BAB 16 ~ End Choice

1.9K 57 1
                                    

Esok harinya, dengan hati yang berdebar-debar, Ara berjalan menuju ruangan dosen pembimbingnya. Sesampainya di depan pintu, dia berhenti sejenak sebelum mengetuk pintu dengan perlahan. Suara seorang pria mempersilakan masuk terdengar mengundang dari dalam ruangan.

"Silakan masuk," ucap pria yang duduk di dalam ruangan dengan ramah.

Ara membuka pintu dengan hati-hati dan melangkah masuk ke dalam ruangan. Dengan penuh kehati-hatian, dia menempatkan map berisi dokumen di atas meja dosennya, sementara tatapannya mencerminkan perasaan campur aduk ketika menatap wajah penuh tanya dosen yang ada di depannya.

"Pak Henry, saya ingin mengajukan permohonan untuk mengundurkan diri dari perkuliahan ini," ucap Ara dengan tangan yang mulai merasakan dingin.

Henry terkejut mendengar permintaan itu. Dengan sikap yang tenang, dia mengatur posisi duduknya, memberikan isyarat kepada Ara untuk duduk di kursi di depan mejanya.

"Maaf, Ara. Mengapa tiba-tiba kau ingin mengundurkan diri? Apakah ada sesuatu yang terjadi selama perkuliahanmu?" tanya Henry dengan nada kekhawatiran.

"Tidak Pak," jawab Ara dengan sikap yang tetap tegar.

"Lalu, mengapa, Ara? Bukankah sebentar lagi kau akan lulus? Bahkan hasil proyek tugasmu cukup bagus," ujar Henry, mencoba mencari pemahaman lebih lanjut.

Ara menatap Henry dengan ekspresi tegar, tetapi di balik ketegasannya, terpancar kepedihan yang mendalam dari matanya. "Saya hanya ingin keluar, Pak. Saya merasa tidak mampu melanjutkan kuliah ini lagi."

Henry melihat dengan seksama raut wajah Ara yang terlihat dipenuhi kesedihan. Meskipun rasa ingin tahu mendorongnya untuk mengetahui lebih lanjut tentang alasannya, namun dia juga merasakan bahwa ada keputusan yang sudah bulat dalam pikiran Ara.

Sambil menghela napas dengan penuh pertimbangan, Henry menyampaikan, "Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Saya akan menyetujui pengunduran dirimu. Namun, apa kau yakin dengan keputusan ini?"

Ara mengangguk perlahan, berusaha menahan air mata yang hampir menetes. Ara menjawab dengan suara yang mantap, "Ya, saya sudah memikirkannya dengan matang, Pak. Terima kasih atas pengertian dan kesempatan yang diberikan selama ini."

Henry menyadari bahwa meskipun ingin membantu, dia tidak dapat memaksa Ara untuk berbagi alasannya. Dia melanjutkan, "Saya menghormati keputusanmu, Ara. Namun, apa kau mau berbicara lebih lanjut tentang alasan di balik keputusan ini? Mungkin ada yang bisa saya bantu atau kita bisa mencari solusi bersama."

Ara menatap Henry dengan pandangan yang penuh apresiasi. "Terima kasih, Pak Henry. Saya menghargai tawaran bantuan Anda. Tetapi, ini lebih kepada keputusan pribadi saya yang tidak bisa dihindari."

"Hhhh... baiklah. Surat pengunduranmu akan segera diproses. Semoga kau menemukan jalan yang tepat untukmu di masa depan. Jangan ragu untuk menghubungiku jika kau membutuhkan bantuan atau saran."

Ara tersenyum lemah, mengucapkan terima kasih sekali lagi kepada dosennya. Meskipun berat, namun di lubuk hatinya, dia tahu ini adalah keputusan yang harus dia ambil.

"Terima kasih, Pak Henry. Saya akan menghargai semua bimbingan dan dukungan yang telah Anda berikan."

Mereka berjabat tangan dengan penuh penghormatan, dan Ara meninggalkan ruangan dengan perasaan campur aduk. Henry memandang pergi sosok Ara yang semakin menjauh, berharap yang terbaik untuk masa depannya, namun juga merasa sedih melihatnya pergi dengan rasa kehilangan yang tak bisa diungkapkan.

Di ujung koridor yang sunyi, Vera mendekati Ara yang baru saja melangkah keluar dari ruangan dosen. Dengan cermat, Vera mencermati ekspresi wajah Ara, mencoba memahami perasaan sahabatnya itu dalam momen ini.

LimerenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang