Memories and Doubts

1.5K 478 53
                                    

Minggu pagi pertama tanpa kehadiran Gio, rasanya...aneh. Biasanya dia akan datang pagi banget saat matahari masih belum terbit, membuka pintu dengan kuncinya sendiri, dan menyelusup di kasur tempatku tidur. Kami lalu tidur lagi, bangun jam 8 pagi, dan sarapan bareng.

Hari Minggu adalah satu-satunya hari di mana Gio meninggalkan semua gadget di rumahnya sendiri. Tanpa semua itu, Gio gak seperti sosok yang dikenal semua orang lain. Gio-nya Kandi saja-lelaki paruh baya yang manja, banyak maunya, dan manis. Kami akan duduk di sofa depan TV, nonton hal-hal random sambil cerita-cerita tentang apa saja yang terjadi selama seminggu terakhir. Kalau hari-hari biasanya akan diisi soal kerjaan, hari Minggu adalah tentang perasaan, keluh-kesah, harapan... Sejujurnya, inilah yang membuatku merasa sangat istimewa.

Walaupun semua orang merasa kenal dengan Gio, sangat sedikit orang yang dibiarkannya masuk dalam kehidupan pribadi. Orang-orang terdekatnya, di-rolling setiap waktu tertentu, termasuk sopir dan aspri. Dia gak mau terlalu tergantung sama orang lain, juga gak pernah suka terlalu dekat sama orang. Denganku, dia cerita semuanya, menunjukkan segalanya.

"Gue kangen Gio deh." Aku berkata akhirnya, keras-keras.

Reina yang sedang masak Indomie di dapur, menoleh dan membelalakkan mata, "Really?" Ia bertanya dengan senyum mengejek.

"Shut up." Kuambil gelas tehku dan pergi dari dapur, duduk di sofa depan TV. Sebuah kimono tidur masih tersampir di sana, punya Gio dari minggu lalu. Aku ingat dia datang pakai celana piyama garis-garis dan kaos hitam polos, dengan sandal kepala Shrek berbulu oleh-olehku dari Universal Studio's beberapa tahun lalu. Dan kimono ini. Dan rambut acak-acakan. Dia kaget saat masuk apartemen, mendapatiku sudah bangun dan bikin minum di dapur.

"What is it, Yang?"

Pertanyaan favoritnya saat melihatku.

"Mens. Sakit perut. Kebangun dari jam 3 tadi." Aku menjawab, mengacungkan botol Kiranti kosong.

"Ah, my poor Sayang."

Aku ingat dia memaksaku mau digendong ala princess balik ke kamar, sambil tertawa sampai sakit perut. Aku ingat memandangi wajahnya yang sempurna di mataku. Semua hal yang kusuka dari fisik cowok ada padanya: alis tebal, lesung pipi sebelah, bibir tipis yang menampakkan gigi rapi dan menenggelamkan mata saat ia tersenyum. Aku ingat, minggu lalu aku berpikir kalau... Aku bisa selamanya bersama dia, dengan hari Minggu yang hanya untukku saja.

"Go back to sleep, Yang." Ia menarikku ke pelukannya yang selalu hangat dan wangi. Gio punya satu parfum yang dipakainya setelah mandi menjelang tidur, yang diakuinya membuat dia bangun pagi sambil merasa ganteng. Well. It works.

"Minggu depan kita sudah jadi suami istri lho, Gio."

"Yeah, so?"

"Will it be different? Between us?"

Gio membuka matanya, menatapku serius, "We'll change. But we'll change together."

"Will you? Change for me?"

"No. I will change with you." Gio menjawab, "Kalau kamu mau tiba-tiba mau jadi emak-emak dengan rol rambut yang kerjaannya cuma marah-marah sambil dasteran, aku akan jadi bapak-bapak kurus koloran-singletan takut istri yang sepakat terus sama kamu."

Tau banget. Pasangan epik dari film Kung Fu Hustle favoritnya, yang menurut dia lebih romantis dari Romeo dan Juliet. Saat itu aku cuma menepuk dada Gio sambil tertawa. Ogah banget.

"Ah ciye yang kangen." Reina muncul, membawa mangkok berisi mi mengepul, melemparkan ponselnya padaku. Aku mau denial juga susah, lagi peluk-pelukin kimono tidurnya Gio.

"Sama aja lo berdua. Telponan gih."

"Ogah." Aku mengangkat bahu.

