Researching, Questioning

2.9K 583 70
                                    

Sebagai Supervisor, semestinya aku punya asisten pribadi. Selama bertahun-tahun meniti karir di Matriar.com, aku terbiasa sangat mandiri dan jadi one-woman-show. Jadilah, sementara teman-teman lain divisi di level yang sama sudah punya aspri masing-masing, aku masih sibuk sendiri.

Saat tahu kalau aku gak punya sekretaris atau asisten, Gio literally menegur pemred kami. Menurutnya, semua level manajer atau supervisor harus punya asisten agar bisa produktif dan punya life-work balance. Dia sendiri, punya tiga asisten. Gara-gara urusan ini pula, ia memintaku resign dari kerjaan, sekitar 15 menit setelah lamarannya kuterima.

Intinya, asisten ini penting buat rencana taktisku yang masih ingin kerja di sini. Makanya aku bersemangat. Dari beberapa kandidat yang sudah diajukan Eliza, aku percaya pilihannya. Semuanya sudah diwawancara HRD, kubaca CV-nya, dan kurasa bakalan cocok denganku.

Saat membuka pintu ruang meeting, seorang gadis muda berambut panjang dengan wajah oriental berdiri menyambut.

"Kandi, ini Rachel. Mahasiswi tingkat akhir, jurusan Fikom. Kamu udah baca CV-nya, mulai hari ini akan bantuin kamu mengorganisir semua urusan kantor." Eliza memberi intro, dan kami bersalaman.

Rachel membuatku teringat pada tokoh Rachel Chu di film Crazy Rich Asians, dengan paras yang menarik dan senyum yang menyejukkan. Saat di-brief, dia cukup meyakinkan, pintar dan cepat mengerti. Ia melamar sebagai periset, tapi karena belum lulus, Eliza memutuskan untuk menawarinya pekerjaan jadi asisten. Amazingly, dia mau, dengan alasan, dia akan bisa lebih banyak belajar soal riset dariku.

Passion sangat penting dalam bidang pekerjaan yang kutekuni. Sesuai bayangan orang-orang, dunia riset membutuhkan kesabaran, ketelitian dan kemampuan melihat segala sesuatu tanpa emosi. Kadang hal ini membosankan atau malah menyesakkan, karena seringkali kami harus menghadapi kenyataan dan menyajikannya dengan baik tanpa memihak apapun.

Pekerjaanku sebagai Supervisor mengepalai tim beranggotakan lebih dari 20 staff, dan ratusan volunteer di waktu-waktu tertentu yang dibutuhkan. Aku bertanggung jawab mengarahkan dan mengawasi tim, menghasilkan analisis terbaik yang menjadi arahan pembuatan konten maupun kebutuhan marketing. Perusahaan Gio agak berbeda, karena membutuhkan database untuk keperluan marketing mereka...yang kemudian menggunakan media Martiar.com sebagai kanal iklan utama dan eksklusifnya. Kerja sama ini memberi keuntungan luar biasa di dua tahun belakangan, bagi kedua pihak, dan mengundang lebih banyak klien serupa.

Cuma yaaaa... Kerjaanku jadi banyaaaak banget. Kadang, butuh waktu lumayan untukku cuma untuk mengorganisir kerjaan-kerjaanku sendiri. Waktuku mestinya bisa efektif buat melakukan prioritas yang lebih penting.

"Kamu punya peran memberi usulan krusial, bahkan keputusan dalam perusahaan. Gak semestinya lagi kamu ngurusin rekap data, ngumpulin file, ngecek kelengkapan survei... Analisis, konsep, planning, strategi. Harusnya otak brilian kamu hanya perlu kerja di bagian itu sekarang." Gio berkomentar suatu hari, ketika melihatku kerja WFH di masa pandemi kemarin.

Sejak saat itu, Gio berniat banget membajak aku masuk ke salah satu perusahaannya, Well-Women. Tentu kutolak. Jadi karyawan pacar sendiri, gitu yaaa. Enggak lah. Selain menimbulkan kecemburuan sosial, karakter Gio yang sulit ditebak pasti bikin kehidupan profesionalku lebih ribet.

Anyway. Jadi gitulah kenapa aku menganggap punya asisten ini sesuatu yang penting. Dan sepertinya Rachel bakalan bisa cocok denganku. Sementara aku dan Eliza menyampaikan berbagai informasi terkait pekerjaannya, ia terlihat bersemangat dan ceria.

"Kamu sekarang sama Kandi ya, besok datang lebih pagi ke lantai 2. Kita tanda tangan kontrak, kamu juga bisa langsung urus nametag dan data asuransi." Eliza menutup pembicaraan. Aku mengajaknya ke ruanganku, yang besok akan jadi area kerjanya juga, lalu menjelaskan beberapa kerjaan yang akan dia lakukan.

Aku lagi cerita soal organisasi file-file dan folder dokumen, ketika ponselku berbunyi. Tadinya aku mau keluar sebentar, tapi ingat kalau nanti Rachel mungkin bakalan angkat telpon-telponku juga, jadi aku menerima panggilan Gio.

"Sayang, aku sudah sampai di Gedung Kominfo. Sudah siap-siap mau presentasi." Gio gak pernah lupa ngabsen, "Kamu mesti selesai jam 19.30 karena ternyata kita ada janji sama pembuat kebaya kamu jam 20.00. Gak jauh dari kantor kamu, sebentar aja."

"Oke. Kabarin ya."

"Will do. And... Please tell me I'll be good at this meeting. We got VP and all."
"You're Gio N., you're slay, Darling."

Ia tertawa kecil di ujung telepon, "Love you, Kandi."
Aku membalas pelan dan menutup telepon.

Rachel mengangkat dua alisnya dengan muka girang saat aku berbalik ke arahnya. "Itu Mbak Kandi? Tunangan misterius Gio N. yang heboh itu dan gak dikenal itu...Mbak?"

"It's not a secret." Aku menjawab, mengangkat bahu.

"Wooooow. Gimana rasanya punya pacar kayak Gio N.?" Rachel duduk di kursi depan mejaku dengan ekspresi kepo.

Aku mengangkat bahu sembari menyusun beberapa dokumen yang ingin kutunjukkan padanya, "Sama aja kayak punya pacar pada umumnya."

"Ya enggak dong! Dia kan Gio N." Rachel menepuk tangan, masih semangat. Hmm. Jangan-jangan passion anak ini bukan riset tapi desk infotainment.

"Kayak apa sih orangnya? Baik gak? Suka bagi-bagi duit? Mbak dikasih Benz gak? Dibayarin liburan? Dia kan kayaknya judes gitu gak ada ekspresi yak..."
Naini alasan kita jarang nerima mahasiswi di Martriar.com. Super excited kadang gak inget adab kalau nanya.

"Rachel, pelajaran pertama paling berharga kamu di Martriar.com: perempuan gak butuh cowok kalau cuma mau dapat duit, Benz dan liburan." Aku menjentikkan jari, "Jadi jawaban dari sebagian pertanyaan kamu adalah, enggak."

Rachel tampak shock mendengar jawabanku.

"Pertanyaan lainnya, dia orangnya kayak apa... Hmm. Aku berasumsi kamu nanya penampilan? Bentuknya mirip yang kamu lihat di tv dan majalah. Kalau ketemu langsung, biasanya impresi pertama adalah tinggi, wangi dan rapi. Orangnya baik atau enggak? Dari dataku, dia gak pernah ditangkep polisi, diperkarakan orang, terlambat meeting, dan sejauh ini selalu sopan. Nilai popularitasnya tinggi, dan 85% positif. Dan menanggapi pernyataan kamu soal Gio kelihatan judes...let me just say, he had his reasons." Aku melanjutkan sambil menumpuk beberapa folder di meja.

"Sebagai periset, kita harus bisa lihat fakta dan mengenyampingkan perasaan serta praduga. Goals kerja kita adalah untuk melihat apa yang semua orang pernah lihat, lalu menemukan apa yang orang lain gak pernah pikirin sebelumnya. Dari sana kita mendapat kesimpulan, analisis, rencana, hipotesis. Kita membuat pengetahuan baru, POV yang berbeda, dan menjadi perantara dari ide menuju realita..."

Rachel makin melongo.
Oops. Kelepasan aku.

"Am I being too fast?" Aku mengerutkan kening, sadar diri.

"Enggak, Mbak. Tapi kayaknya aku ngerti kenapa Gio N. sukanya sama Mbak Kandi."
Ha. Ya elah. Maksudnya aku ngomong tadi supaya dia kebayang kerjaannya di sini gituuuuu.

"Susah mikirin apa yang terjadi di kepala Gio. Sekarang, kita mulai sama tugas-tugas kamu aja deh, ya."

Pertanyaan soal Gio yang membuatku merasa terbebani, bukan berasal dari orang-orang random. Keluarga dan sahabatku, juga menanyakan hal yang secara garis besar sama: Kok Bisa?

Di situlah kadang aku merasa sedih.
Karena, sejujurnya, aku masih gak tahu kenapa aku dan Gio bisa sampai melangkah jauh, sampai terlalu dekat dengan komitmen seumur hidup bernama pernikahan.

Ex CeteraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang