that night

67 4 0
                                    

"let's start from the beginning?"

———

"William!" Aku melambaikan tangan pada lelaki rambut coklat yang tadinya linglung mencari keberadaanku.

William menoleh, tidak tersenyum namun wajahnya terlihat hangat dan itu pertama kali bagiku. "Kau pindah tempat?" tanyanya.

"Tidak, hanya mencari kursi yang kering. Sebelah situ basah."

Itu pertama kali bagiku William sudi bertanya hal yang sebenarnya sekedar basa basi. Karena dia adalah William Sena Hubert—tapi ia banyak dikenal dengan William Sena—laki-laki dingin sekaligus tergalak di lingkungan sekolah. Kau akan mendapat tatapan tajam saat berani menyapa atau mengganggunya. Jangan harap kau mendapatkan senyum tulus dari William karena ia tidak akan pernah melakukannya.

Mungkin kalian berasumsi galaknya William seperti tipe badboy yang hobi bolos, tawuran, bertengkar, main perempuan atau tidak menaati peraturan. Berasumsi dinginnya William seperti cowok cool yang tidak berbicara sepatah katapun. Tidak, William hanya tipe lelaki yang tidak suka bertele-tele dan cenderung tidak memperdulikan perasaan orang lain jika tidak ada urusan dengan dirinya. Kadang ia bisa tegas juga jika sesuatu terlihat salah baginya.

"Menunggu lama?" aku menggeleng dengan senyum sedikit khawatir, namun dipaksakan terlihat baik-baik saja. Aku menepuk kursi di sampingku mengisyaratkannya untuk duduk lebih dulu sebelum berencana buru-buru pulang.

"Apa kau perlu sesuatu?"

"Huh?" William yang tengah meneguk kopinya kebingungan.

"Kau mengajakku kesini, apa kau perlu sesuatu?" lelaki itu hanya menghela napas berat dan melamun kosong ke depan. Bisu sejenak. "Sesuatu mengganggumu?" tanyaku lagi, menangkap sesuatu yang tidak biasanya. Aku tidak tahu William punya banyak beban di pikirannya hingga ia sedikit pendiam begini. Maksudku, tentu William lebih banyak diam tapi ia seperti gusar akan sesuatu.

"Hanya bosan di rumah," jawabnya sekenanya. Aku tersenyum pahit dalam hati. Baru saja berpikir mungkin William sedang bersikap hangat dengan mengajakku keluar. Dan ya, aku tahu tak akan ada yang berubah dari seorang William Sena, ia akan tetap menjadi William yang dingin.

"Kalau begitu ayo berjalan-jalan sebentar?" William mengangguk.

Sedetik kemudian ia sudah berdiri dan mengulurkan tangannya padaku. Sementara aku menatapnya keheranan. Sejak kapan ia peduli?

"Kau mau berdiri apa tidak? Tanganku pegal!" tersadar, aku langsung meraih tangannya dan bangkit.

Kami berjalan beriringan melewat beberapa toko kecil di daerah rumahku, dengan William yang terdiam memalingkan wajahnya menatap view langit yang bersih di malam hari. Aku tidak tahu sejak kapan ia tertarik melihat bintang-bintang disana. Itu bukan gayanya.

"Bagaimana acara teater kemarin?"

"Lumayan, tapi selama disana aku dikomentari Jovan. Katanya aku bawel," jawabku seadanya. Menceritakan hal berkesan dari acara teater itu bagaimana Jovan mengomentariku bawel karena tidak bisa diam. Maksudku, aku hanya mengapresiasi mereka jadi aku banyak bicara saat itu. Jovan makin hari memang makin kurang ajar. Aku tak ingat darimana dia belajar itu.

"Kau memang bawel."

"Kau membenarkannya?!"

"Iya, lalu kau mau apa?!" ledek William bercanda. Aku langsung meninju pundaknya dan reflek ia memegang bagian pundak itu dengan ringisan ala anak kecil.

Entah lelaki itu sungguhan merasa sakit atau tidak—karena aku memang memukulnya agak keras—diam-diam aku tersenyum menanggapi itu. William bisa bercanda juga, kupikir dia akan menjadi William kaku selama-lamanya.

"Astaga! Kau galak!"

Tak sadar lelucon yang semakin lama semakin mengalir itu membawa kami sampai di depan rumahku secepat kilat. Setelah berlarut-larut dalam tawa itu William akhirnya berdehem pelan. Ia melirik sekitar rumahku mencoba mencari sesuatu yang berbeda dari ia lihat biasanya—setidaknya itu yang aku tangkap dari matanya yang tengah sibuk menelisik rumahku.

"Oh pohon itu? Sudah ditebang beberapa waktu lalu," jawabku melihat pandangan William terpaku pada pohon yang semulanya berdiri di situ.

"Kenapa?"

"Katanya akarnya merusak tanah? Entahlah."

"Vega-nya masih ada?"

"Masih, ibu bilang harus menghargau konsep Patrick Blanc yang sudah susah-susah mengemukakan konsep vega, entah siapalah bapak itu aku tidak kenal," keluhku tak mau peduli. Satu hal yang harus kalian tahu ibuku sedikit terobsesi dengan vega semenjak ia menemukan berita tentang tanaman dan sebagainya di tv.

"Tapi kupikir itu hobi yang bagus, kan?"

"Iyasih, tapi kau tahu ia begitu terobsesi. Rencananya ia ingin membuatnya satu di kamarku. Gila!"

William tersenyum kecil, "mungkin biar kamarmu ada esensi ceweknya sedikit."

"Tidak ada hiasan bukan berarti kamarku tidak layak disebut kamar perempuan ya!"

"Iya bawel!"

Setelah perdebatan kecil itu kami bisu sejenak. William masih sibuk entah memperhatikan apa lagi. Aku tidak ingin berasumsi apa-apa.

"Yasudah kalau begitu aku masuk—"

"—Haura..." suara berat William memaksaku untuk berbalik. Aku menoleh dan mendapat lelaki itu serius. Dan saat mataku jatuh tepat pada iris coklatnya, tiba-tiba jantungku kembali memompa, lebih cepat dari sebelumnya.

T-tunggu! Kenapa ia mendekatkan wajahnya padaku? Maksudku, hey! Jantungku sedang tidak baik!









"Ayo kembali bersama?"

ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang