Bab 1

482 24 4
                                    

Antreannya memang tidak terlalu panjang, tapi, perjalanan ini akan membutuhkan waktu lumayan panjang. Diola berdiri dengan sabar, maju perlahan—selangkah demi selangkah, secara bergantian melakukan check in dengan dibantu oleh petugas stasiun.

Setelah gilirannya diminta untuk menunjukkan tiket dan kartu identitas selesai. Diola memboyong serta barang bawaannya menuju gerbong kereta tujuan Semarang yang berada di jalur empat Stasiun Bandung.

Lima belas menit menuju keberangkatannya, tapi, seperti berat hatinya meninggalkan Bandung kali ini. Tidak seperti biasanya.

Biasanya, jika ia pulang mengunjungi neneknya di Bandung. Belum berapa lama ia sudah rindu ingin kembali beraktivitas di Semarang. Meski ia lahir dan menghabiskan sebagian waktunya bertumbuh di Bandung. Kota yang berada di utara pulau Jawa itu selalu memanggilnya untuk kembali ke rumah.

Tinggal dan melanjutkan pendidikan magister-nya di Kota Seribu Pintu hampir dua tahun. Membuatnya menyatu dengan sekitarnya. Bayangkan, ia bahkan tidak bisa jauh-jauh dari cuaca panas Semarang. Ia benar-benar jatuh cinta dengan kota itu.

Namun, sekali ini saja ia seperti ingin tinggal lebih lama di kota kelahirannya. Ada satu alasan kuat untuk ia tidak pulang secepat sekarang. Ada satu hal yang tidak bisa ia lewatkan.

Tapi, ketika dirinya dihadapkan dengan hal tersebut nyatanya Diola memilih mundur. Memilih untuk melewatkannya, karena ia sadar berurusan dengan siapa kali ini.

Walau pun pria itu bilang sudah menyelesaikannya. Diola tahu, tidak akan mudah untuk hati yang lain ditinggalkan seperti itu. Ia hanya tidak ingin mengecewakan orang lain dengan memiliki perasaan yang tidak pantas seperti saat ini.

Kedua matanya berhenti mencari ketika menemukan nomor kursi yang tertera pada tiket. Ia meletakkan barang bawaannya di bagasi dan duduk di dekat jendela.

Selama tujuh jam lebih ia akan habiskan di atas gerbong kereta. Selama itu pula, ia harus bisa membuat perasaannya kembali normal dari yang sebelumnya merasa galau atas keputusan yang dibuatnya sendiri.

Dan bila tiba saatnya kereta melaju nanti, itu artinya Diola harus siap untuk melepas beban beratnya meninggalkan Bandung dan pria itu.

***

Sepanjang perjalanan kebanyakan ia habiskan untuk melamun. Sesekali membuka akun sosial medianya, dan selebihnya ia gunakan untuk memejamkan matanya. Namun, nada dering ponselnya terkadang kerap kali mengganggu kegiatannya saat itu. Meski demikian, Diola menguatkan hatinya agar tidak terpengaruh oleh panggilan masuk dari orang yang sama tersebut.

Orang tersebut juga beberapa kali mengiriminya pesan instan melalui Telegram. Tapi, sekali lagi Diola hanya mengecek notifikasinya tanpa membuka pesan tersebut. Sementara ia dalam perjalanan, pikiran dan hatinya tak ingin terusik sama sekali oleh orang itu.

"Ternyata bukan cuma Ibuku. Tapi, kurasa aku juga menyukaimu."

Dan sekarang suara itu kembali terdengar olehnya. Kalimat tersebut seakan memenuhi pikirannya. Terngiang-ngiang dan tak mau hilang.

Dadanya mengembang begitu saja, rasanya ia ingin terus dan selalu mendengarnya. Namun, ketika dirinya sadar akan satu hal. Disana lah ia tahu harus melakukan apa. Menepis sejauh mungkin perasaannya.

"Aku dan Noura, we're over."

Tidak bisa. Ia tidak bisa membiarkan kehadirannya mengacaukan segalanya.

Meski pun ketika ia datang, baik pria itu dan Noura sedang tidak bersama. Tapi, Diola tahu bagaimana perasaan mereka satu sama lain. Kedekatan diantara keduanya tidak ada yang tidak tahu. Bahkan kisah kedekatan keduanya menyebar melalui media. Itu artinya hampir semua orang tahu.

AFTERTASTE ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang