BAB 9 ~ Complicated

2.2K 65 3
                                    

Di ruangan putih yang sunyi, suara derap langkah Gavin terdengar pelan saat ia memasuki ruangan. Ara terbaring di atas tempat tidur rumah sakit dengan mata yang masih tertutup rapat. Ruangan itu dipenuhi dengan bau antiseptik dan bunyi monitor yang terus berjalan.

Setelah berbagai penanganan, akhirnya kabar baik datang untuk Rea. Ara dan kandungannya masih bisa diselamatkan. Sebuah kelegaan yang mengalir di hati Rea, meringankan beban pikiran yang sebelumnya begitu berat.

Gavin, yang juga merasakan kelegaan, tidak bisa menyembunyikan rasa ingin tahu dan keinginannya untuk berbagi kebahagiaan. "Bagaimana hasilnya?" tanya Gavin dengan wajah penuh harap.

"Ara dan kandungannya baik-baik saja," jawab Rea dengan senyuman lega. Mendengar itu, Gavin tak bisa menahan rasa syukur dan senangnya.

Gavin mencoba memecah keheningan dengan pertanyaan ringan, "Bagaimana perasaanmu setelah mengetahui kondisinya?" Berusaha mencairkan suasana di tengah situasi yang tegang.

"Tentu saja itu sangat membuatku lega, dia sudah kuanggap seperti adikku sendiri," jawab Rea. Gavin melihat ekspresi lega di wajah Rea dan merasakan betapa besar rasa sayang yang dimilikinya terhadap Ara.

"Apakah itu alasannya kau menyuruh dokter lain untuk menangani Ara?"

"Kau benar, aku terlalu takut untuk menanganinya secara langsung."

"Ya, sangat terlihat kau menyayanginya ketika aku melihatmu sekalut tadi," ucap Gavin.

"Ya, kau benar. Mungkin karena aku pernah kehilangan adikku sendiri," kata Rea dengan tatapan yang tak terbaca. Gavin meresapi betapa mendalamnya rasa kehilangan yang pernah dialami Rea.

Tiba-tiba, Gavin memutuskan untuk mengubah arah percakapan, "Baiklah, jangan ceritakan lagi. Ingat, itu bukan kesalahanmu, itu semua adalah takdir." Gavin mencoba memberikan semangat pada Rea.

"Ya, aku tidak ingin mengingatinya lagi. Itu terlalu buruk bagiku," ucap Rea dengan nada lelahnya, mencoba mengalihkan pikirannya dari kenangan pahit.

Gavin tersenyum penuh pengertian, "Kau telah berjuang dengan baik, Rea. Kau hanya perlu fokus pada hal-hal yang lebih baik di depan."

Rea mengangguk setuju, "Terima kasih, Gavin. Aku hanya ingin Ara baik-baik saja."

"Tentu, dan aku yakin Ara sangat beruntung memiliki teman sebaik dirimu," kata Gavin memberikan pujian.

"Sekarang, sebaiknya kita tetap berpikir positif dan menyambut masa depan dengan kepala yang tegak," tambahnya dengan nada optimis.

Rea tersenyum kecil, "Kau benar. Ayo fokus ke hal-hal positif."

Gavin mengangguk pengertiannya, "Kau lelah?" tanyanya, mencermati ekspresi lelah di wajah Rea.

"Ya," sahut Rea, menyadari betul betapa kejadian tadi memberikannya tekanan emosional yang berat.

"Tidurlah dulu kalau begitu," saran Gavin, mencoba memberikan kesempatan kepada Rea untuk istirahat.

"Tidak, aku akan tidur setelah Ara bangun," tolak Rea.

"Begitu ya? Baiklah, aku keluar dulu. Aku punya pekerjaan yang belum selesai," ucap Gavin sambil mengarahkan langkahnya ke pintu untuk keluar. Gavin tau, sekalipun pria itu memaksa Rea untuk beristirahat, hal itu akan percuma karena Rea seseorang yang keras kepala.

"Gavin, tunggu!" Rea memanggil pria itu sebelum ia benar-benar meninggalkan ruangan.

"Ada apa?" Gavin menoleh dan menahan diri untuk tidak membuka pintu.

"Emm, aku ingin mengatakan sesuatu," ujar Rea ragu-ragu.

"Katakan saja," ajak Gavin, memberikan kesempatan pada Rea untuk berbicara.

LimerenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang