Aku dan Reina butuh berjam-jam untuk menyiapkan diri bertemu dengan RW. Sepulangnya dari perkebunan Orion, kami pulang dulu ke apartemenku, tidur beberapa jam, nonton beberapa Live BTS, sebelum pergi lagi ke Kempinski.
Iya. Si RW ngajakin ketemuan di OKU, tempat makan Jepang yang super zen itu. Which is good. Reina bisa sangat emosional kalau udah nyangkut-nyangkut nama RW.
Let me tell you about this...special, special guy. Saat ini, dia konon adalah pejabat tingkat tinggi, tapi kemudian di telepon dia bilang anggota dewan. Selain itu, risetku menunjukkan kalau dia punya usaha entah apa, yang membuatnya bisa berpose dengan banyak mobil mewah, jam tangan super mahal, hingga liburan di tempat-tempat instagramable nan trendy. So flashy. Dia gak kelihatan sudah berkeluarga, dan aku sangat bersyukur, gak ada perempuan khilaf yang mau sama dia.
Kami tiba di lobby sedikit terlambat, sengaja, biar dia sebel. RW duduk dalam setelan jas yang tampak mahal, membuka laptop dengan airpod di telinga. Kami berdiri di depannya dengan kaku, dan ia mengangkat pandangan sebelum tertawa lebar.
Meskipun kelakuannya dia adalah kombinasi epik dari pengacara-pengacara sotoy sok iye + Vickynisasi + Trump, yang membuatnya buruk rupa di mata kami, sebetulnya tampilannya dia...gak separah itu sih. Paling gak sekarang. Money can't buy you class, but at least you can afford good stylist. Dan walaupun tahun 2005an dia kelihatan super culun, saat ini dia tampak seperti Oppa Korea idaman banyak anak muda.
"Wow. Threesome with Reina? Really?" Kata-kata pertamanya pada kami. Classic RW: jerk-nya totalitas.
"Shut up." Reina menjawab segera.
"Gue kesini mau minta lo cancel RSVP." Sama RW mah, gak perlu basa-basi."Kenapa gue gak mau datang ke kawinan lo? Gue akan dengan sangat senang datang, lho. Ke kawinan salah satu perempuan dari masa lalu, yang cantik, pintar, mempesona..." Dengan nada suara mengesalkan dan mengejek, ia menjawab.
"Karena gue gak mau lo ada di sana. Kemarin asisten gue yang salah kirim. Please cancel." Aku meneruskan.
"We can talk about this over dinner. Maybe you'll change your mind." RW merapikan barang-barangnya, memasukkannya ke sebuah koper berlogo mentereng, sebelum menambahkan, "Dinner's on you, I suppose."
Meskipun OKU makanannya memang oke, tapi mahalnya gak neko-neko. Fine dining resto, gimana sih. Sialan. Traktir orang lain aku ikhlas. Tapi...dia...
"Fine."
"Iya dong, fine. Calon istri Gio N." RW terkekeh sambil berjalan menuju resto."Gue pengen banget ngelempar sesuatu ke belakang kepalanya tau gak sih." Reina berbisik padaku, sementara kami mengikutinya.
"Sama. Tapi jangan dulu lah."
"Lo gak bisa ya langsung cancel aja dari mana gitu."
"Maunya. Tapi dia bakalan tetap datang. Kita bukan ke sini buat ngebatalin undangan, kita harus bikin dia gak mau datang."
***
Kondisi mentalku yang agak berantakan menjelang akhir masa SMA, sepertinya menjadi alasan utama (dan satu-satunya) aku bisa ujug-ujug terperangkap dalam hubungan bersama RW. Bersusah payah untuk lulus, stress karena harus belajar keras masuk PTN, pisahan gak jelas sama pacar satu-satunya yang kemudian hilang tak tentu rimbanya, sampai harus masuk jurusan gak sesuai minat yang bikin makin insecure. Proses pendewasaan instan yang membuatku sedikit depresi.
RW adalah anak SMA terkenal di Bandung. Pintar, pemenang olimpiade Fisika, yang sangat percaya diri. Dia masuk ITB lewat jalur siswa berprestasi. Ada semacam cerita urban legend, dia milih ITB pun setelah cap-cip-cup, karena semua universitas negeri di Indonesia mengiriminya undangan. Dia juga membuat sensasi dengan mengambil double degree di kampus lain.
Reina juga kuliah di tempat yang sama, di jurusan Seni Rupa. Aku ketemu RW saat menunggu Reina selesai kuliah. Saat itu, dia gak kelihatan psikotik. Somehow, mungkin karena aku juga lagi suram banget, dia tampak cukup charming.
RW mengontrol hidupku sepenuhnya saat itu. Dia bantuin aku belajar nyetir motor dan mobil, bantu aku dapat SIM...tapi aku gak bisa ke mana-mana tanpa dia. Akun Friendster, Facebook, hingga e-mail pribadiku, hanya bisa dibuka di laptop dan komputernya. Semua tugas kuliahku (termasuk tugas kelompok) dikerjakannya dengan mudah dan cepat. Dia bahkan pernah memilihkan teman-teman, memaksaku memilih dirinya atau Reina. Aku memilih RW dan Reina marah besar. Kami gak ngobrol berbulan-bulan.
Berada dalam hubungan yang gak sehat, di awal masa dewasaku, rasa sedih dan kesepian adalah sesuatu yang biasa untukku. Hari-hariku seperti naik rollercoaster, dengan RW sebagai desainernya. Satu hal yang kuanggap masih rezeki adalah...saat itu RW masih cowok (sok) alim yang gak berani aneh-aneh padaku. Dia manipulatif, culas, kejam, tapi masih culun. Teman-temannya adalah orang-orang yang jauh lebih tua, dan kagum padanya. Sementara, orang-orang seusianya, menganggap dia...jerk.
Ibukota jelas mengubah RW. Lebih baik? Mungkin. Karena dari ceritanya dia baru diangkat jadi anggota dewan dari partai tempatnya bernaung. Dia juga nyaris berbusa-busa cerita soal perusahaan fintech-nya yang sudah dapat izin OJK dan usaha konsultan tambang yang sedang mengerjakan proyek milik negara adidaya. RW gaul sama pengusaha, menteri, pejabat, memiliki ambisi menguasai dunia.
"Kalian keliatan tambah cakep..." Ia berkata. Kusadari ada lesung pipi yang sebelumnya gak pernah ada. Dan belahan dagu artifisial yang kutahu bisa dibuat oleh tangan cekatan ahli bedah profesional.
"Lo juga. Oplas di mana?" Reina menjawab, tersenyum sinis.
"Korea dong. Gak mau gue sama dokter lokal, apalagi Thailand." Di luar dugaan, RW menjawab congkak.
"Hahaha. Di Thailand bisa sekali nambah tetek sama potong titit, lho, padahal." Reina menanggapi, puas karena umpannya berhasil memancing bahan ejekan. Aku menyikut pinggangnya segera.
"Lo kayaknya perlu juga, Rei. Supaya ada yang mau." RW menjawab cepat, "Yaaah, selain pacar lo yang waktu itu...yang udah keburu mati sebelum sempat dikawinin. Kasihan ya, dia. Siapa namanya? Dama? Hmmm. Mati muda. Padahal berbakat, ganteng, pintar. Dan katanya, lo juga udah keburu hamil duluan kan? Mana anak lo? Udah gede harusnya ya?"
Aku menoleh pada Reina, yang ekspresinya berubah total. Kalau tadi dia hanya sebel, kini tatapannya nyaris membunuh. Kucari tangannya di bawah meja, kugenggam segera.
"Lo jangan berani-berani nyebut nama Dama pakai mulut busuk lo itu ya." Reina berkata pelan, suaranya rendah. Membuatku justru makin waspada.
"Bukan gue yang bikin dia mati, Rei." Tentu saja RW seperti api disiram bensin melihat sahabatku menahan amarah, "Lo lupa siapa yang bikin dia mati? Kandi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex Cetera
ChickLitNilakandi adalah seorang perempuan yang merasa hidupnya lengkap. Cantik, cerdas, punya karir menjanjikan dan calon suami yang sempurna, walau agak sedikit terlalu pencemburu. Sebuah kesalahan membuat asisten Kandi mengirimkan undangan pernikahan ke...