Reina - Each Other's Mystery

1.3K 452 34
                                    

Sepanjang jalan pulang ke apartemenku, kami terdiam. Aku gak berani tanya lebih lanjut, dan Reina juga gak bicara.

Yang kuingat tentang Dama, hanyalah hal-hal simpel dari orang yang kukenal sekilas saja. Aku ingat rambutnya yang sebahu, tubuhnya kurus dan lebih tinggi dari Reina, boots kulit untuk kerja, dan kemeja flanel yang selalu melapisi kaos-kaosnya.

Sahabatku itu, memang jatuh cinta betulan pada Dama. Saat mereka awal-awal ketemu dan pendekatan, aku sempat jadi third wheels beberapa kali. Dama seru, sih. Dia banyak ngobrol, banyak baca, banyak tahu soal pop culture dan hal-hal aneh yang Reina suka. Cocok deh sama Reina yang juga supel dan termasuk orang yang bisa ajakin orang gak dikenal ngobrol sampai kayak teman lama. Emang settingan-nya begitu. Gak spesial kalau mereka bersikap baik sama kita, justru spesial kalau mereka bisa menunjukkan emosi lebih dari sekedar ceria dan haha-hihi.

...makanya aku gak ngerti sama sekali dengan dua pernyataan dari Reina dan RW barusan.

"Rei..." Saat mobil parkir ke basement, akhirnya aku membuka suara.

"Bukan salah lo, Ndi." Ia menjawab segera, membaca pikiranku.

"Iya, tapi apa? Kenapa RW tadi bilang begitu? Apa yang harusnya gue tau?"

Basement remang-remang nyaris gelap, tapi aku tahu, ada air mata meremang di wajah Reina. Ia terdiam beberapa saat, sebelum menarik napas panjang, dan bertanya, "Lo tau schizophrenia?"

Tentu tahu. Aku melakukan riset soal schizophrenia yang di Indonesia masih belum terlalu dikenal... Oh wait.

"Dama pengidap schizophrenia. Dia termasuk yang kelihatan normal, karena terdiagnosis lebih awal, dari masa remajanya, dan rajin minum obat." Reina meneruskan, "Tapi di akhir-akhir masa hidupnya, dia memutuskan untuk gak minum obat sama sekali. Dan gue...biarin aja."

Schizophrenia, adalah sebuah gangguan kesehatan mental (dan fisik) yang membuat pengidapnya sering mengalami halusinasi, delusi, hingga kelakuan motorik yang gak normal. Dama...gak kelihatan seperti orang schizo sama sekali, karena memang kalau dapat penanganan medis, penderitanya bisa normal, sekolah, punya kehidupan seperti orang lain.

"Why?"
Pertanyaanku gak bisa kutahan. Untuk bisa normal, orang dengan schizophrenia harus minum obat seumur hidupnya. Gak boleh dikurang-kurangin apalagi ditinggal gitu.

Reina mengangkat bahu, "Mungkin karena gue cuma pengen dia seneng aja, ngelakuin yang dia mau. Dama bilang dia perlu lepas dari obatnya, perlu jadi dirinya sendiri, untuk bisa selesaikan tugas akhirnya. His own masterpiece."

Masterpiece yang sekarang masih dipasang di gedung utama kampus. Memang sebagus itu, patung abstrak ukuran besar yang menggambarkan peralihan dari masa-masa remaja nan polos dan ceria ke masa dewasa yang lebih gelap dan rumit. Dipasang untuk mengenang salah satu mahasiswa terbaik, yang gak sempat lulus.

"For the sake of the art, I let him be." Reina menggosok pipinya dengan kasar, menghapus air mata yang mulai jatuh.

Reina yang masih muda, baru jadi mahasiswa tingkat pertama, menanggapi keinginan Dama tanpa banyak pikiran. Masalah mulai muncul saat Dama berubah menjadi sosok lain. Yang lebih sinis, negatif, suram dan pemurung.

"Dia kemudian delusional, soal kita berdua. Dama tahu kalau hubungan kita dekat, kalau gue sayang banget sama lo lebih dari keluarga sendiri, dan saat itu pacar lo bener-bener mirip anak setan. Sorry to say, RW dan lo sering banget jadi sumber kekesalan gue setiap hari. Entah gimana, hal ini malah jadi bahan delusi Dama. Dia pikir kita berdua punya hubungan."

"Hah? Gimana?"

"Like a romantic, forbidden relationship. Dia percaya kalau kita berdua membuat dia dan RW sebagai tameng untuk society."

Walaupun aku dan Reina dekat banget, yang bisa mandi rendeman berdua sambil cerita-cerita, tapi... Kami masih normal. Gak pernah kepikiran, apalagi berminat.
"That's crazy." Aku berkomentar, bergidik.

"It IS! Makanya gue akhirnya sempat minta break sama dia. Gue udah memohon, memaksa, meyakinkan semampu diri gue untuk dia minum obatnya lagi. Gue minta dia lihat betul-betul kalau saat itu, gue dan lo pun bahkan sedang gak ngobrol, dan dia menuduh kita berdua punya hubungan gelap."

Kami berdua gak kesal dituding lesbian, tapi sejujurnya, dikira selingkuh itu sesuatu yang sangat menyakitkan, lho.

"Dia sempat nelpon RW di malam terakhir sebelum dia..." Reina membiarkannya menggantung, menjelaskan kenapa RW tahu lebih banyak dari aku. Dama cerita soal semua delusinya...pada RW juga.

"Gue pikir dia kecelakaan, Rei." Aku mengusap punggung Reina, yang menyandarkan kepalanya ke pundakku.

"Semua orang berpikir begitu." Reina mendesah, "Dan gue berharap semua taunya itu."

Banyak orang lebih menerima kabar kematian Dama yang tragis sebagai kecelakaan ketika ia ditemukan terjatuh dari atap. Hanya beberapa teman dan keluarga tahu soal kondisi kejiwaan Dama yang gak stabil.

"We were both 19 and we got shitty boyfriends." Raina terkekeh sinis, "What an incredible way to start adulthood, no?"

Aku jadi ikut ketawa prihatin mendengar pernyataan Reina. So true. I got RW. She got... Well, Dama is still perfect in some way though.

"What about other stuff? The baby stuff?" Aku meneruskan.

"Itu RW sinting aja emang. Segila-gilanya Dama, dia tuh mantan altar boy. Pake purituy ring macam Jonas Brothers. Gak ada dia nghamilin gue. Kebanyakan nonton sinetron gak mutu." Reina memutar mata, membuatku ngakak segera.

"Mumpung kita lagi jujur-jujuran," Raina menambahkan, "I broke you two up."

"How?"

"Gue menyewa beberapa teman yang agak preman untuk bikin RW ngerasa dibegal, motornya rusak, hp-nya hilang, lalu komputernya meledak."

Aku melongo.
Ini cerita baru. Aku dan RW berpisahnya memang gak baik-baik dengan aku yang ingin udahan, dan dia yang bersikeras gak mau putus. Tapi aku cuekin dan dia hilang sendiri. Jadi yaaaa selesai. Dia gak menghubungi aku, gak ganggu lagi, gak ada kabarnya seperti menghilang dari bumi selama beberapa bulan. Lalu dapat kabar dia S2 di negara lain, dan aku lega banget.

Tapi aku gak nyangka kalau ternyata Reina campur tangan soal ini.

"Dia tahu lo..."

"Gue sempat mengancam dia, waktu itu kita lagi nginep bareng, dia nelponin mulu gue jawab. Tapi kemudian dia mulai mikir kalau dia apes aja."

"Oh my God, Rei." Aku menggelengkan kepala gak percaya. Meskipun beberapa kali aku lihat dia membakar namanya RW di api dengan tujuan mengutuk atau apalah... Tapi aku cuma menganggapnya sekedar melampiaskan kekesalan doang.
Ada yang tiktokan sambil nangis, ada yang menghujat foto-foto mantan di feeds dengan captions jahat, ada yang suram...

Tapi aku gak menyangka dia sejauh ini.
Which is okay.
Sometimes we need a friend who will do exactly what we afraid to do.

"I know. I love you too, Witch." Reina menyeringai bangga.

Ex CeteraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang