Surprise of The Day

1.7K 450 32
                                    

Aku melangkah keluar ruangan, melewati pintu, dan terdengar suara ledakan keras, yang membuatku terpekik dan menjatuhkan diri. Kurasakan lengan-lengan Gio menahanku, aroma parfumnya yang familiar menyeruak.

Dan terdengar suara tawanya yang rendah. Tawa yang hanya terdengar kalau dia...happy. aku mengangkat kepala, memandangnya, yang tersenyum super manis.
"Surprise. It's your Bridal Shower, Sayang."

Aku masih melongo, mengerjapkan mata. Di depan ruanganku, tim riset menggunakan berbagai hiasan--topi, mahkota, bawa terompet, kertas krep... Salah satu dinding ditempel spanduk bertuliskan Happy Bridal Shower Kandi, dan di depannya ada meja panjang berisi berbagai makanan...

"You!" Aku menoleh pada Gio, gak bisa menahan diri untuk gak cubit dadanya. Gila, nyaris semaput aku barusan! Kupikir dia entah gimana caranya, tahu kalau aku gak sengaja mengundang orang-orang yang paling gak boleh banget diundang di kawinan kita!

"I've planned it since you said yes." Ia mengangkat bahu, "Kayaknya masih gapapa lah pingitannya dimulai besok."
Tentu saja.

Aku memeluk Gio erat-erat. Aku baru sadar kalau...ternyata, I miss him badly. Dengan stress mau nikahan, stress kerjaan dan stress mikirin mantan...pelukannya terasa sepertiy tempat ternyaman di dunia. Dan pikiran kalau...aku bisa kehilangan dia, mendadak bikin hatiku berasa diremas-remas.

Gio membalas dengan canggung, terutama karena aku termasuk orang yang paling jarang banget PDA. Di saat berdua, dia bisa seenaknya ndelosor padaku kapan aja, tapi di depan umum...ini pertama kali.

"Thank you." Aku berkata sambil mengecup pipinya, diiringi seruan jahil rekan-rekan kerjaku.

"Sampai jam 2 siang ya, khusus hari ini." Pemred kami berkata keras dari dalam ruangannya sambil mengacungkan jempol. Yang lain bersorak senang.

"Selamat ya Mbak Kandi!" Rachel bergabung dengan ceria di sampingku.

"Gio, ini asistenku Rachel..." aku mengenalkan keduanya. Tangan Gio masih merangkul pinggangku rapat.

"Finally." Gio berbisik setelah selesai ngobrol singkat sama Rachel, "Meski gak masuk akal juga kenapa mereka kasih kamu asisten menjelang resign."

Oh. Iya. Itu juga masalah lain.
"Well..."

"Kantor gak kasih kamu resign ya pasti." Gio menggelengkan kepala, "I knew it."

"Kamu baru sampai Jakarta?" Aku mengusap rambutnya, mengalihkan perhatian. Ia mengangguk, ekspresi muka minta disayang yang...kalau gak di kantor, pasti disusul ciuman kangen.

"How's everything? Masih ada agenda lagi hari ini?" Aku meneruskan.

"Everything's fine. Habis ini aku mau balik kantor, meeting sama tim akuisisi. Kita mau beli pabrik di Turki, it's okay, cuma prosesnya panjang." Ia mendesah lelah, "Dan bayangan kalau aku gak bakalan ketemu kamu sampai minggu depan, don't make things feel better."

Aku mengusap pipi Gio. Sedikit penyesalan dan banyak rasa bersalah muncul, mengingat aku harus berbohong...bukan, tapi menutupi, sesuatu yang penting darinya. Di hari-hari menjelang pernikahan kami pula.

"Don't ruin it, Kandi."
Sebuah suara muncul dari belakangku. Persis banget sama suara hati, tapi ternyata itu Mbak Nana, Pemred yang adalah boss-ku. Hit straight into my guilty mind.
"He's a keeper for sure. Cocok banget kita Bridal Shower di akhir minggu, sekalian refreshing, pake makanan enak."

I know. He totally is.
Gio terkekeh, meremas bahuku, menyapa Mbak Nana dengan ceria.

"Thanks to you, Na." Gio doang yang bisa manggil Mbak Nana, langsung nama. Padahal, orang kantor panggil Mbak Nana aja segan. Ratna Dyah, redaktur yang tulisannya sama tajamnya dengan lidahnya, tapi tampilannya kayak Ibu Peri Baik Hati.

"My pleasure. Bridal Shower tuh ngapain aja sih? Makan-makan doang? Udah old banget gue, gak ngerti acara anak muda."

Erm. Sama aku juga gak paham. Syukuran makan-makan cantik doang?

Tapi kemudian Eliza dan beberapa teman lain bawa kue dengan hiasan paling vulgar yang pernah kulihat, dengan lei dan mahkota dan berbagai pita warna-warni... Ke arahku!
Gio terkikik, mengacak rambutku, "Have fun, Sayang. I'll see you in our wedding day."

***

2 jam setelahnya, dalam kondisi berantakan gara-gara dipaksa pasrah dikasih kumis Hitler, pakai mahkota, dan kenyang sampai susah napas, aku kembali masuk ruangan dan menghadapi buku catatanku.
Back to the real problems, one by one.

Sebelum nanya nomornya Orion ke Reina, aku memutuskan untuk cari sendiri dulu. Gak ada orang yang namanya seunik itu. Jadi aku buka IG dulu.

Orion yang kukenal adalah anak SMA tipikal cowok-cowok yang gabung ke geng gaul, tapi gak pernah terlihat terlalu flashy. Menarik, tapi gak menarik perhatian. Butuh waktu untuk menyadari kalau senyumnya manis dan tatapannya membius di bawah naungan rambut belah tengahnya yang tebal. Cara bicaranya sedari dulu selalu sopan dan lembut, tapi bisa tegas kalau dibutuhkan, cocok banget jadi Ketua Kelas saat masih kelas 1 dulu.

Setelah beberapa kali salah orang, aku akhirnya menemukannya. Wagelaseh. Anaknya 7. Istrinya berbusana syariah, lengkap dengan khimar.

Bentar, ini mereka beneran mau ke Bali, party-party ala Gio, padahal sudah hijrah?
Atau dia asal iya-in aja kali?

Karena aku gak mungkin DM dari IG-ku sendiri, akhirnya aku menghubungi Reina. Sahabatku sejak jaman SD, yang kebetulan satu sekolah lagi pas SMA.

Seperti biasa, nungguin 7x nada dering baru diangkat. Anak ini percaya banget sama lucky numbers.

"Yuhuuuu calon manten, mau bachelorette party yak?"

"Gak. Gue mau cerita dan mau minta tolong."

"Lo mah emang, kalau nelpon tuh gak pernah ada niat membahagiakan gue..."
Aku bisa membayangkannya, dengan rambut pink panjangnya, anting-anting berderet di telinga, dan wajah blasteran cantik, di tengah cafe uniknya di Bandung. Mungkin sambil dilirikin sebel sama pengunjung yang sudah antre lama.

"I fucked up."
"Hamil? Gapapa lah, besok juga lo kawin."
"Enggak. Gue ngirim undangan ke Orion."

Sunyi sekejap.
Lalu suara tawa keras ala-ala penjajah terdengar sampai aku mesti menjauhkan ponsel dari telinga.
"Of all people? Orion? BAHAHAHAHAHAHA..."

"Worse. I invited all of my exes."

'Termasuk si RW?"
Reina males banget sama RW yang sekampus tapi beda jurusan dengannya. Sebelum jadi pacarku, saat masih jadi pacarku, setelahnya, sampai detik ini.

"Iya. RW juga. Ren juga. Les juga."

"Dude! That's chaos!" Reina mulai terdengar agak prihatin, "Tapi Ren gapapa lah. He's hot and okay. Lo kayak mesti banget bangga jadi mantannya dia."

"Shut up." Aku menggosok sisa lipstik di punggung tangan.

"So? What you'll do now?"

"Mmmm. Gue kayaknya harus minta mereka gak datang ke kawinan, demi ketenangan kehidupan berumah tangga di masa depan, sih."

"Lo mau gue bantuin?"
"Lo gak ada kerjaan emangnya?"
"Cuslah. See you."

Ex CeteraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang