Kupikir aku akan lebih waras sedikit ketika jatuh cinta dan masih sempat memperdulikan diriku sendiri. Ternyata tidak, aku teramat mencintainya hingga rasanya aku siap terluka demi bahagianya. Lucu, bukan?
Ibuku sudah mengabari bahwa surat sakit sudah ia kirimkan melalui tetanggaku yang berbeda kelas. Ini sudah jam 9 yang artinya sudah lewat 2 jam orang akan menyadari bahwa aku absen di kelas—tentu jika mereka peduli. Teman-temanku mengirim pesan pribadi mengenai apa yang terjadi denganku, kenapa aku tidak masuk sekolah dan pesan-pesan khawatir lainnya yang membuat aku tersenyum tipis di pagi hari menyaksikan perhatian kecil yang mereka limpahkan. Kecuali satu orang, satu orang yang kupikir akan paling ribut soal absensiku di kelas. Kau tahu siapa? Ya, kau benar. Kekasihku, William Sena Assegaf. Maksudku apa sulitnya bertanya kabar? Atau jika itu menyulitkan apa salahnya berpura-pura khawatir? Aku juga tidak masalah dengan kebahagiaan semu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reason
Teen FictionBagaimana rasanya bertahan di tengah hubungan samar antara kekasihmu dan sahabatnya? Di saat kau terluka dengan hubungan ini, kau baru menyadari bahwa kekasihmu juga terluka menahan perasaan yang tidak bisa ia ungkap pada sahabatnya. "Seandainya ka...