Bab 20

168 18 0
                                    

Jantungnya berdegup kencang, kala dirinya memacu mobilnya dengan kecepatan penuh menuju bandara Dewadaru. Seperti kesetanan. Ia tidak ingin membiarkan fokusnya teralihkan begitu saja. Karena ia tidak ingin kembali mengingat apa yang baru saja terjadi. Apa yang baru saja ia lakukan. Bertindak seperti orang bodoh. Tentu saja!

Dengan cara memacu adrenalinnya, ia berharap rasa penyesalan yang mulai menjalari hatinya akan terasa samar. Hanya saja harapannya tersebut tak kunjung jadi kenyataan. Otaknya justru semakin giat mengingat sosok Diola yang nelangsa ketika ia tinggalkan.

Pergi dan membiarkan Diola sendirian. Memilih untuk mencampakkannya. Demi untuk memastikan Noura baik-baik saja. Namun saat itu, tak pernah sedikit pun terlintas di benaknya bahwa perempuan yang ia tinggalkan tersebut tidak akan pernah baik-baik saja setelah ini.

Andai saja ia bisa mengungkapkan apa yang tengah bergulat dalam batinnya. Jelas-jelas ia gamang. Ia tidak ingin meninggalkan Diola, namun, di sisi lain ia juga tidak bisa membiarkan Noura dalam bahaya. Gila! Bagaimana ia bisa memiliki perasaan pada dua orang sekaligus di waktu yang sama?!

Rami menginjak pedal remnya keras-keras. Dengan begitu mobil yang dikendarainya praktis terhenti. Tindakannya yang tiba-tiba seperti itu tentu saja dapat membahayakan dirinya. Namun, sepertinya ia tidak peduli. Ia hanya butuh mengeluarkan sesak dalam dadanya dengan cara berteriak dan memukul-mukul kemudi mobilnya.

Tidak, tidak! Mungkin benar, ia akan bereaksi cepat jika hal tersebut menyangkut Noura. Tapi, ia yakin seyakin-yakinnya jika perasaannya saat ini hanya untuk Diola. Ia hanya kelewat peduli dengan keadaan Noura saat ini. Biar bagaimanapun ada campur tangannya hingga Noura berada di titik ini. Dan Rami merasa perlu menyelesaikannya sampai selesai.

Sementara itu, keyakinan lainnya adalah bahwa Diola akan tetap menunggunya hingga ia kembali. Dan memaafkannya atas perbuatannya kali ini. Perempuan itu akan memberikannya satu kesempatan lainnya. Untuk yang terakhir—setelah ia menyelesaikan masalahnya kali ini.

Isi dalam kepalanya saat ini dipenuhi dengan bayangan Diola—yang memunggunginya dengan tubuh bergetar hebat penuh kemarahan. Suara isak tangis di setiap kalimat yang diucapkan. Benar-benar mengiris perasaannya.

Rami menarik napasnya kasar, meletakkan kepalanya di atas headrest kemudian memejamkan matanya. Merasakan dadanya semakin sesak ketika ia mengingat peristiwa yang baru saja ia alami beberapa saat yang lalu. Bagaimana ia bisa tega melakukan hal tersebut pada kekasih hatinya?

Astaga... Semakin ia memikirkannya, semakin ia merasakan kesakitan yang Diola rasakan. Semakin ia harus cepat pergi dari tempat itu dan menyelesaikan masalahnya dengan segera.

Dengan berat hati, Rami kemudian melanjutkan perjalanan menuju bandara. Kali ini mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan normal. Sedikit lega karena telah mengeluarkan sesak di dalam dadanya.

Beberapa saat kemudian pria itu tiba di bandara dan menunggu hampir empat puluh lima menit lamanya untuk kru mempersiapkan penerbangan mendadaknya.

Namun, selama itu juga Rami tak mencoba melakukan sesuatu kecuali berusaha menghubungi Diola. Beberapa kali ia menelepon perempuan itu, namun beberapa kali juga suara operator yang menjawabnya. Rupanya, ponsel Diola tidak aktif. So, ia putuskan untuk meninggalkannya pesan singkat. Berharap—entah kapan pun itu—mendapatkan balasan.

Seorang kapten yang menerbangkan pesawat carter—yang membawa Rami dan Diola tempo hari—menghampirinya ketika Rami tengah fokus dengan ponselnya. Pria yang merupakan kenalannya tersebut menatap heran Rami, atas ketidakhadiran sosok Diola di sampingnya.

"Sendirian, Ram?" tanya pria itu sambil mengerutkan kening. Pandangannya mengerling mencari-cari perempuan yang tempo hari bersama Rami.

"Oh, hai, Ed. Sorry, aku ganggu kamu malam begini."

AFTERTASTE ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang