Irvin menyambut kehadirannya di hari pertama. Pria itu cukup membantunya beradaptasi. Mengenalkannya pada teman-teman satu kantor dan satu divisinya.
Sementara ia training sebagai asisten editor, tentunya ia akan berada dalam kendali Irvin sebagai senior editornya. Sebenarnya canggung, tetapi, Diola berusaha untuk tidak menunjukkannya. Ia tetap harus bersikap profesional ketika berada di kantor.
Rupanya selama office tour bersama Irvin, ia mendapati sebuah penemuan yang membuatnya cukup terkejut. Sosok Irvin yang yang dulu ia kenal, ternyata berbeda 180 derajat ketika berada di kantor. Pria itu terlihat begitu percaya diri, begitu flamboyan. Namun, terkadang ia tetap bisa melihat sisi Irvin yang ia kenal saat bicara padanya. Tutur katanya, tertata rapi dengan suara miliknya yang akan selalu jadi suara favorit Diola.
"La, kalau masih ada yang belum kamu pahami jangan sungkan untuk tanya. Aku dan yang lain siap bantu kamu kapan saja," ujar Irvin saat keduanya berada di dalam ruang kerja editor.
Diola mengangguk singkat. Ia mengerling pandang, memperhatikan isi ruangan itu. Terdiri dari beberapa kubikel. Tapi tak ada satu pun orang yang ada di tempatnya.
"Kita nggak selalu kerja dalam ruangan. Jadi, jangan aneh kalau ruangan ini terkadang akan kosong seperti sekarang," jelas Irvin seolah dapat menebak isi otak Diola.
"Oh, ya. Ayo ikut, aku akan kenalkan kamu dengan temanku. Aku rasa dia akan suka kamu," pria itu melanjutkan. Kemudian memimpin langkah di depan Diola. Keluar dari ruang editor menuju tempat lain yang ada di lantai satu gedung kantornya.
Well, bangunan yang berlokasi di pusat kota Semarang ini memiliki tiga lantai. Dengan lantai pertama digunakan untuk perpustakaan umum—yang memuat koleksi buku yang sudah diterbitkan oleh perusahaan tersebut—di bagian depan dan juga kafetaria. Kemudian penerbitan ini juga memiliki percetakan sendiri. Letaknya ada di bagian belakang, masih di lantai satu.
Lantai dua untuk departemen edukasi dan komersial—staf, editor dan marketing. Lalu, lantai paling atas terdapat beberapa fasilitas seperti ruang meeting, ruang arsip dan tentu saja ruang direksi.
Keduanya berjalan menuruni tangga dengan Diola mengekori Irvin di belakangnya. Dari kejauhan Diola melihat sosok perempuan dengan rambut panjang melebihi pundaknya, bertubuh ramping dan memiliki tinggi badan sepadan dengannya.
Irvin memanggil nama perempuan itu, dan ketika menoleh Diola tahu kalau perempuan itu adalah kebalikan dari dirinya. Tapi, sepertinya ia menyukai perempuan itu dari kesan pertamanya. Mungkin keduanya bisa menjadi akrab setelah ini.
"Nalani," ucap perempuan itu memperkenalkan dirinya. Suaranya ramah dengan logat Jawa samar-samar.
"Dia proofreader di sini. Nala bantu aku kalau naskah yang aku kerjakan sudah jadi. Nantinya sebelum siap cetak, dia akan baca ulang secara keseluruhan dan jika diperlukan dia akan bertindak sebagai korektor. Well, harapannya kalian bisa cepat akrab, ya."
Diola tak menanggapi banyak penjelasan Irvin saat itu. Ia hanya tersenyum pada Nalani dan perempuan itu membalasnya. Terlihat dua buah lesung pipi yang menghiasi wajahnya ketika ia tersenyum.
Setelah hari pertama itu, baik Diola dan Nalani memang dengan cepat mengakrabkan diri. Komunikasi soal pekerjaan terus terjalin. Hingga beberapa kali dalam dua minggu pertamanya, keduanya tak segan membuat janji untuk sekedar hangout bareng. Karena ternyata meski sifat Nalani bertolak belakang dengannya. But, over all perempuan itu setidaknya bersikap cukup baik dengan Diola.
Kesibukan dan teman barunya, nyatanya ampuh membuat Diola lupa sejenak dengan galau hatinya. Terbukti, seminggu setelah kepulangannya dari Bandung ia nampak jauh lebih normal. Menjalani hari senormal mungkin, seperti sebelum ia terlibat dengan pria bernama Ramien Stanley.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTERTASTE ☑️
Literatura Feminina‼️🚩🚩🚩‼️ Muda dan bertalenta. Secara fisik tidak mungkin ada yang bisa menolak pesona seorang Ramien Stanley. Pria berdarah campuran Melayu-Ausie yang memilih untuk mengejar karirnya sebagai seorang sineas di Indonesia. Seperti halnya yang dirasak...