Setelah malam yang menyesakkan dan penuh mimpi buruk, aku menyelinap dari kasur tempatku tidur bareng Reina dan Gianni. Ren dan Les, tidur di kamar-kamar lain. Aku minum dan menatap ke luar jendela besar di ruang tengah.
Mempertanyakan semua hal yang sedang terjadi.
Seharusnya, aku di rumah Ibuku, ada meeting dengan WO nanti siang, dan jadwal pijat sama mbok langganan setelah magrib. Dan besok, aku harus menyambut keluarga Gio yang mulai berdatangan.
Tapi aku malah berkeliaran di Jakarta, tidur di tempat asing, cuma bawa badan, ditemani dua mantan pacar, calon adik ipar dan sahabatku... Dengan kenyataan kalau calon suamiku ternyata masih ada hubungan (entah apa) dengan mantan pacarnya yang sempurna.
What makes everything so fucked up?
Selama hubungan kami, Gio tak pernah terlihat tertarik sama perempuan lain. Apalagi mantannya. Gak ada obrolan menyebutkan namanya, gak pernah ada telepon dari dia, gak ada urusan apapun bahkan, sampai aku merasa mesti riset soal Melinda. Ditambah perlakuannya yang selalu terlihat...membutuhkan aku dalam setiap hal, membuatku yakin kalau Gio adalah orang yang kuinginkan jadi teman hidup.
Sekarang aku gak ngerti lagi. I've lost my faith in almost everything.
Including myself.
Memandang langit yang masih gelap, aku mencoba mencari cahaya. Dalam satu jam, hari akan mulai terang, dan aku akan harus mulai menjalani hari dengan normal sebagai Kandi, calon manten yang Jumat besok mau nikah.
Aku mengambil ponsel dan dompetku, lalu keluar dari apartemen Gianni. Berjalan ke boulevard kebanggaan Jakarta, mengamati suasana jalan yang masih sepi, dengan banyak lampu masih menyala, udara subuh masih terasa dingin walaupun lembab. Jalan kaki sebentar selalu bisa membuatku merasa lebih baik dan berpikir lebih jernih.
Ponselku berkedip, menunjukkan notifikasi e-mail. Sepanjang malam, Gio mengirimiku chat, menelpon puluhan kali, menghubungiku dari semua platform yang dia bisa, kecuali e-mail. Jadi aku membuka notifikasi. Isinya adalah e-mail singkat dari nama yang belum pernah kulihat lagi sejak bertahun-tahun lalu aku memutuskan untuk meninggalkannya.
You know it hurts me more than anything. Don't expect me to come.
Sebuah nomor tertera di bagian bawah e-mail. Dan namanya. Tantra Yudha.
Aku copy-paste angka-angka itu dan menelponnya.
***
Cerita tentang Tantra Yudha, bukan sesuatu yang bisa dengan ringan kuceritakan pada orang-orang terdekatku. Reina pun bahkan gak pernah betul-betul tahu detail perjalanan hidupku yang hanya beberapa bulan dengan lelaki yang membuatku nyaris gak punya harapan pada masa depan kehidupan percintaan.
Aku ketemu Tantra saat sedang single dan sibuk kerja. Setelah menolak lamaran Ren, tentu kami putus baik-baik walau dengan banyak air mata. 2 tahun kemudian, aku bertemu dengan Tantra. Usiaku sudah 29 tahun, mulai kehilangan teman nongkrong karena pernikahan dan anak-anak. Reina sedang ikutan workshop di Jepang. Aku kesepian dan ingin hidupku juga agak romantis.
Aku sedang sok-sok'an jadi volunteer sekalian staycation di Ubud sambil ikutan UWRF, saat ketemu Tantra di sana. Dia adalah salah satu penampil yang mengisi beberapa acara, sekaligus penulis buku tentang komposisi musik dan teknik-teknik modern belajar musik.
Pertemuanku dengan Tantra, sudah seperti di film-film. Di sebuah cafe yang menampilkan jam session dan jadi tempat ngumpul para volunteer, aku tertarik pada sosok pemain cello yang tampak sangat misterius. Biasanya, pemain alat musik gesek selalu jadi perhatian utama, duduk di tengah, atau ditempatkan di depan. Ia berdiri di area gelap, mengiringi musisi lain yang pada sibuk pamer kemampuan diri. Tapi menjelang akhir performance yang tadinya rame dan ceria, ia menampilkan potongan lagu yang membuat semua orang terdiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex Cetera
ChickLitNilakandi adalah seorang perempuan yang merasa hidupnya lengkap. Cantik, cerdas, punya karir menjanjikan dan calon suami yang sempurna, walau agak sedikit terlalu pencemburu. Sebuah kesalahan membuat asisten Kandi mengirimkan undangan pernikahan ke...