Kedua perempuan itu berjalan cepat di depannya. Sambil sesekali menengok ke arahnya kemudian berbisik satu sama lain. Menyebalkan. Ia jelas tahu, keduanya sedang membicarakannya.
Seperti yang sudah direncanakan, Irvin menjemput kedua rekan kerjanya di kantor setelah melakukan meeting dengan salah satu penulisnya. Dan sore itu akhirnya mereka bertiga memutuskan untuk pergi ke salah satu mall untuk menonton film sesuai dengan ajakan Irvin.
Sementara Nalani berjibaku mengantre untuk membeli tiket on the spot, Diola dan Irvin menunggu tidak jauh dari tempat perempuan itu antre. Mereka berdua memilih untuk menunggu sembari memesan kudapan untuk disantap di dalam studio.
"Gimana dengan kerjaan kamu sebagai editor, kamu betah?"
Diola mengangguk singkat, "aku lumayan cepat beradaptasi," aku perempuan itu.
Irvin tersenyum menanggapi ucapan Diola. Manis sekali. Astaga! Mematikan. Seperti sengaja melakukannya, ia baru saja memulai namun Diola serasa digempur secara mendadak.
"Anyway, kapan terakhir kita nonton bareng dulu?" pria itu bertanya seolah-olah ingin membangkitkan memori Diola.
Diola menoleh, heran akan pertanyaan yang dilontarkan oleh Irvin. Untuk apa pria itu bertanya seperti itu? Ia mengernyitkan dahi dan membuang tatapnya sporadis. Kapan? Ia bahkan tak ingin mengingatnya lagi.
"Well, I don't know," jawab perempuan itu sembari mengangkat kedua bahunya. Nada bicaranya seolah tak tertarik untuk membahas hal tersebut.
"Mm, okay. Sepertinya itu nggak penting," Irvin menimpali.
Maksud hati ingin membangun percakapan yang menarik, namun, Irvin gagal total. Perempun itu enggan untuk membahas masa lalunya. Atau mungkin ini memang bukan waktu yang tepat, mengingat apa yang sudah ia lakukan pada perempun itu dulu.
"Maksudku, itu sudah lama sekali dan aku lupa," Diola mencoba menjelaskan.
Irvin tersenyum masam. Entah mengapa ia terkesan sangat memaksa dan terburu-buru. Ia menyadarinya. Ini masih terlalu dini untuknya meraih Diola. Terlebih lagi ia sempat menyiakan tahun-tahun kedekatan mereka. Untuk kembali utuh bukankah perlu waktu dan proses yang tak mudah? Harusnya ia perlu bersabar dan bermain rapi.
Nalani muncul ditengah-tengah pembicaraan keduanya. Perempuan itu datang dengan membawa tiga lembar tiket di tangannya. Lega rasanya karena Diola merasa terselamatkan.
Ketika Nalani bergabung, praktis pembicaraan mereka berubah haluan. Tak ada lagi topik privasi yang jadi bahasannya. Karena sebenar-benarnya hingga saat ini baik Diola maupun Irvin, tak ada satu pun di antara keduanya yang buka suara soal kedekatan mereka pada Nalani. Keduanya kompak tutup mulut.
Hingga akhirnya mereka masuk ke dalam studio dan mulai fokus dengan film yang sedang ditonton. Kurang lebih dua jam setelahnya, credit scene muncul dan lampu studio menyala.
Mereka bertiga lalu bergegas keluar dan tak hanya sampai disitu saja, Irvin juga mengajak kedua perempuan itu untuk makan malam bersama. Tentu saja, bagi Nalani ini adalah sebuah keberuntungan. Karena jarang sekali Irvin sebaik ini padanya.
Jika bukan karena satu tujuan yang sudah terbaca gelagatnya, Nalani yakin Irvin tak akan semurah hati seperti saat ini. Semuanya terjadi begitu saja semenjak Diola datang. Bahkan sejak awal, ia dikenalkan dengan Diola sebagai sosok editor baru. Dirinya dapat mencium sesuatu yang 'amis' di antara ke duanya. Jadi, ia takkan heran jika yang terjadi adalah seperti sekarang.
"Kita lanjut makan malam, gimana? Kalian nggak sedang ikut program diet atau apapun kan?" tanya Irvin saat berjalan di depan kedua perempuan itu menuju basement.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTERTASTE ☑️
ChickLit‼️🚩🚩🚩‼️ Muda dan bertalenta. Secara fisik tidak mungkin ada yang bisa menolak pesona seorang Ramien Stanley. Pria berdarah campuran Melayu-Ausie yang memilih untuk mengejar karirnya sebagai seorang sineas di Indonesia. Seperti halnya yang dirasak...