28. Tinggal Satu Atap

13 3 0
                                    

Aira menggeliat dalam tidurnya,ia melihat jam yang berada di ponselnya.Sudah jam setengah enam,ia harus bergegas mandi dan berangkat ke sekolah barunya.

Ia melepas mukena yang ia gunakan,karena sehabis sholat subuh tadi ia ketiduran karena kelelahan dan semalam kepalanya juga sedikit pusing hingga susah untuk tidur.

Aira memandangi dirinya sendiri lewat pantulan cermin,mengenakan seragam yang ada logo sekolah yang ia inginkan memang sedikit membuatnya tersenyum tulus.Akhirnya ia bisa mendapatkan keinginannya.

Lalu dengan semangat,Aira keluar kamar dan mengambil beberapa roti yang ia masukan ke dalam tas untuk sarapan nanti di sekolah.Ia tak memasak karena memang ia belum belanja,dan rencananya ia akan berbelanja sepulang sekolah nanti.

Niatnya ia juga akan mencari Agam untuk menanyakan hal kemarin,kenapa Agam memakai seragam.

Di rasa cukup dengan penampilannya,Aira keluar rumah dan tak lupa menguncinya.Ia akan berangkat dengan menggunakan motornya.

"Eh kamu itu cucunya Nenek Tini?" Tanya ibu-ibu yang habis berbelanja.

Aira tersenyum, "iya buk,kebetulan rumahnya saya tempati karena sayang aja gitu kalo di anggurin." Jawabnya.

Ibu tersebut menganggukkan kepalanya."Oh,cantik juga ya kamu.Mirip sama menantunya Nenek Tini." Menantunya yang di maksud adalah Arin,mamanya Aira.

"Kalau gitu saya permisi buk." Ucap Aira sedikit menundukkan kepalanya,lalu ia melajukan motornya dengan kecepatan sedang.

Tak butuh waktu lama,Aira telah sampai di Smanusa yang ternyata sudah banyak siswa yang berangkat padahal ini masih tergolong pagi.

Ketika Aira berjalan di lorong kelas,ada beberapa siswa yang menyapanya kadang hanya melemparkan senyuman.Ia jadi merasa aneh,karena waktu di sekolah lama banyak tatapan kebencian yang ia dapatkan.

"Hai." Sapa salah satu siswa yang kemudian berlalu begitu saja.

Aira tersenyum, "ramah-ramah bener." Gumamnya.

Tatapan kebencian itu masih terekam baik di otaknya."Kita kira kalo gue sekolah di sini,bakal ada yang benci gue enggak ya?" Gumamnya yang merasa overthinking.

Ia benar-benar takut penilaian orang lain terhadapnya.Apakah siswa-siswi di sini akan membencinya tanpa sebab?Apakah siswa-siswi di sini akan menginginkan kepergiannya?Entahlah memikirkan itu membuat rasa pusingnya kembali hadir.

Biarlah semua berjalan seperti biasanya,jika banyak yang menginginkannya pergi,Aira sudah biasa menghadapi hal itu.

Karena belum tau kelasnya ada di mana,Aira memutuskan untuk duduk di ruang guru karena ada wali kelas yang akan mengantarkannya.

"Pindahan dari mana?" Tanya salah satu guru yang sedang menata beberapa lembar kertas mungkin hasil ulangan muridnya.

"Dari Smarap bu," Smarap sendiri adalah singkatan dari SMA N Harapan,tapi Aira bersekolah di sana tidak ada harapan sama sekali.

Guru tersebut meng-oh saja, "kenapa pindah di sini?Padahalkan banyak yang minat sekolah di sana?"

Apa Aira harus menjawab jika lingkungan Smarap tidak bagus?Tapi bukankah itu menjelekkan nama baik sekolah?

"Eum ikut keputusan papa aja buk." Jawab Aira pada akhirnya.

"Humaira Kalista?"

Aira sedikit mendongak, "iya saya pak." Ucapnya.

"Mari ikut saya ke kelas,saya Leo saya yang menjadi wali kelas kamu." Ucapnya.

Lalu Aira berpamitan pada guru yang mengajaknya ngobrol tadi,lalu berjalan di belakang Pak Leo.

Kebencian & KepergianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang