Bab 36

179 14 6
                                    

Hari kedua kepulangannya, Rami masih memilih untuk mengurung diri di dalam kamar di apartemennya. Empat puluh delapan jam berselang setelah kejadian malam itu, Rami masih belum bisa memulihkan dirinya. Hatinya patah, ia terguncang.

Segala macam amarah yang ia keluarkan, nyatanya tidak dapat mengubah kenyataan yang sudah terjadi. Bahwa Diola telah benar-benar lepas dari genggamannya.

Ia berbaring terlentang, kedua matanya terpejam menghadap ke arah plafon kamarnya. Pria itu memegangi kepalanya dengan sebelah tangan. Sementara ia berusaha mengatur napasnya. Menghirup udara melalui hidung dan mengeluarkannya melalui mulut, ia terus mengulangnya hingga beberapa kali. Sampai dirinya merasa lebih baik.

Tapi, tidak bisa. Rami tidak bisa merasa lebih baik daripada sebelumnya—ketika ia bersama perempuan itu.

Bukan, bukan ini yang ia inginkan. Ia butuh Diola. Karena tanpanya, ia seperti kehilangan separuh napasnya.

"She told me that she loves me. But she's lied," gumam pria itu dalam kontemplasinya.

Rami bahkan meracau. Bicara dan terus bicara seperti orang mengigau. Katakanlah, Rami mengalami depresi berat setelah malam itu. Malam di mana ia menyaksikan pujaan hatinya menyerahkan diri pada orang lain. Sakit. Bahkan perihnya tak terperikan jika ia mengingat kejadian itu lagi.

"Kenapa kamu melakukan ini padaku, Dio?" ia kembali menghela napas berat. Kemudian sedetik kemudian membuka matanya perlahan.

Meletakkan tangannya di samping tubuhnya. Ia menatap nyalang ke arah plafon kamarnya.

Lihat! Apa yang telah Diola lakukan padanya? Seumur hidupnya, Rami tidak pernah sekacau saat ini ketika mengalami patah hati. Bahkan ketika kisah asmaranya dengan Noura harus berakhir karena perempuan itu memilih pria lain. Rasanya, tidak separah seperti sekarang. Rami... seperti kehilangan arah, tujuan hidupnya.

Ia mencintai Diola. Dan perempuan itu pun sebaliknya. Lalu, apa yang salah hingga akhirnya ia menerima Irvin malam itu? Mengapa Tuhan dengan mudah merenggut Diola darinya? Bukankah Tuhan mengirim Diola padanya untuk menjadi takdirnya?

Entah lah, Rami tak lagi mengerti dengan konsep takdir yang selama ini ia yakini. Ternyata mudah bagi-Nya untuk membolak-balikan keadaan, begitu juga dengan hati Diola.

Pria itu berguling, membuat dirinya terbaring menyamping menghadap jendela kamarnya. Bersamaan dengan hal tersebut, ponsel yang ia letakkan di atas nakas berdering menandakan sebuah panggilan masuk. Pria itu kemudian mengamit benda tersebut dan melihat nama Eleanis tertera pada layar.

Beberapa saat Rami tak melakukan apa pun selain menatap layar ponselnya dengan penuh pemikiran. Hingga akhirnya panggilan tersebut berakhir dan layar pun berubah menjadi gelap.

Belum saatnya. Ia rasa butuh waktu lebih lama baginya untuk mencerna semua kejadian yang ia lewati. Bukan waktu yang tepat bagi Eleanis untuk mengetahui apa yang sedang ia alami sekarang. Patah hati akut.

Lalu Rami mengusap layar ponselnya dan mengecek pesan instant yang belum sama sekali ia buka. Juga log panggilan masuk. Selain Eleanis yang baru saja mencoba menghubunginya. Ada pula beberapa panggilan tidak terjawab—dari kontak bernama Diola—yang coba ia abaikan sejak dua hari yang lalu—sebelum kemudian ia kembali mengganti nomor ke SIM-card lamanya.

"Untuk alasan apa lagi kamu coba menghubungiku? Bukankah sudah jelas siapa yang kamu pilih," gumam pria itu tanpa sedikit pun melepaskan tatapannya dari layar ponsel miliknya.

Ia kembali berguling dan membiarkan tubuhnya terlentang. Masih dengan gagang ponsel di tangannya. Rami mengusap wajahnya kasar dengan sebelah tangannya yang bebas. Kemudian untuk kesekian kalinya menghela napas.

AFTERTASTE ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang