Bab 8

212 18 0
                                    

Kelopak matanya terangkat perlahan, mengerjap beberapa kali hingga akhirnya benar-benar terbuka. Meregangkan tubuhnya sejenak, kemudian bangkit dan duduk bersandar pada kepala ranjang.

Mengamit sebuah bantal dan meletakannya di atas pangkuan. Ia kembali memejamkan matanya, dan jatuh terlelap tak lama kemudian. Meski demikian, ia tak sepenuhnya tak sadarkan diri. Sayup-sayup suara berisik dari kamar sebelah dapat ia dengar.

Rasanya seharian tidak melalukan apapun dan semalaman tertidur pulas tak lantas membuatnya bergairah ketika bangun esok harinya. Diola justru merasa malas ketika harus menjalani aktifitas hari ini. Yeah, it's Monday!

Entahlah...

Ia hanya ingin sejenak saja menepi. Mengatur napas dan mengisi ruang paru-parunya. Mengusir rasa sesak dalam dadanya. Dan tentu saja keraguan yang tak henti menggelayuti hatinya.

Sempat ada keyakinan saat Rami menemuinya Sabtu malam kemarin. Namun, hancur begitu saja saat tiba-tiba ia mendapatkan telepon dari Noura di hari Minggu pagi. Membuat mood-nya berantakan seketika.

Meski awalnya tak terpikirkan tujuan perempuan itu menghubunginya. Namun, seiring dengan jalannya percakapan, Diola sadar akan satu hal. Ia sedang diberi peringatan.

"Aku tahu semuanya, La. Walaupun sedikit terlambat, tapi, bukan berarti aku akan tinggal diam."

Diola semakin merapatkan pejaman matanya. Dadanya sakit, serasa dihujam ratusan jarum. Kedua tangannya meremas bantal yang berada dipangkuannya. Menahan agar tangisnya tak meledak saat itu juga.

Kita masih punya banyak waktu. Suara Rami terngiang-ngiang dibenaknya kini.

Praktis kedua tangannya terangkat, dan menangkup wajahnya. Susah payah ia menahan agar air matanya tak meluruh. Namun, tak kuasa juga akhirnya. Isak tangis pecah begitu saja. Sesegukan seorang diri. Meratapi kebodohan yang telah dirinya lakukan. Jatuh cinta.

Sekuat tenaga dirinya menghindari kalimat tersebut. Tapi, hatinya tak dapat lagi menyembunyikan. Ia memang telah melakukan kesalahan ketika dengan mudahnya jatuh hati pada Rami. Bahkan, dengan membiarkan perasaannya terus bertumbuh.

Jika Rami menepati ucapannya untuk kembali bertemu dan bicara. Lantas apa yang harus ia katakan. Apakah dengan mengakui perasaannya pada Rami, akan membuat hubungannya dengan Noura akan baik-baik saja? Atau jika ia harus menolaknya demi mengalah pada Noura, apakah hatinya akan baik-baik saja?

Mungkinkah ia bisa melewati patah hati untuk yang kesekian kalinya?

Dering ponsel mau tak mau menghentikan tangisannya kala itu. Diola cepat-cepat menyeka air matanya. Dan menjawab panggilan telepon masuk tersebut.

"Ya, Vin?"

"Sudah bangun? Tumben," goda Irvin.

"Ada apa?"

"Si Bos minta agar mengadakan meeting semua divisi hari ini. Kamu sudah baca group kan?"

Kedua mata Diola membulat. Meeting? Pesan group? Seolah ia telah kembali ke alam sadarnya, Diola buru-buru membuka aplikasi pesan singkat dan membaca pesan yang dimaksud oleh Irvin barusan. Jadi, apa saja yang ia lakukan sejak tadi? Hingga hal penting seperti itu ia lewatkan begitu saja.

"Ya ampun, aku barusan baca. Jam sepuluh?" Diola melirik jam dindingnya, dan menghitung dalam hati. Ia masih punya waktu dua setengah jam lagi untuk bersiap-siap dan sampai di kantor.

"Mau bareng?" Irvin menawarkan jasa jemput untuknya.

Sejenak Diola tercekat. Ia memilih diam, meski ia tahu di seberang sana Irvin menunggu jawabannya.

AFTERTASTE ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang