"Bisa gitu ya."
Reina masih mengunyah berbagai buah-buahan di sampingku, sementara aku menyetir. Kami belum sempat sarapan, dan manusia berbadan besar ini dengan semena-mena minta banyak banget buah saat ditawari Orion barusan.Kami balik menuju Bandung, segera setelah aku membereskan urusan dengan Orion sekeluarga. Anak pertama mereka, namanya Srikandi, akan jadi tamuku. Tentu setelah ganti nama di pesanan tiket dan hotel. Umi Bella akan menemaninya.
"Bisa-bisa aja ternyata ya. Gue tuh mau kaget, tapi, gue juga sadar kalau hidup gue ini penuh dengan kemustahilan tau gak sih."
"Hidup ama gue maksudnya?"
Tenang, Reina bukan lagi tersinggung. Dia malah ngerasa dipuji."Ama Gio. Lo bayangin, orang kayak gue, punya kesempatan sama cowok kayak Gio. Mustahil kan sebenernya. Gue tuh apa sih, kerjaan gue riset yang gajinya bahkan gak nyampe 10 juta sebulan. Gue dari keluarga biasa-biasa aja. Gue gak secantik Melinda, gak ada prestasi selain rajin dan perform di ngantor, gak menemukan obat AIDS atau dapat nobel apalah. Tapi Gio bisa ya, mau sama gue. How? How?"
Pertanyaanku terhenti karena keplakan Reina di kepalaku.
"Itu pertanyaan bego.""Hah? Bego dari mana? Itu pertanyaan banyaaaaak banget orang, yang gue bahkan gak tau jawabannya apa."
"Gue tau cara cari jawabannya..." Reina mengunyah jambu air dengan berisik.
"Gimana?"
"Yaaaa, lo tanya ama dianya lah. Heran. Lo tuh kurang komunikasi, tau. Diem-diem, nerima-nerima, tapi sebetulnya gak ngerti dan gak paham. Mana dipikirinnya pun baru pas mau kawin. Dasar bucin aneh."
Kata-kata Reina selalu sukses membuatku termenung berpikir. Sudah lama dia berpendapat kalau aku lebih aneh dibanding dirinya, karena gak pernah bisa mengekspresikan diri. Aku...masih gak ngerti maksudnya dia tuh apaan, sejujurnya.
Untukku, Gio tuh gak perlu banyak dipertanyakan. Cukup iyain. Kalau dia tanya, aku jawab. Kalau dia minta, aku kasih. As long as he's with me, I'm okay.
Apakah aku jadi masuk kategori bucin?Tapi aku juga sebetulnya pernah kesulitan mengkategorikan perasaanku untuk Gio. Apakah aku bisa hidup bareng dia sampai tua? Bisa. Karena kami bisa bicara soal apa saja dengan seru dan penuh semangat, bisa saling support dengan cara yang pas untuk satu sama lain, saling menghargai, dan... He's really nice to look at. Tapi apakah aku memang secinta itu sama dia? Hmmm. I don't know.
Aku ngerasa gak pernah melakukan pengorbanan besar demi bisa bersamanya, gak pernah mengubah apapun yang heboh dalam hidupku untuknya. Well. Resign, misalnya. Yang...masih belum kulakukan juga sampai sekarang, meskipun aku tahu ini penting untuk Gio. Tuh. Kan. Aaargh jadi pusing sendiri! Aku benci banget semua kejadian ini mengacak-acak hidupku yang terkendali, tenang, damai...
"Talk about the devil." Reina mengeluarkan ponsel dari dalam saku, "Laki lo nelpon gue."
Tanpa tanya lebih lanjut, Reina menerima panggilan, memasang speakerphone.
"Shoot!" Ia menjawab telepon dengan asal.
"Rei. Lagi sama Kandi gak?"
Suara Gio. Kenapa rasanya kayak lama sekali gak dengar? Padahal kemarin masih ketemu."Yos." Reina menjawab singkat.
"Sehat-sehat gak dia? Kalian di mana? Lagi apa?" Pertanyaan-pertanyaan Gio, yang biasanya terasa gengges kalau langsung ditanyakan, kali ini membuatku tersenyum.
"Di mobil, kita habis dari Bandung Selatan petik strawberry. Dia lagi nyetirin gue sambil senyum-senyum sendiri. Kalau fisik sehat sih, entahlah kalau mental." Reina melirikku sambil nyengir, mengundang cubitanku ke pahanya. Aku nih jadi abusive emang kalau sama dia. Gemesin soalnya.
"Ah. Oke. Hati-hati kalian. Kabarin ya."
"Kalem."
"Right. Bye."Pintar memang Gio. Dia mengawasiku lewat Reina. Aku gak mau merepotkan Mbak Indra dan orangtuaku.
Reina adalah sahabat yang selalu ada. Kami sama-sama saling membantu sejak masa kecil dulu. Dengan perbedaan sifat yang kami miliki, justru bikin bisa menyelesaikan masalah lebih baik. Reina ada untukku saat aku patah hati, jadi bucin toxic, menemaniku menata hidup sejak masa muda. Aku juga selalu menjadikannya prioritas utama, sebisa mungkin ada di semua titik hidupnya.
Kami ada untuk satu sama lain sejak kecil, di masa remaja, dewasa muda, hingga di usia 30an ketika teman-teman kami sibuk dengan pernikahan, anak-anak dan karir... Kami masih ada untuk satu sama lain. She's on my top list for sure. Makanya, Gio dan Reina punya hubungan baik...sangat berarti untukku.
"Who's next?" Reina bertanya.
"RW." Mendadak suasana hatiku berat gara-gara menyebut namanya."Ugh." Reina akting mau muntah, "Worst thing ever happened to your life."
Aku dan Reina juga pernah punya masalah kayak umumnya dua sahabat yang gak hanya sekedar berhura-hura. Walaupun cara kami bicara sudah gak ada filter dan batas-batas kesopanan umum, tapi sangat jarang kami ribut dan saling menjauh. Apalagi lama-lama. Tapi, RW membuat aku dan Reina berpisah selama hampir 8 bulan.
"Waktu lo cerita tentang Gio," Reina meneruskan, "Gue pikir dia bakalan lebih parah dari si RW. I mean, you had a thing for bad boy, no offense."
"None taken."
"Gue pikir akan ketemu sama cowok ambisius ngeselin super rese. But he's not that bad. Kayak...kalaupun dia bukan Gio yang itu, dengan segala kehebatan duniawinya pun, gue masih ngerasa dia cocok sama lo."
"Really?"
"Iya. Dia agak gila, tapi penuh perhitungan. Sementara lo, penuh perhitungan tapi di waktu tertentu, bisa nekat dan impulsif banget. Kayak sekarang gini nih."
"Ini nekat dan impulsif ya?"
"Kalau menurut gue sih, mending lo bilang aja sama Gio. Dia paling ngamuk bentaran trus gak lama baik lagi. It's not like you're cheating or anything. They're exes. So what? Let them come to your wedding. They'll sorry 'cause you're married someone waaaay better."
"Gue gak mau meresikokan pernikahan gue batal."
"Kenapa?""Kok masih nanya kenapa?"
"Karena buat gue masih gak masuk akal aja lo mesti serepot ini. Apa lo gak yakin sama perasaan Gio untuk lo? Kalau lo masih mempertanyakan itu...kayaknya lo juga harus nanya sama diri lo sendiri, perasaan lo ke dia sedalam apa.""Obvious lah."
Reina sudah membuka mulut untuk mendebat, tapi terpotong deringan ponsel. Nomor asing, yang tidak kukenal, dan membuatku melemparkan handphone.
"Angkatin, Rei."Suara yang menyapa dari speakerphone membuat aku dan Reina bertukar pandang.
"Hai, Cantik. Ngundang gue ke kawinan lo, cuma sekedar alasan buat nagih jatah mantan doang kan? Kangen sama Rizky Wibawa yang sebentar lagi jadi Anggota Dewan paling berprestasi?"
Oh. Fuck my life.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex Cetera
ChickLitNilakandi adalah seorang perempuan yang merasa hidupnya lengkap. Cantik, cerdas, punya karir menjanjikan dan calon suami yang sempurna, walau agak sedikit terlalu pencemburu. Sebuah kesalahan membuat asisten Kandi mengirimkan undangan pernikahan ke...