BAB 6 ~ Break

2.4K 67 2
                                    

"Aksa...." Suasana menjadi sangat sunyi seketika, tanpa ada suara yang memecah keheningan. Tatapan Aksa terfokus pada seorang pria yang berdiri tepat di belakang Ara. Sensasi ketidaknyamanan langsung menghampiri Ara.

"A-Aksa, dia bukan seperti yang apa yang kau pikirkan," ucap Ara dengan nada yang gugup, mencoba membela diri.

"Memang apa yang aku pikirkan? Kau bisa membaca pikiranku?" Mata Aksa menatap tajam mata Ara.

"Bukan, bukan seperti itu...." Ara terdengar canggung, dan dia menundukkan kepalanya merasa kebingungan.

"Lalu seperti apa? Kau yang sekarang bersama seorang pria sementara masalah kita belum terselesaikan?" tegur Aksa dengan nada tajam.

"Bukan begitu, Aksa-"

"Ku rasa keputusanku untuk mengakhiri hubungan kita kemarin adalah langkah yang tepat untuk kita berdua," ucap Aksa sambil melangkah menuju mobilnya.

"Apa maksudmu?" Ara bertanya, tetapi Aksa hanya berjalan masuk ke dalam mobilnya.

Tiba-tiba, Ara berlari mengejar Aksa yang sudah ada di dalam mobil. "Aksa, tunggu! Aku bisa menjelaskan, Aksa!"

Ara berusaha membuka pintu mobil dan berulang kali memukul kaca mobil, berharap Aksa akan turun dan mendengarkan penjelasannya.

"Tuan, apa tidak sebaiknya memberi kesempatan pada Nona Ara untuk menjelaskan?"

"Tidak perlu, jalankan mobilnya," jawab Aksa tanpa ragu. Keputusannya tetap tak berubah. Mobil itu pun melaju pergi, meninggalkan Ara yang terdiam di tempat.

Apa yang dilakukan Ara terasa sia-sia. Meskipun dengan sekuat tenaga wanita itu memukul kaca mobil pria itu, Aksa tetap tak akan membuka pintu dan mendengarkan penjelasannya.

Ara masih berdiri di tempat yang sama, menenteng kue yang baru saja dibelinya. Rasa sakit di hatinya semakin terasa. Dia ingin menangis untuk meredakan beban emosional akibat kata-kata tajam Aksa yang dengan mudah memutuskan hubungan mereka secara sepihak.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Radit, menyaksikan kejadian antara Ara dan pria yang tak dikenalnya tadi. Ara menganggukan kepala, menunjukkan bahwa dia baik-baik saja, meski terlihat dari raut wajahnya yang sedih.

"Sekarang kita masuk ke dalam mobil, kau bisa menenangkan diri di sana," ucap Radit, mengusap bahu Ara dengan penuh perhatian.

"Baik." Ara menyetujui saran Radit dengan anggukan kepala lemah.

Keduanya memasuki mobil, dan Radit menyalakan pendingin udara dengan suhu yang cukup nyaman. Pria itu mengambil sebotol air mineral dari kompartemen mobil dan memberikannya kepada Ara.

"Minumlah agar pikiranmu lebih tenang."

"Terima kasih." Ara menerima air mineral itu dan meminumnya. Sementara itu, Radit memulai mobilnya dengan perlahan untuk melanjutkan perjalanan ke rumah Ara.

Di dalam mobil yang hening, Ara mencoba merapikan pikirannya. Radit mengemudikan mobilnya dengan penuh kehati-hatian, memberikan Ara ruang untuk mengumpulkan kembali ketenangannya. Matahari perlahan tenggelam di cakrawala, menciptakan suasana senja yang tenang di sekitar mereka.

Sudah berlalu lebih dari sepuluh menit, namun suasana hening yang menyelimuti mereka tak kunjung terpecahkan oleh percakapan ringan. Keheningan itu menciptakan atmosfer yang begitu tegang, bahkan Radit sendiri mulai merasa tidak nyaman dengan kesunyian yang menggelayuti mereka.

Tiba-tiba, tanpa bisa menahan lagi, Radit memutuskan untuk memecah keheningan tersebut.

Dengan lembut, dia menolehkan kepala ke arah wanita yang ada di sampingnya, mencoba membuka pembicaraan dengan sopan, "Maaf, boleh aku bertanya?"

LimerenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang