Menurut Reina, aku bucin. Saat jatuh cinta pada seseorang, aku melakukannya tanpa terlalu peduli situasi dan kondisi. Aku memilih Gio tanpa memikirkan perbedaan status dan kondisi buku rekening masing-masing. Aku juga memilih untuk tetap jatuh cinta pada Tantra walaupun tahu dia sudah menikah.
Sepanjang event 10 hari di Ubud, aku menikmati semua perhatian Tantra untukku. Membalas sikap misteriusnya yang penuh tantangan, dengan pemberani dan flirty. Aku yang biasanya pemalu, mendadak jadi penggoda. Yang seringnya pasif, tiba-tiba banyak inisiatif. Yang gak terlalu percaya diri, ujug-ujug dibilang sensual dan seksi.
Tantra adalah mantra yang membuatku menjelma jadi wanita baru.
Saat itu, isi kepala, hati dan jiwaku penuh dengan sosok Tantra. Pikiran rasional ala perisetku mendadak buyar saat melihatnya...bahkan saat mendengar namanya disebut.
Setelah Ubud, kami melanjutkan affair di Jakarta. Dia pulang ke rumahnya setiap hari, dan aku dengan naifnya, percaya kalau dia hanyalah seorang lelaki baik yang terjebak dalam pernikahan tidak bahagia. Cinta yang egois membuatku tidak merasa bersalah sudah menjadi bagian dari kisah kelam keluarganya. My feelings were real.
Selama hidupku, aku mendengar cerita tentang para penggoda suami, para pelakor, dan menganggap mereka adalah perempuan jahat yang gak punya perasaan. Tapi kemudian aku berada di posisi itu--orang yang dengan sadar memutuskan untuk mencintai lelaki milik perempuan lain. Aku gak mau menyakiti istrinya Tantra, tapi itu bukan hal yang bisa dipercaya siapapun. Termasuk diriku sendiri.
Aku menahan diri untuk gak tau lebih banyak soal keluarga Tantra, dan dia pun gak cerita. Aku berpura-pura itu gak penting, karena perasaanku sudah sangat dalam. Aku menolak kenyataan kalau ini adalah perselingkuhan. Aku menganggapnya cinta sejati, meskipun hanya sekedar affair yang berlangsung berbulan-bulan.
Saat akhirnya Reina pulang dan tahu, dia marah besar. Seperti biasa, dia membantuku mengakhiri segalanya. Aku menolak mentah-mentah, tapi di akhir hubungan kami, Reina menculikku dari kantor dan membawaku ke depan sebuah sekolah internasional.
Di sana, ada Tantra yang baru pulang dari tur Asia, menunggu bersama seorang perempuan cantik berambut panjang. Seorang anak laki-laki, mungkin usianya baru 5 tahun, keluar dan berlari memeluk Tantra. Ketiganya tersenyum, tampak bahagia dan sempurna. Saling mencium pipi dan mengusap rambut.
"There will be no happily ever after for both of you, Kandi." Kata-kata Reina menusuk hatiku, mengoyaknya dengan kebenaran: aku dalam proses menghancurkan keluarga Tantra.
Setelahnya aku terobsesi. Istri Tantra adalah seorang ibu rumah tangga, hobinya masak, pernah kuliah jadi dokter gigi tapi gak praktek, menyukai hal-hal estetik di feeds IG-nya. Aku gak mungkin dibandingkan dengannya. Perempuan ini tahu keluarga Tantra, well, dia adalah bagian dari keluarganya. Aku? Aku adalah perempuan yang merusak hubungan mereka yang sempurna. Perempuan ini adalah istri yang baik. Aku cuma selingkuhan.
Jadi, meskipun semua perasaan ini terasa benar, ini sebuah kesalahan, fantasi belaka. Mungkin Tantra cuma merasa bosan dengan kehidupannya yang sempurna, dan aku hanya sekedar teman bermain untuk menambah seru suasana. I was his dirty secret, conquest, guilty pleasure...but I was never his. He was never mine.
Maka aku menyelesaikan hubungan singkat kami dan mengasihani diri sendiri bertahun-tahun sebelum akhirnya mulai merasa baik-baik saja.
Cinta yang kumiliki, meski intens, adalah cinta yang menyakiti. Jenis cinta yang gak bisa kusampaikan dengan nyata, gak bisa kuperlihatkan pada dunia. Cinta diam-diam yang sunyi, terbatas pada tatapan penuh arti dan pembicaraan sesekali, yang tersembunyi.
Aku mengenal Tantra dengan baik, setiap bagian jiwanya yang terang dan kelam. Aku menangisi bagaimana semesta mempertemukanku dengan kekasih yang kuanggap soulmate, tapi sudah dimiliki orang lain.
Aku sadar, ternyata aku hanyalah perempuan yang menginginkan seseorang ada di sampingnya saat terbangun di mimpi buruk malam hari, mendengar suaranya ketika baru bangun pagi, memuji masakannya, menjadi tempat pulang, menggandeng tangannya di tempat ramai, ada untuk satu sama lain, di saat sulit dan berat, juga di masa bahagia, dengan penuh syukur.
Tantra gak menahanku pergi saat aku menjauh dan memilih untuk mengabaikan dia. Dia tidak pernah menjadikan aku pilihan. Apapun yang pernah terjadi di antara kami, gak akan mengubah kalau prioritas hidupnya adalah istri dan anaknya.
Gak mudah menjadi perempuan lain. Ada banyak sakit hati, perasaan gak berharga, pikiran kalau aku tidak cukup baik, dan hari-hariku penuh pertanyaan soal keadilan hidup. Usaha untuk menyadarkan diri sendiri kalau sesuatu yang sangat luar biasa ini adalah hal salah, membutuhkan banyak waktu dan air mata. Begitupun dengan penerimaan fakta kalau...I was a mistress.
Ketika Gio hadir dalam hidupku, saat akhirnya aku sudah benar-benar melupakan Tantra, dia menjadi semacam penebusan kesalahanku. Aku pernah melakukan hal buruk, jadi aku harus berusaha yang terbaik kali ini. Gio menyadarkanku kalau aku bisa mendapatkan tiga hal penting dalam hubungan: cinta, kejujuran dan komitmen. He gave me those three things.
Or so I thought.
***
Tantra rajin lari di Senayan, hampir setiap pagi. Rumahnya di Permata Hijau, dan saking bucinnya, dulu aku pernah pakai bus dari Pamulang tiap subuh demi bisa ketemu dia pagi-pagi sebelum ngantor.
Pagi ini, aku menghampirinya di depan mobilnya yang diparkir di Gelora. Dia gak lari, juga gak pakai baju olahraga. Tantra dalam kaos dan jeans, dengan rambut messy basah, dagu dan pipi yang belum dicukur.
He looks amazing.
Sementara aku masih dalam jeans-ku kemarin, kaos kebesaran yang kupinjam dari Les untuk tidur, dan sandal colongan apartemen Gianni. Tanpa nyisir, tanpa make-up, dan tentu saja sisa mimpi buruk berupa lingkaran hitam bawah mata dan kulit pucat gak sehat.
Kami bertatapan selama beberapa detik, dan saat aku mengulurkan tangan untuk menyalaminya dengan awkward, ia menarikku ke pelukannya.
Aku menenggelamkan diri lama-lama di sana, tanpa sadar membalas pelukannya erat-erat. Dulu kami bahkan tidak bisa saling memeluk sering-sering, dan di tempat umum pula!
Tapi kemudian pikiranku kembali ke Gio, dan aku menumpahkan semua emosi ke dada Tantra. Aku menangis, terisak-isak, hingga ia mengajakku duduk di kursi belakang mobilnya. Bermenit-menit, mungkin berjam-jam, sampai air mataku habis, energiku menguap dan kegalauanku sedikit mereda.
"Minum, Kandi." Ia mengulurkan sebuah botol besar. Sure thing. Aku bisa dipastikan dehidrasi karena nangis dari malam sampai barusan.
"I won't ask you what's going on." Ia berkata, pelan, "But let me take you for a drive."
Aku mengangguk.
Tantra mengusap rambutku, dan menatap mataku dalam-dalam. Aku sadar kalau selama ini betul-betul lupa pernah jatuh cinta gila-gilaan pada mata cokelat muda miliknya. Tantra, selama 3 tahun belakangan, adalah sebuah trauma, sebuah aib, sebuah kesalahan yang ingin kuperbaiki dengan Gio dan gak mau aku buka-buka lagi.
Ia mengajakku pindah ke depan--dia menyetir dan aku di sampingnya. Memutar musik, tentu saja musik klasik yang aku gak paham.
"Aku selalu pengen kamu dengar ini." Ia berkata, saat intro mengalun dari piano pengiring.
"Why is that?" Aku bertanya, suaraku nyaris habis.
"This is a song about you, Nilakandi."
Aku menggelengkan kepala gak percaya. Kata-kata barusan cukup untuk bikin aku tertawa. Candaan yang lumayan effort, lah.
"No, I mean it." Tantra memberiku ponselnya. Spotify Premium. Lagu milik Tantra Yudha, yang berjudul...Nilakandi. Seriously??
"How?"
Lantunan bunyi cello yang mendayu dari speaker mobil, menggambarkan suasana menyedihkan dan putus asa.
"I love you still, I love you now, and will always do. You know this." Tantra menjawab serius, sebelum menggenggam jemariku dalam tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex Cetera
ChickLitNilakandi adalah seorang perempuan yang merasa hidupnya lengkap. Cantik, cerdas, punya karir menjanjikan dan calon suami yang sempurna, walau agak sedikit terlalu pencemburu. Sebuah kesalahan membuat asisten Kandi mengirimkan undangan pernikahan ke...