Seteleh melalui perjalanan di tengah malam yang gelap, mereka berdua akhirnya tiba di depan pintu gerbang rumah Ara, di bawah cahaya remang-remang bulan yang bersinar lembut. Langit malam membentang luas di atas mereka, menambah nuansa misteri pada momen yang penuh ketegangan. Angin malam menyapu pelan, memainkan daun-daun pepohonan di sekitar, menciptakan suara gemerisik yang lembut.
Ara menatap rumahnya dengan ekspresi campuran antara lega dan rasa syukur. Pagar rumah yang terbuka, menyambut kedatangan mereka di bawah naungan pohon-pohon di sepanjang jalan setapak menuju rumah. Cahaya lampu jalanan menyinari trotoar dan membuat bayangan yang menarik di bawah pepohonan.
"Baiklah, masuklah ke dalam rumah. Jangan lupa kunci semua pintu dan langsung tidur," ucap Aksa dengan nada lembut, matanya penuh perhatian saat menatap Ara.
"Kau langsung pulang?" tanya Ara.
"Sepertinya begitu. Ada apa? Kau masih ketakutan?" Aksa mencoba membaca ekspresi wajah Ara yang terdiam, memainkan jari lentiknya dengan cemas.
"Hei, sudah tidak ada apa-apa. Besok aku akan kembali ke sini. Kecuali kau membiarkanku menginap di sini, kau mengizinkanku?" Aksa bertanya dengan harapan yang halus, mencoba melihat apakah Ara merasa nyaman dengan kehadirannya.
"Tidak," jawab Ara tanpa ragu.
Aksa menghela napas. "Itu artinya kau belum memaafkanku kan?"
"Maaf," ucap Ara dengan suara lembut, dan matanya melihat langsung ke mata Aksa.
"Hei, tidak masalah. Kau tidak bersalah, jadi tidak perlu meminta maaf. Aku pantas mendapatkannya. Ambil waktu sebanyak mungkin, jika hatimu sudah merasa siap, kau bisa langsung mengatakannya padaku." Aksa berusaha menenangkan Ara dengan kata-kata lembutnya.
Suasana menjadi hening, dan Aksa mencoba memberikan senyuman yang lembut untuk menenangkan Ara. "Baiklah. Sekarang masuklah ke dalam." Ara pun langsung bersiap membuka pintu mobil, namun tiba-tiba Aksa menghentikannya.
"Tunggu!"
"Ada apa? Apa ada yang tertinggal?"
"Bukan. Setelah dipikir-pikir, aku baru ingat. Kau tidak ingin memberikan apa-apa untukku setelah aku menolongmu dari berandal-berandal tadi?"
"Terima kasih karena telah menolongku tadi," jawab Ara dengan penuh penghargaan.
"Hanya itu?" tanya Aksa sambil memandang Ara dengan ekspresi antara penasaran dan kecewa.
"Kalau begitu besok pagi aku akan membuatkanmu sarapan," ucap Ara dengan senyum ringan.
"Ck, ayolah. Aku masih bisa membuat sarapan sendiri," tolak Aksa dengan santai.
"Lalu apa yang kau inginkan?" Ara bertanya dengan wajah penasaran.
Aksa menatap Ara, kemudian matanya turun ke arah bibir wanita itu. "Berikan aku ciuman."
"Apa mak-" Ara terkejut dengan permintaan tak terduga itu, wajahnya memerah seperti mekarnya bunga mawar di pagi hari.
Tanpa aba-aba, dengan penuh keberanian Aksa mencium bibir Ara. Bibir mereka bersatu dalam kegilaan, mengirimkan getaran listrik melalui tubuh mereka. Momen itu, seperti ledakan gairah, membuat getaran listrik melintasi tubuh mereka, menciptakan sensasi yang memabukkan.
Ara, terkejut namun tak menolak, membiarkan dirinya tenggelam dalam keintiman yang mendalam. Ia merespons dengan keinginan yang sama intens, merasakan hangatnya ciuman Aksa yang tak terduga.
Aksa, dengan penuh gairah, melingkarkan tangannya ke pinggang Ara, menariknya lebih dekat. Tubuh mereka seperti magnet yang tak bisa dipisahkan, saling menarik dengan hasrat yang meluap-luap.
Udara di dalam mobil terasa seperti terbakar oleh panas yang mendesak, seolah-olah api gairah telah menyala di antara keduanya. Mata mereka, penuh dengan keinginan, saling bersentuhan dalam pandangan yang memancarkan hasrat. Aksa merasakan denyutan panas dari tubuh Ara, mengundangnya untuk lebih masuk ke dalam lautan keintiman.
Tak ada kata-kata yang terucap, hanya getaran tubuh yang berbicara. Tanpa ragu, Aksa kembali mencium bibir Ara dengan kelaparan yang membara, seolah ingin mengejar waktu yang terus berlalu. Ara, tidak kalah bernyali, membalas dengan gairah yang sama.
"Mmm..." Ara melenguh lembut di antara ciuman mereka, menjadi pemicu bagi Aksa untuk semakin tergila-gila. Ia merasakan dorongan untuk mencium Ara dengan lebih mendalam.
Ciuman mereka menjadi semakin liar, sebagai bentuk ekspresi dari keinginan yang tidak terbendung. Lidah Aksa menjelajahi setiap sudut mulut Ara, menciptakan sensasi yang tak terlupakan.
Tubuh mereka saling berpadu dalam tarian keinginan, menyentuh satu sama lain dengan tangan yang tak sabar. Sensasi kulit mereka yang bersentuhan menambah panas dalam mobil, menciptakan aura erotis yang menghantui. Mereka seperti tersesat dalam dunia sendiri, abstrak dari waktu dan tempat, di mana hanya keintiman yang mendalam yang mengikat mereka.
Ketika akhirnya ciuman mereka mereda, mereka saling memandang dengan mata yang membara. Udara di dalam mobil terasa terisi dengan aroma asmara yang melimpah, sementara senyuman puas terukir di wajah Aksa. Mata Ara masih penuh dengan rasa ingin tahu dan keinginan yang belum terpuaskan, menciptakan atmosfer yang masih penuh dengan ketegangan dan kehangatan yang menggelora.
"Cepat, masuklah ke dalam selagi aku masih bisa mengendalikan diriku," desis Aksa dengan suara berat, mata penuh dengan keinginan yang tak terbendung.
Mendengar kata-kata itu, Ara merasa detak jantungnya melonjak naik. Tanpa ragu, ia memutuskan untuk memasuki rumah dengan langkah yang berdesir dan bibir merah yang membengkak.
Di dalam mobil yang kini berada dalam keheningan malam, Aksa duduk dengan posisi yang tegang di kursi pengemudi. Cahaya lampu jalan yang masuk melalui jendela mobil menggambarkan wajahnya yang masih memancarkan panas. Nafasnya tidak teratur dan berat, seolah-olah api gairah masih menyala dalam dirinya.
Aksa mengepalkan kedua tangannya di atas kemudi, mencoba menenangkan diri. Hatinya berdegup kencang, dan getaran dari sentuhan bibir Ara masih terasa di bibirnya. Dia merenung sejenak, mencoba menahan dorongan gairah yang masih berkobar di dalamnya.
Tubuh Aksa semakin terasa panas, seakan-akan bara asmara yang menyala sejak ciuman mereka masih membakar di dalam dirinya. Hanya dua kali ciuman, namun itu sudah cukup untuk membuatnya merasakan api yang membara di dalam dada. Aroma keintiman mereka masih melayang-layang di dalam mobil, menciptakan atmosfer yang terasa begitu intens.
Aksa memutuskan untuk menutup mata sejenak, mencoba meresapi setiap detail dari momen yang baru saja terjadi. Bibir Ara yang merah dan bengkak masih jelas tergambar di benaknya. Dia merasakan detak jantungnya yang terasa seperti drum yang memukul ritme gairah yang belum surut.
Namun, pandangan Aksa tiba-tiba terpaku pada bingkai kaca spion yang memantulkan bayangan dirinya sendiri. Wajahnya yang memerah dan mata yang dipenuhi keinginan memandanginya dari kaca mobil. Dia tersenyum ringan, mencoba mengendalikan kegelisahan yang memenuhi dirinya.
"Sial! Aku benar-benar akan gila," ucapnya dengan kekehan seolah dia tidak percaya dengan apa yang mereka lakukan tadi.
Aksa tahu bahwa malam ini akan meninggalkan bekas yang sulit dilupakan. Meskipun dalam keheningan mobil yang sepi, dia dapat merasakan kehadiran Ara yang masih menyelimutinya. Gairah yang mereka buat bersama, seolah menjadi seutas benang yang menyatukan keduanya di dalam momen intim itu.
To be continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
Limerence
Romance[A ROMANCE STORY] "A-aku ke sini ingin memberitahumu jika saat ini aku sedang hamil. Dan sekarang kita akan memiliki anak seperti impianmu dulu. Kau pasti bahagia bukan?" "Kau yakin itu anakku?" "Maksudmu?" "Waahhh, hubungan kalian sudah sejauh itu...