21. Gamis Hidup

8 1 0
                                    

Matahari sudah mengalah dengan bintang,yang artinya hari sudah gelap.Aira baru saja selesai menata barang-barangnya di rumah Agam yang sederhana ini.

"Maaf,rumahnya kecil." Ucap Agam merasa jika rumahnya tidak pantas untuk mendapat tamu.

"Ga perlu minta maaf,lo ga salah.Gue yang berterima kasih sama lo,udah mau nampung beban dunia ini."

Agam terkekeh pelan,sangat pelan sampai sampai hanya terdengar seperti helaan napas saja."Kalo ketawa tuh gini ha ha ha ha gini.Mulutnya yang ketawa bukan idungnya." Ucap Aira sedikit ngegas karena Agam tak tertawa lepas.Greget Aira tuh.

"Emang hidung bisa ketawa?" Tanya Agam memicingkan matanya penuh tanya.

"Bisa,gini nih." Aira mengembang-kempiskan hidungnya sendiri."Tuh ketawa tuh hidungnya. " Ucapnya konyol.

Lagi-lagi Agam terkekeh, "ish kalo ketawa mah ketawa aja jangan cuma hem hem hem." Ucapnya karena kekehan Agam itu terlalu pelan,oh atau sebenarnya dia tidak berniat tertawa?Hanya ingin menghargai ucapan Aira saja?

"Eh ini ibuk lo mana sih?Ogah ya gue kalo ntar cuma seatap ini sama lo yang ada gue jadi ayam geprek ntar." Ucap Aira karena batang hidung ibunya Agam tidak terlihat.

"Mungkin sebentar lagi beliau pulang." Jawab Agam dengan tangan yang terlipat di depan dada.

Aira mendengus sebal,di tambah ia sedang menyedekahkan darahnya pada nyamuk nyamuk kurang ajar."Gam banyak nyamuk,lo ada obat nyamuk?" Tanya Aira.

"Ada nanti di idupin kalo mau tidur." Jawab Agam membuat Aira sedikit lega, ia tidak ikhlas jika harus bersedekah darahnya yang bukan darah suci ini.

"Besok kamu sekolah?" Pertanyaan Agam membuat raut wajah Aira berubah menjadi sedih.Agam jadi merasa tidak enak,harusnya ia diam aja seperti biasa.

"Pengen,tapi takut.Gue udah lama gak berangkat mungkin gosip yang enggak enggak udah kesebar,gatau lagi kalo gue sekolah bakal sebanyak apa orang yang bikin gue sakit hati." Jawab Aira dengan sendu.

"Tapi masak kamu berhenti sekolah?" Tanya Agam yang sepertinya sudah siap menyemprot ceramah jika Aira mengatakan 'iya'.

"Ya enggak,yang ada ntar gue ga punya masa depan." Ucap Aira.

"Berarti saya ga punya masa depan?" Tanya Agam menoleh ke kanan,tepatnya menoleh ke Aira.

Duh,sepertinya Aira salah ngomong."Enggak,enggak gitu maksudnya.Gue cuma ga mau nyia nyiain kesempatan aja,kasihan papa gue yang udah rela biayain sekolah ya walaupun belum lunas sih."

Agam angguk angguk saja."Jadi?" Tanya Agam membuat Aira bingung.

"Jadi?Jadi apanya?" Tanya Aira tak mengerti.

"Besok jadi sekolah?"

Aira tampak berfikir sejenak,jika ia berangkat sekolah ia akan di bicarakan seperti apa? Tapi jika ia tak berangkat sekolah,ia akan melakukan apa di rumah ini,apa ikut Agam mencari barang rongsokan?Tapi kalau nanti ada guru yang lihat gimana?

Setelah berfikir akhirnya Aira memutuskan, "Eumm gue coba deh." Jawabnya membuat Agam mengukir senyum tipis,sangat tipis seperti saringan tahu.

"Bagus biar jadi anak pinter." Ucap Agam sambil mengusap kepala Aira sebentar.

Aira diam di perlakuan seperti itu,jantungnya kok seperti sedang jedag-jedug?Apa karena ia kaget ya di perlakuan seperti itu,makanya sedikit jedag-jedug. Ingat,sedikit,hanya sedikit.

Hening menyapa keduanya,mereka larut dalam pemikiran masing-masing.Tak selang lama ada seorang wanita paruh baya dan juga seorang wanita berhijab yang masih muda...mungkin seumuran dengan Aira?

Kebencian & KepergianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang