Bab 34

144 15 0
                                    

Diola menatap lekat-lekat punggung Irvin yang kian lama kian menjauh hingga akhirnya menghilang ketika menaiki tangga menuju lantai tiga, tempat ruang direktur berada.

Kegugupan sontak melingkupi dirinya. Debar jantung yang kian tak menentu membuatnya kembali menjatuhkan tubuhnya di atas kursi kerjanya.

Meletakkan laptop yang ia bawa dalam dekapnnya ke atas meja. Diola duduk menyilangkan kaki dan bersedekap sembari menggigiti ujung kuku ibu jarinya.

Apa yang sedang terjadi di dalam ruang direksi saat ini? Bagaimana nasib Irvin di dalam sana? Apakah Rami... ah! Kenapa pikirannya jadi tak menentu seperti sekarang. Sementara tak ada yang bisa ia lakukan selama Irvin terjebak di dalam sana.

Diola beringsut dan bangkit dari duduknya. Resah. Ia menatap arlojinya memperhatikan jarum detik yang bergerak lama sekali.

Sesekali ia membuka layar ponselnya—dengan tanpa tujuan apapun. Ia hanya mencoba menguasai dirinya yang kini tengah terlampau gundah.

Pasalnya setelah sepuluh menit kepergian Irvin, seperti tidak ada tanda-tanda keributan yang terdengar dari lantai atas. Suasana lantai tiga yang biasanya sunyi—karena jarang sekali orang yang menggunakannya selain untuk keperluan meeting. Tak ubahnya membuat perempuan itu semakin penasaran dengan apa yang tengah terjadi.

Diola mengintip dari balik pintu ruang editor. Memperhatikan situasi sekitar. Diam-diam mengendap tanpa suara menaiki anak tangga hingga akhirnya tiba di depan pintu ruang direksi. Ia berdiri cukup lama. Tak melakukan apapun kecuali mondar-mandir sembari menyilangkan tangan di depan dada.

Ia menggapai ponsel yang ia letakkan di saku celana denimnya. Kemudian mulai mengetik sesuatu pada kolom chat.

"What's going on?" tulisnya pada pesan singkat yang ia tujukan untuk Irvin.

Perempuan itu meletakkan ujung ponselnya di atas dagu, sambil menghentakkan kakinya. Menunggu dengan tidak sabar pesan balasan Irvin yang tak kunjung ia dapatkan.

"Diola Tamma!"

Suara dari balik tubuhnya sontak membuat perempuan itu terlonjak kaget. Ia hampir saja menjatuhkan ponsel yang ia pegang hanya menggunakan telunjuk dan ibu jarinya.

Dengan sekali gerakan ia memutar tubuhnya dan mendapati Nalani tengah menatapnya dengan sebelah alis terangkat dan mimik penuh rasa ingin tahu.

"Sedang ap—"

Cepat-cepat Diola membekap mulut Nalani agar tidak menimbulkan kegaduhan yang tak diinginkan. Ia mendesis, meminta agar Nalani menjaga suaranya.

"Shht!"

Kemudian Nalani hanya mengangguk dan membuat lingkaran dengan menggunakan ibu jari dan telunjuknya. Pertanda ia mengerti dengan ucapan Diola.

"Ada apa? Kenapa kamu berdiri di sini?" tanya Nalani memberondong dengan cara berbisik.

Diola melirik sepersekian detik ke arah pintu ruang direksi yang tertutup rapat. Lalu, mengamit lengan Nalani untuk kemudian menyingkir dari tempat itu.

"Kamu sendiri sedang apa di sini?" Diola balik bertanya.

Nalani kemudian menyugar riap anak rambutnya dan tersenyum malu-malu pada Diola. Ia mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan memberinya satu pada Diola.

"Engagement invitation?" gumam Diola sambil membolak-balik lembar undangan yang Nalani berikan padanya.

Nalani mengangguk antusias sebagai jawabannya.

"Rencananya aku juga akan berikan satu untuk si Bos," perempuan itu mengedikkan dagu ke arah pintu ruang direksi.

"Jangan!" Diola bereaksi dengan cara memegang kedua lengan Nalani, mencegah perempuan itu untuk tidak memasuki ruangan tesebut.

AFTERTASTE ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang