"Bagaimana bisa Irvin masih di dalam sana?!" teriak Nalani setengah panik. Ia berjalan mondar-mandir di depan Diola sementara perempuan itu hanya terduduk lemas dan menatap kosong ke arah ujung sepatunya.
"Lalu, kamu! Kenapa kamu biarkan Mr. Stanley lolos begitu saja tanpa mengatakan apa-apa?!" telunjuk Nalani kini berada persis di depan keningnya. Namun, tak ubahnya membuat Diola terusik justru semakin larut dalam keterpurukannya.
"Kamu punya kesempatan itu, La. Jelas-jelas di depan mata. Ya, Tuhan... Ola. So, usahaku tadi sungguh nggak berarti apa-apa?"
Nalani terus saja meracau. Perempuan itu tak henti-hentinya menyalahkan Diola atas kebodohan yang dilakukannya. Ya, dirinya tak bisa berbuat apa pun untuk menjangkau Rami. Seharusnya ia sadar sejak awal, jika yang ia lakukan tadi adalah sebuah kesia-siaan. Diola tak perlu melakukan apa yang menjadi ide Nalani. Karena ia tahu, tidak ada gunanya ia melakukan itu.
"La? Kenapa diam saja?"
Diola menghela napas. Ia mengerjapkan kedua mata dan mengangkat kepalanya. Dirinya seperti kehabisan tenaga, sekujur tubuhnya lemas tak berdaya.
"Irvin ada di dalam sana," jawabnya. Well, pernyataan tersebut bukannya sebuah jawaban yang Nalani ingin dengar.
"Tentu saja aku tahu. So, what?" perempuan itu mulai geram dengan rekan kerjanya tersebut.
"Irvin bilang, dia akan jelaskan pada—"
"Nggak mungkin! Itu nggak mungkin terjadi, La. Percaya padaku."
Diola menelan liur.
"Tapi—"
"Irvin akan berusaha mempertahankan harga dirinya di depan Mr. Stanley. Kamu mengerti maksudku kan, La?"
"Dia nggak akan pernah mengatakan yang sebenarnya terjadi di malam itu pada Rami," ujar Diola.
"Benar. Karena dengan begitu, Irvin akan menelanjangi harga dirinya sebagai seorang pria. Terlebih di depan rivalnya," balas Nalani.
Diola mendesah pasrah. Kalau begitu, tak ada yang bisa meluruskan kesalahpahaman ini kecuali dirinya. Karena memang seharusnya Rami mendengar penjelasan itu melalui mulut Diola, bukan yang lain.
"Bodoh!" Diola memaki dirinya sendiri. Ia menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan mengusapnya kasar.
Terlihat ekspresi putus asa yang ditunjukkannya setelah ia menyadari kesalahan yang baru saja ia lakukan.
"Ola?" seseorang memanggil namanya. Suara tersebut berasal dari balik tubuh Nalani.
Irvin memasuki ruangan editor dan menghampiri Diola yang tengah terduduk di kursinya. Sementara kedua tatap matanya memperhatikan kemunculan sosok Nalani di ruangan itu.
"Bisa kita bicara sebentar?" tanyanya.
***
Rami menutup pintu tersebut secara perlahan, namun, tidak sama sekali melepaskan tatap matanya pada sosok perempuan yang tengah berdiri mematung di dekat tangga.
Meski hatinya bergetar kala ia dan perempuan itu beradu pandang. Nyatanya ia tak bisa melakukan apa pun untuk meraihnya.
Ingin rasanya ia berlari ke arahnya dan memeluk perempuan itu. Namun, Rami tak bisa berbuat apa-apa karena keduanya kini bukan lagi siapa-siapa. Terlebih setelah Diola memilih Irvin dibanding dirinya.
Perih rasanya jika mengingat apa yang terjadi di malam itu. Ia dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan perempuan yang teramat sangat ia inginkan menjadi milik orang lain. Mengingkari janji padanya untuk tidak menjadi milik yang lain kecuali dirinya. Diola... menghancurkannya berkeping-keping.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTERTASTE ☑️
Literatura Feminina‼️🚩🚩🚩‼️ Muda dan bertalenta. Secara fisik tidak mungkin ada yang bisa menolak pesona seorang Ramien Stanley. Pria berdarah campuran Melayu-Ausie yang memilih untuk mengejar karirnya sebagai seorang sineas di Indonesia. Seperti halnya yang dirasak...