BAB 17 ~ Deal

1.9K 56 3
                                    

Pada malam yang sunyi, bulan purnama tergantung di langit gelap, memancarkan cahaya lembut yang memeluk bumi. Suara angin sepoi-sepoi berdesir perlahan, menambah kesan tenang yang terasa di udara, seakan-akan alam pun ikut merayakan kedamaian malam.

Di dalam kamar tidur yang hangat, Vera terlelap di atas ranjangnya, terselimuti selimut yang lembut. Matanya tertutup rapat, tenggelam dalam alam mimpi yang tak terduga, di mana pikiran dan hatinya berlayar ke alam khayal yang tak terhingga.

Namun, ketenangan malam tiba-tiba terusik oleh suara dering yang melengking. Ponsel Vera tergeletak di atas nakas kayu, bergetar dan meneriakkan panggilan yang memecah kesunyian malam dengan tegas.

Vera menggeliat perlahan, mempertahankan jejak mimpi yang hampir hilang, dan menghampiri panggilan itu dengan wajah yang masih penuh kantuk, bertanya-tanya siapa yang menghubunginya di tengah malam yang sunyi.

Ketika Vera melihat layar ponselnya, tertera nama yang sudah tidak asing lagi, Henry. Dengan rasa ingin tahu yang menggelora, dia menjawab panggilan tersebut dengan suara yang sedikit serak karena baru terbangun. "Ada apa?" tanya Vera dengan lembut, memecah keheningan malam dengan suara lembutnya yang menyatu dengan hembusan angin di luar.

"Kau sudah tidur?" tanya Henry dari seberang telepon, menyadari bahwa panggilannya mungkin telah mengganggu.

"Sudah, dan panggilanmu membuatku terbangun. Jadi ada apa?" Vera menjawab, mencoba menyembunyikan sedikit kekesalan dalam suaranya.

"Dimana Ara?" tanya Henry.

"Kurasa dia sudah tidur," jawab Vera sambil menatap kegelapan di luar jendela, mencoba memvisualisasikan keadaan Ara di kamarnya.

"Kalian tidur bersama?" tanya Henry, mencoba memahami situasi dengan lebih baik.

"Tidak, kami tidur terpisah. Ara yang meminta, kurasa dia sedang berusaha untuk beradaptasi sendiri," jelaskan Vera, memberikan klarifikasi atas situasi mereka.

"Bagaimana keadaannya?" Henry menanyakan dengan keingintahuan yang kental.

"Cukup baik. Sepertinya dia jadi lebih bersemangat untuk menjaga kesehatannya. Kau tahu kan? Itu semua demi anak yang sedang dia kandung," ungkap Vera dengan kebanggaan dalam suaranya, merasa senang melihat perkembangan positif pada sahabatnya.

"Lalu baga-" Henry hendak melanjutkan pertanyaannya.

"Hei, sudah cukup basa-basimu. Sebenarnya kau mau membicarakan apa?" potong Vera dengan nada sedikit kesal, ingin segera tahu tujuan sebenarnya dari panggilan Henry.

Henry terkekeh geli di ujung telepon, "Ternyata kau tidak bisa diajak basa-basi ya?" ucapnya dengan nada santai, menyadari bahwa Vera tak ragu untuk menginterupsi percakapan mereka.

Vera tersenyum lembut lalu memutuskan untuk mengambil langkah ke balkon, membawa ponselnya yang masih terhubung dengan panggilan dari Henry. Langkahnya ringan melangkah di atas lantai kayu yang halus, menyuarakan suara lembut bergemerincing saat telapak kakinya menyentuh permukaan.

"Cepat beritahu atau aku tu-" Vera terhenti, matanya memandang Henry dengan tatapan penuh kebingungan saat mendengar kabar yang tak terduga itu.

"Keadaan Ara terbongkar," ujar Henry dengan serius, membiarkan berita itu bergema di udara malam yang sunyi.

"Apa?! Maksudmu?" Vera bertanya, mencoba mencerna informasi yang baru saja dia terima.

"Sekarang kehamilan Ara menjadi topik hangat di kampus, entah siapa yang menyebarkannya aku tidak tahu," jelaskan Henry, menambahkan lapisan ketidakpastian terhadap situasi yang semakin kompleks.

Vera terdiam sejenak, membiarkan beratnya kabar itu meresap ke dalam pikirannya. Henry merasakan keheningan itu, menyadari betapa sulitnya situasi yang dihadapi Vera.

LimerenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang