Accidental Incident

2.2K 532 149
                                    

Beberapa hari dalam seminggu, aku sebetulnya masih bisa WFH. Gara-gara pandemi kemarin, kantor jadinya kondusif banget, hanya mewajibkan kita minimal 1x seminggu kerja dari kantor.

Hari ini, aku WFH - Work From Hospital. Anak keduanya Mbak Indra, ponakanku Indah, kena DBD. Aku menawarkan diri ikutan jagain di sana. Mbakku belum istirahat, plus anak pertamanya juga lumayan aktif dan sudah sekolah. Pagi-pagi, aku diantar Gio (dan aspri merangkap sopir) ke RS.

"Nanti kamu pulang jam berapa?" Gio bertanya. Matanya sibuk ke Tab, tangannya menulis dengan pen, tapi suaranya ditujukan padaku.

"Aku nginep RS kayaknya." Aku menjawab, dengan kesibukan yang mirip. Bedanya, aku chat ngabarin Rachel.

"Really? Kamarnya bisa nginep? Setauku sekarang jenguk aja gak bisa..."

"Di kamar perawatan anak, bisa. Tapi aku mesti PCR dulu..."

"Oh, Yang. Jangan sampai kamu sakit. Please." Gio menoleh padaku, dengan raut wajah super serius, "We're getting married in less than 2 weeks."

"I won't."

Suatu hari, aku sakit. Nyeri perut parah sampai harus ke RS pakai ambulans dengan sangat lebay...tapi itu prosedur kantor. Nyampe RS, ternyata aku usus buntu, saat itu juga harus langsung operasi. Pas kukabarin di ambulans, Gio sedang di Kalimantan.

Saat siuman, setengah teler, dia sudah muncul di pinggir bed. Kukira aku halusinasi gara-gara anastesi. Tapi Gio berhasil minta (dan sepertinya bayar) untuk nemenin aku di ruangan pasca operasi.

Sebentar. Jangan dulu berpikir kalau ini manis. Semua ini dilakukannya gara-gara...dia gak percaya sama aku. Ya gimana, dalam kondisi radang usus buntu yang sampai sesak napas saking sakitnya, aku gak kepikir balas chat atau angkat telepon. Ngabarin dia pun udah mengerahkan segala kekuatan. Konon aku ngamuk sama dia, yang kemudian bikin hubungan kami sempat break disusul pertengkaran besar setelahnya.

Insecurity tingkat akut ini gak banyak orang tahu. Sebagai orang yang tumbuh dengan banyak ekspektasi, Gio punya kesulitan besar terkait self-acceptance. Menerima kalau hidup kita itu gak selamanya seperti yang kita (atau orang lain) inginkan, jadi sesuatu yang sulit buat dia. Ya gimana, dari kecil dia selalu digadang-gadang jadi ini-itu, diplot untuk melakukan hal-hal besar. Pas gede, baru sadar kalau mengendalikan hidupnya gak segampang ngapalin Harvard Business Handbook. Gio gak pernah belajar mengendalikan rasa takut dan khawatir dengan baik, seringnya malah langsung bergerak untuk mengatasi rasa nggak nyaman, tanpa pemikiran panjang terutama untuk urusan pribadi.

Dia juga sadar dan mengakui kalau kelakuannya itulah yang bikin dia belum nikah sampai tua. Pikir deh, mana ada perempuan yang mau di-stalking sepanjang hari? Gak ada romantis-romantisnya, trust me. Ditanyain lagi di mana, padahal dia pasangin tracker GPS. Beberapa mantan pacar ketahuan selingkuh gara-gara WA-nya disadap. Bersikap sopan dan ramah sama cowok random pun, bisa jadi besok Gio udah tau nomor KTPnya. Segitunya.

Setelah pertengkaran itu, aku akhirnya membuat dia masuk dalam hidupku. Aku kenalin keluargaku meskipun kami saat itu belum serius-serius amat. Aku bawa ke Salatiga, ajakin ke rumah Mbak Indra, paksa dia ikut antar jemput ponakan-ponakanku, ketemu sama semua sahabat dekatku (yang semuanya perempuan untungnya). Baru deh, agak sedikit lebih baik. Agak. Sedikit. Tetap butuh waktu dan banyak mengalah untuk Gio sampai di titik ini.

"Kalau Indah dirawat di rumah aja gak bisa?" Gio bertanya, kedengarannya ringan tapi dia serius.

"Aku gak bakalan ngecengin dokter di sana." Aku menjawab segera.

"Really?"
"I got you. Why would I?"

Gio menutup tab-nya dan tersenyum. Jelas suka dengan jawabanku. Ia mengusap pipiku, "You're the best."

Ex CeteraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang