Apa yang bikin kamu merasa bahagia?
Pertanyaan yang jadi bahasan utama bagi risetku minggu depan, ternyata cukup menggelitik perasaan. Sepanjang hari sejak assignment terbaru ini muncul di inbox, aku nyaris gak bisa tidur memikirkannya.Padahal...
Aku gak punya alasan untuk gak merasa bahagia."What is it, Yang?"
Alasan pertama, adalah lelaki yang duduk di hadapanku. Gio adalah calon suami yang kalau dinilai dari survei, masuk kategori sangat menarik bagi banyak perempuan (dan beberapa laki-laki). Tampan, mapan, menawan. Sangat perhatian.Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum, "Enggak, lagi mikirin kerjaan."
"Jangan dong. Kan ada aku. Kamu kalau kita lagi ketemuan gini, gak usah mikir yang lain. Aku aja. Ya?"
Sangat butuh perhatian. Aku mengangguk segera.
Gio menggeser kursinya mendekat dan merangkul bahuku. Gestur PDA yang segera disadari banyak orang di area makan kantor."Kamu udah minta cuti kan? Seminggu sebelum nikah, dua minggu setelah nikah..." Gio bertanya dengan nada manis, "...dan habis itu kamu resign?"
Topik gak menyenangkan, yang sayangnya sudah kusepakati. Cuma...aku belum bilang soal bagian terakhir, sih. Aku sudah dapat izin untuk cuti. Entah kenapa aku masih belum memberikan surat pengunduran diri dari kantor.
Pekerjaanku saat ini sebagai Supervisor Researcher untuk website khusus perempuan, harus kuakui adalah salah satu hal yang sangat menyenangkan dalam hidupku selama 34 tahun terakhir. Aku masih gak terlalu rela melepaskan pekerjaan setelah menikah, aku bahkan belum ngobrolin ini sama siapapun di kantor. Tetap saja, aku mengangguk dan pasang wajah paling meyakinkan. Menurut Gio, aku adalah orang yang paling gak bisa berbohong. Tapi aku gak bohong, kan. Cutinya memang sudah di-approve.
"I know you'll be my perfect wife." Gio mengusap pipiku, "Nurut, pintar, cantik dan selalu bikin kangen."
Pertama kali ketemu Gio, aku sama sekali gak menyangka kalau... Dia bisa jadi seperti sekarang. Gio yang dikenal semua orang lain adalah sosok yang tampak dingin, tertutup dan pendiam. Selain pintar dan berkarir cemerlang... Dan terlalu good looking.
Iya, terlalu good looking itu betulan ada. Bertentangan dengan pendapat umum, terlalu good looking juga bisa menyebabkan berbagai masalah. Salah satunya, yang dialami sama Gio adalah...kombinasi antara kepercayaan diri yang berlebihan dan insecurity dalam tahap cukup parah. Hal lain yang gak kuduga akan kutemui pada dirinya.
"Kamu juga." Aku meremas tangan Gio. Harus ada jawaban untuk setiap pujian. Seringnya, kalau aku dipuji, itu tanda kalau dia juga butuh adoration. "Calon suamiku yang baik, manis, menggemaskan..."
"...dan berwibawa? Aku bentar lagi ada meeting di depan Kemenkominfo."
"Dan berwibawa."
Mau muji kok diatur ya. Beberapa kali aku masih sering ketawa kalau si ganteng ini request. Tapi aku akhirnya bisa ngerti.Gio terlihat happy seketika, melirik jam, lalu berdiri dan merapikan setelannya. "Aku berangkat sekarang, Sayang. Aku jemput pulang jam 19.30?"
"Jam 20.00 gimana? Aku punya asisten baru yang mesti kutraining..."
"Sure. Jangan lupa videocall pas dinner."Kami berjalan menuju lift.
Gio menekan tombol panah atas, membuatku meliriknya."Gak ke basement?"
"I'm taking the chopper. Jakarta macet banget hari ini, Yang, aku gak sanggup nunggunya."***
Gio bukan lelaki biasa. Itu sebabnya kenapa aku gak pernah betul-betul terbiasa dengan dia. Gio Nirwakarsa, pertama kali kukenal sebagai salah satu tokoh lelaki idaman bangsa. Semacam mas Nicsap-nya dunia bisnis deh. Ia pertama muncul di berita soal bisnis tembakau, menjual perusahaan keluarga warisannya ke perusahaan rokok terbesar dunia. Headline-nya internasional. Aku waktu itu masih baru jadi anak riset di salah satu TV swasta biasa, dan sambil ngumpulin data responden, aku cuma bisa mengaguminya tanpa banyak aksi seperti jutaan wanita.
Beberapa tahun kemudian, Gio kembali jadi buah bibir karena membeli pulau yang kini jadi salah satu kota modern paling maju dan ramah lingkungan. Pulau gak berpenghuni di perbatasan Singapura - Indonesia, yang cukup besar untuk dijadikan resort untuk menambah pundi-pundi di catatan harta. Tapi enggak. Dia bikin jadi kota, bekerja sama dengan pemda. Smartcity tanpa pembangunan berlebihan yang merusak alam. Inovasi pembuatan jalan, pengairan, pengolahan sampah yang melibatkan ilmuwan terbaik dan menyedot perhatian dunia. Visioner, setengah gila, tapi muda dan dipercaya.
Hingga akhirnya kami ketemu dan tiba di hari ini, Gio dengan rutin memberikan banyak bahasan tiap tahun. Gio N. adalah sosok jenius muda yang sejajar dengan Elon Musk, Steve Jobs, Mark Cuban, Richard Branson, Jack Ma dalam setiap riset yang kubuat. Plus, dia populer. Lelaki Asia dengan tinggi 180 cm, wajah tampan natural, selalu rapi dan sopan pada semua orang. Plus, ia juga jago menginspirasi. Kerumitan pikirannya selalu mampu dijabarkan dengan kata-kata sederhana yang mudah dimengerti, intonasi rendah, nada ramah dan jokes pintar. Bahkan di usianya yang sudah mau 40 tahun, aku yakin banyak anak remaja kecanduan AU yang rela jadi pasangannya.
Dan hal itulah yang bikin semua orang bingung, kenapa dia memilih aku. Seorang periset normal, 35 tahun, dari keluarga biasa, gak ada spesial-spesialnya dari sisi penampilan. Bahkan aku sendiri masih bingung. Menurut Gio, kualitas terbaik dariku yang dia gak pernah temukan di perempuan lain, adalah kemampuanku beradaptasi dengan kelakuannya secara mulus dan tulus. Pertama mengenalnya saat perusahaan tempatku kerja menangani riset untuk salah satu perusahaan Gio yang produknya fokus pada perempuan, beberapa tahun lalu, tentu aku naksir berat. Tapi tahu diri. Gak diduga, kami sering ketemu dan ngobrol-ngobrol ringan. Gio membuka diri, dan aku sebagai orang riset yang memahami tentang banyaknya perbedaan manusia, menanggapi seperti yang dia mau.
"Kamu memberikan reaksi terbaik dari setiap aksi yang kulakukan." Begitulah kata-kata pembukanya saat melamarku dua bulan lalu.
***
Aku membuka kembali kuesioner yang sedang kubuat. Kebahagiaan. Kata-kata yang sungguh mengganggu pikiran. Dari ribuan penelitian, kebahagiaan masih jadi salah satu topik psikologis dibahas tiap tahun. Semua orang mencari, mengupayakan, bermimpi dan ingin jadi bahagia.
Menurut kuesioner yang kubuat, aku bahagia. Dengan posisi pekerjaanku yang sudah langsung berurusan dengan Pemred, penghasilan tetap bernominal lumayan, keluarga komplit harmonis, teman-teman yang awet sejak masa muda...ditambah calon suami kaya raya, pintar luar biasa, idaman se-Indonesia yang cintanya berlimpah ruah hanya untukku saja. Aku punya semua yang secara kasat mata dibutuhkan untuk jadi bahagia.
Tapi entah kenapa ada yang terasa salah dan agak sedikit menggelitik. Seperti kalau sedang menghitung dan ragu, lalu refleksmu adalah menghitung ulang.
Sahabatku Rei mungkin akan menganggap ini sebagai pertanda. Kelakuan si ahli tarot yang quirky itu memang kadang random.
Pintuku diketuk. Eliza, Head HRD, melongokkan kepala. "Kandi, yuk meet sama asisten baru kamu."
Ah. Ya. Akhirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex Cetera
ChickLitNilakandi adalah seorang perempuan yang merasa hidupnya lengkap. Cantik, cerdas, punya karir menjanjikan dan calon suami yang sempurna, walau agak sedikit terlalu pencemburu. Sebuah kesalahan membuat asisten Kandi mengirimkan undangan pernikahan ke...