"Dia juga nanyain lo mulu. Capek gue. Inget umur, woi. Udah lewat masa-masa kasmaran. Mestinya lo berdua tuh mikirin program beranak, pensiun, diskonan filter Pure It..."

Aku mengambil ponsel Reina, membukanya dengan sidik jariku-iya, kita saling mendaftarkan sidik jari masing-masing di hp, supaya kalau ada apa-apa kita bisa saling buka hp. Memandangi chat terakhir Reina dengan Gio. Mendadak mellow.

Dimana? Lagi apa Kandi?
Udah pada sarapan belum?
Make sure she still remember me.
Titip pesan, bawain baju tidur gue yang ketinggalan di apartemennya ya. It's her favorite, I need to bring it to Bali.

Jadi makin sedih. Aku membuka aplikasi Instagram, yang sudah lamaaaaa sekali gak kubuka. Akunku sudah lama gak aktif, sejak aku uninstall apps-nya. Setelah punya pasangan high-profile, rasanya lebih damai aja gak mesti tahu lebih banyak pikiran dan pendapat netizen budiman tentang kita.

"Cakep bener foto-foto lo, Rei." Aku scrolling feeds-nya Reina.

"Rambut gue di-endorse. Harus di-post biar gak disuruh bayar." Reina menjawab asal.

Aku explore dan melihat akun Gio. Gak papa dong ya. Masih boleh kan, walaupun kami lagi pingitan?

Foto terakhirnya adalah dia bersalaman dengan salah satu Menteri. Oh, yang pas dia mau ke Kominfo itu.

Dan. Aku. Melihat. Comments.

Gio please jangan balikan sama Melinda dong!
Apapun yang terjadi, pokoknya aku padamu, Mas Gio N. Mau sama Melinda atau ama mbak culun, oke.
#MelindaTeam forever!!

Eh?

Apa ini? Aku klik hashtag dan detik selanjutnya layar ponsel Reina menampilkan berbagai foto Gio dan Melinda. Foto-foto lama, yang sudah kulihat berkali-kali, karena dulu pun jarang banget mereka foto berdua. Headline dari laman-laman berita kelas receh, yang menanyakan hubungan keduanya. Terus, terus. Hingga sebuah foto buram yang justru sangat kontras dengan foto lainnya. Foto Gio dan Melinda, di lobby yang mirip hotel atau mall atau kantor mewah, dengan Gio menyampirkan jas ke pundak perempuan jelita itu.

"Kenape lo, kayak lihat setan?" Reina menyadari perubahan ekspresi wajahku, dan mendekat.

"I probably am." Aku menjawab, memperlihatkan foto.

"Whaaaat? Foto kapan itu?"

Aku menggerakkan jariku, zooming in. Memperhatikan model rambut Gio, yang saat ini agak gondrong di bawah telinga, dan...cincin di jari manis sebelah kirinya. Baru-baru ini. Cincin emas yang dia rencanakan untuk jadi cincin kawin, baru dipasangnya sekitar sebulan lalu, gara-gara aku protes gak suka pakai cincin tunangan kami yang bentuknya terlalu mencolok. Gio memberiku cincin emas polos, dan dia juga pakai bareng.

Jantungku berdebar seketika, sementara badanku melemas. Kapan ini? Dan ini ngapain? Dia gak cerita kalau dia ketemu Melinda. Aku mengecek tanggal di captions. Dua hari lalu. Jumat malam..

Gercep beb! Gio N. bikin salfok karena jalan bareng Melinda di acara penganugerahan aktor terbaik! Babang tamvan katanya tunangan, sama siapa niiich?? Jengong-jengong...ama sesembak yang baru muncul dari kubur?? Psst, konon hidungnya baru loch,,,

Hmmmm.
Mungkin keduanya ketemu gak sengaja.
Tapi perlu sedeket itu ya?

"Biasa itu mah..." Reina menanggapi di sampingku, "Atau lo mau gue konfirmasi ke dianya?"

Aku menghela napas, "Gak usah sih, gak papa. Mereka mungkin gak sengaja ketemu. Setau gue, Gio sering kan diundang acara-acara begituan."

Reina memandangku sekali lagi, "Yakin lo?"

Aku mengangguk.

Padahal hatiku deg-deg'an juga. Sementara aku mengurus mantan-mantanku, mungkin dia juga melakukan hal yang sama? Tapi...kenapa rasanya nyesek ya?

Ex CeteraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang