Ara merasa sangat lega, memenuhi ruangan dengan rasa syukur, saat akhirnya dia diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Beberapa hari terakhir dihabiskannya di sana, menjalani perawatan intensif akibat pendarahan yang terjadi pada kandungannya.
Kembali ke apartemennya tidak hanya berarti kembali ke tempat tidur yang nyaman, tetapi juga merasakan kembali kebebasan dan privasi yang tidak bisa didapatkannya di rumah sakit.
Dengan hati penuh sukacita, Ara membuka pintu apartemennya. Aroma harum makanan yang menyambutnya langsung menguar di udara. Senyum lebar terpancar di wajahnya, merasakan kebahagiaan yang amat besar.
"Veraa! Ara sudah pulang!" teriaknya, merayakan kembali kehadirannya, sambil menghampiri Vera yang sedang sibuk di dapur.
Vera membalas senyumnya, "Senangnya kau sudah pulang. Tunggu sebentar, aku selesaikan masakanku dulu, kau duduk di sofa dulu saja." Mendengar itu, Ara dengan penuh antusias mengangguk.
Ara melangkah menuju sofa, merasa beruntung bisa kembali pada kebiasaan lama bersama sahabatnya. Dengan hati yang penuh syukur, Ara duduk di sofa sambil menunggu dengan sabar sajian masakan dari Vera yang tentu saja selalu lezat dan menyenangkan.
Setelah beberapa menit, akhirnya Vera menyelesaikan masakannya dengan penuh kehati-hatian. Dengan senyuman lembut, dia menyajikan hidangan itu di meja depan Ara. "Ini, makanlah sebelum kita membahas masalahmu," kata Vera, memberikan perhatian penuh pada sahabatnya.
"Maaf, aku jadi merepotkan."
"Hei, santai saja. Ingat, aku sudah berjanji di telepon tadi bahwa begitu kau pulang dari rumah sakit, aku akan datang ke apartemenmu dan memasak makanan enak untukmu."
Ara tersenyum kembali, merasa sangat bersyukur dan senang mendengarnya. Gadis itu tak sabar menikmati masakan yang selalu lezat dari tangan Vera. "Terima kasih, Vera. Masakanmu selalu menyentuh lidahku dengan kelezatan yang luar biasa."
Setelah mereka selesai makan, Vera memulai pembicaraan dengan penuh kehangatan, bertanya tentang kondisi Ara dan kandungannya. "Bagaimana kondisimu dan kandunganmu sekarang? Kau sudah merasa lebih baik?" tanya Vera, ekspresinya penuh perhatian.
Ara mengangguk. "Ya, kami berdua sudah merasa lebih baik. Terima kasih banyak, Vera, atas perhatian dan dukunganmu."
Vera tersenyum senang. "Aku turut senang jika kau dan kandunganmu baik-baik saja. Kau tahu, aku sangat khawatir dan terkejut mengetahui bahwa kau sedang hamil. Apalagi mendengarmu masuk rumah sakit dan dirawat selama beberapa hari, rasanya jantungku mau copot. Dan maaf aku tidak ada di sana untuk menolongmu."
Ara menunduk, jari-jarinya bertaut. "Aku yang seharusnya meminta maaf, aku tidak memberitahumu dari awal. Aku merasa takut dan tidak yakin bagaimana reaksimu nantinya. Aku tidak ingin membuatmu merasa terbebani dengan masalah yang aku hadapi."
Vera menggeleng. "Tidak apa-apa, Ara. Kalau aku di posisimu, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama. Kau tidak perlu meminta maaf. Aku di sini untukmu, sebagai sahabatmu. Lagipula, aku juga merasa senang karena sebentar lagi aku akan memiliki keponakan yang lucu." Mendengar itu, Ara merasa terharu dan bahagia memiliki sahabat setia seperti Vera.
"Jadi... siapa ayah dari bayi yang kini sedang kau kandung? Apakah pria bernama Aksa itu?" tanya Vera, suaranya menunjukkan ketegasan.
Ara merasa agak gugup, tetapi dia menyadari bahwa dia harus berbicara dengan jujur. "Iya, Vera. Ayahnya adalah Aksa."
Vera mengangguk, merasa tidak terlalu terkejut dengan jawaban Ara. "Sudah ku duga. Aku hanya ingin tahu secara pasti."
Ara tersenyum kecil. "Tidak apa-apa, Vera. Aku mengerti kalau kau hanya ingin tahu. Terkadang, menjelaskan semuanya terasa sulit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Limerence
Romance[A ROMANCE STORY] "A-aku ke sini ingin memberitahumu jika saat ini aku sedang hamil. Dan sekarang kita akan memiliki anak seperti impianmu dulu. Kau pasti bahagia bukan?" "Kau yakin itu anakku?" "Maksudmu?" "Waahhh, hubungan kalian sudah sejauh itu...