Bab 11

208 20 0
                                    

Ia tidak ingat kapan tepatnya mereka berdua benar-benar terlelap. Yang jelas, semalaman suntuk keduanya terus menerus terlibat percakapan. Banyak topik pembahasan yang mereka bicarakan semalam. Termasuk juga pertanyaan seputar hubungan Rami dan Noura.

Tidak tahu, kenapa hatinya terus menuntut penjelasan soal kisah masa lalu pria itu. Diola hanya ingin tahu yang sebenarnya. Karena ia peduli soal peringatan yang ia terima tempo hari. Jujur saja, dirinya terus menerus dihantui oleh perasaan—katakanlah, bersalah. Well, ia merasa menjadi tokoh antagonis yang menghancurkan hubungan Rami dan Noura.

"Noura adalah sebuah kesalahan. Percayalah Dio, kalau saja dulu kita sedekat ini. Perempuan sekaliber Noura pun aku nggak akan melirik," kelakar pria itu.

"O, really?!" Diola menaikkan sebelah alisnya dan membuat Rami terbahak kemudian.

Pria itu semakin merekatkan pelukannya, memenjarakan Diola dan tidak memberikannya ruang bahkan untuk bergerak apalagi menjauh.

"But seriously, kamu yang pertama aku temukan. Jauh sekali sebelum aku menemukan Noura. Kalau sejak awal takdir menyatukan kita, aku rasa kesalahan itu tidak pernah terjadi."

Kedua telapak tangan Diola yang berada tepat di atas dada pria itu terangkat lalu ia letakkan di atas pipi pria itu.

Ia memberanikan diri menyentuhnya, membelai lembut rambut cambangnya yang tumbuh hingga ke ujung dagunya.

"Bagaimana perasaan kamu saat ini? Maksudku, untuk Noura?" Diola cepat-cepat mengoreksi.

"Tidak ada," sahut Rami datar.

"Secepat itu?"

"Listen, Dio, saat Noura memutuskan untuk memilih yang lain. Saat itu juga lah aku menyadari satu hal."

"Apa?"

"Tidak ada yang perlu aku ratapi dan aku sesalkan. Aku sudah cukup dewasa untuk menerima keputusan Noura. Walau pun awalnya—tentu saja aku terkejut. Tapi, setelah itu aku cepat terbiasa. Lagian, bagaimana aku tidak cepat move on. Kalau yang Tuhan berikan adalah berkali-kali lipat kebaikan. Sesuatu yang aku inginkan sejak dulu."

Pria itu mendekatkan wajahnya dan memberanikan diri untuk kembali menyesap bibir Diola. Entah sudah keberapa kalinya malam ini. Namun, sesuatu yang sejak tadi terbayang di benak Diola nyatanya urung terjadi. Sepertinya, perempuan itu terlalu berpikir berlebihan. Sejak tadi Rami malah asyik mengajaknya bicara, dengan sesekali mencumbunya. Menggodanya dengan sentuhan, tetapi tidak lebih dari itu.

"I love you, Dio," pria itu merapalkan kalimat yang semakin memacu Diola untuk membalas ciumannya.

Hingga ketika Diola semakin agresif, Rami segera menghentikannya. Seolah menahan agar keduanya tidak melewati batas.

"Ram," perempuan itu terengah-engah, mencoba mengatur napas.

"Ya, Sayang?"

"Kenapa?"

Lengan kokohnya menarik Diola dalam dekapannya, seraya menghembuskan napas tepat di atas puncak kepala perempuan itu.

"Aku butuh persetujuan dari Ninda lebih dulu."

Diola mendongakkan kepalanya, menatap singkat Rami dan kemudian kembali merangsek ke dalam pelukan pria itu. Wajahnya merah padam, pipinya terasa panas. Bahkan ia tidak menyangka jika Rami seformal itu. Membutuhkan ijin neneknya? Ah, yang benar saja.

***

Ketika ia sadar, sinar matahari sudah masuk ke dalam kamar melalui jendela yang sengaja dibiarkan terbuka semalaman. Diola mengerjapkan matanya. Mencoba menyingkirkan kunang-kunang yang berada di sekitarnya.

AFTERTASTE ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang