Bab 22

151 17 0
                                    

Bukan hanya Rami. Tetapi, Diola juga membatasi komunikasinya dengan Eleanis setelah kejadian malam kelabu itu. Ia tahu jika tidak adil bagi sahabatnya mendapat perlakuan seperti itu. Jelas Eleanis tidak ada sangkut pautnya dalam hal ini. Hanya saja, jika ia tidak membatasi komunikasinya dengan perempuan itu. Ia jamin, mungkin dirinya tak akan seteguh saat ini.

Dua minggu setelah kepulangannya dari Karimun Jawa. Diola benar-benar merealisasikan rencananya untuk pindah dari rumah kos lamanya.

Dirinya tahu, jika hal tersebut tidak akan membantunya sama sekali. Rami bisa saja menemukannya bahkan di ujung dunia sekalipun. Tapi setidaknya untuk saat ini, dengan memilih untuk menjauh dari semua yang berhubungan dengan Rami. Ia rasa menjadi pilihan terbaik baginya.

Ia tidak ingin kejadian siang itu kembali terulang. Uhm, sebenarnya hampir tiap malam selama dua minggu belakangan Diola kerap mengalami mimpi yang sama. Dengan sosok Rami yang memeluknya dari belakang ketika ia terlelap. Seolah-olah pria itu menemaninya tidur. Dan jika pagi hari datang, sosok Rami menghilang begitu saja.

Atas dasar tersebut, Diola mulai tidak tahan dengan halusinasinya sendiri. Mungkin dirinya kelewat depresi? Atau memang benar, jika dirinya sudah gila!

"Kamu yakin, La?" tanya Nalani sambil bersedekap, berdiri di ambang pintu kamar Diola.

Ketika ia datang, tampak Diola tengah mengemas beberapa barang tambahan dan sisanya seperti sudah siap angkut.

Sebenarnya, Nalani segan untuk membantu Diola melarikan diri. Pasalnya hal tersebut seperti tidak akan membantunya sama sekali dalam misinya-menghilang dari peradaban. Well, ia perkirakan jika kemarahan Diola pada pria itu tidak akan lama. Lagi pula, menurut penuturan yang Diola sampaikan tempo hari. Sepertinya Rami tidak akan tinggal diam walau Diola pindah rumah kos sekali pun. Dirinya yakin, jika pria itu akan dengan mudah menemukan lokasi persembunyian Diola.

Editor magang yang menjadi lawan bicaranya tersebut sontak berkacak pinggang. Terlihat menghela napasnya, dan menatapnya dengan wajah jengkel. "Lebih dari sekedar yakin!"

Nalani kemudian melipat kedua bibirnya dan mengangkat dua alisnya secara bersamaan.

"Baiklah, kalau kamu tetap pada pendirianmu. Ayo, kita lakukan!"

"Tentu saja, Nal. Keputusanku sudah bulat," ujar Diola seperti tanpa ragu sedikitpun.

Baru saja kedua perempuan itu mulai memindahkan beberapa koper yang berisi pakaian Diola. Tanpa tedeng aling-aling sosok pria yang tidak asing bagi keduanya muncul begitu saja dan menawarkan bantuan.

Entahlah... Bagaimana Irvin bisa tiba-tiba saja ada di tempat tersebut. Karena sebelumnya pria itu sama sekali tidak memberitahu Diola soal niat kunjungannya kali ini. Well, sebenarnya setelah insiden mengesalkan pagi itu Diola belum lagi bicara dengan Irvin. Jadi, mungkin karena hal tersebut Irvin pun jadi segan untuk menghubunginya lebih dulu.

"Mau ke mana, La?!" tanya Irvin dengan mimik wajah terkejut.

Diola tak langsung menjawab pertanyaan Irvin, melainkan membuang tatap ke arah Nalani. Kedua perempuan itu saling berkomunikasi lewat tatapan mata.

"Kalian nggak perlu menggunakan telepati seperti itu. Jawab saja pertanyaanku, La."

Telepati, katanya?

Mau tidak mau ucapan Irvin merubah suasana kikuk saat itu menjadi sedikit mencair. Kedua perempuan itu kemudian tersenyum menahan tawa.

"Seperti yang kamu lihat, Vin. Aku dibantu Nala, mengemasi barang-barangku. Karena aku akan pindah rumah kos," jelas Diola.

"Pindah? Kenapa tiba-tiba begini, La?"

Entah bagaimana pertanyaan Irvin barusan bisa membuat Diola praktis tercekat. Ia tidak mempersiapkan diri sebelumnya untuk pertanyaan seperti itu.

AFTERTASTE ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang