Back to Where We Are

1.5K 433 84
                                    

"Please get to used to it, Kandi. This is how we're traveling."

Dengan sangat noraknya, aku tiba di Jakarta dalam keadaan mabuk udara. Mungkin karena aku belum sempat makan siang, mungkin karena aku stress, mungkin karena turbulance dan ketakutanku pada ketinggian, mungkin karena rencana setengah gila Gianni yang belum kutahu apa, atau kombo semuanya. Aku muntah di landasan Halim, dengan Reina mengangkat rambutku, Les mengusap-usap punggung, dan Gianni menatapku males dari balik kacamata hitamnya (yang pasti mahal).

"Let's get you something to eat, shall we?" Les bertanya khawatir. Muntahanku emang cuma cairan, karena perutku kosong. Tapi tenggorokanku yang terasa terbakar, membuat makanan apapun kayaknya gak bakalan terasa enak.

"Are you done?" Gianni bertanya, dan aku mengangguk, bangkit dari posisi membungkuk dan mendapati rasa pusing yang tadinya menguasai...agak baikan sedikit.

Ren menghampiri. Dia sengaja lari ke bandara dan balik lagi ke tempatku, untuk bawain gelas kertas berisi air panas. How sweet. Aku memaksa diri minum sebelum mengucapkan terimakasih.

"So...was it fun?" Gianni bertanya pada semua orang. Jam 2 siang di Jakarta, melewati perjalanan naik helikopter dari Salatiga ke Jogja, lalu pesawat kecil ke Halim. It was...fast. Aku baru selesai ngurusin dokumen ke Kantor Desa, KUA dan Dukcapil setempat menjelang makan siang. Dan jam segini kami sudah di ibukota. But no, it wasn't fun at all.

"Best experience ever." Les mengangguk.

"Seru bangeeeeet." Reina mengacungkan jempol. Dua sahabat misqueen ku ternyata gak senorak aku.

"Oke sip, besok kita balik Salatiga pakai pesawat yang sama, Darlings!" Gianni menjawab ceria.

***

Rencana paling gak banget yang pernah kudengar, yang harusnya dilakukan sama anak SMA cupu dan bukannya tiga orang dewasa berumur 35-an.

"We'll make Della jealous." Gianni menjelaskan tema utama kedatangan kami ke Jakarta.

"What's wrong with your family and jealousy?" Aku berkomentar pelan. Kupikir gak bakalan kedengaran, soalnya aku duduk di pojokan belakang van mewah yang kita naiki, dan dia di samping Reina yang menyetir.

Tapi Gianni melirikku, menurunkan kacamata hitamnya sedikit, dan menjawab, "Lo mungkin mikir cemburu itu sesuatu yang negatif. But, jealousy is information, Kandi. It tells the truth."

"What kind of truth?"

"The fear that is only born because of love."

Kami semua terdiam. Kuyakin, semua kaget karena gak nyangka Gianni ternyata sepuitis ini. Dan...somehow dia benar.

Gianni meneruskan idenya. Sore ini, jam 3-an, Della akan main ke salah satu studio di Kemang tempat Reina menitipkan karyanya. Di sana, Della bakalan "gak sengaja" ketemu sama Ren dan Gianni, yang juga lagi liat-liat artwork. "We'll do a little show there, Grizz-Grizz." Gianni menyeringai, "To let her know how it feels to have a real competition."

Okay, this woman is scary!

"Ta...tapi sejujurnya, saya deg-deg'an lho." Ren tergagap. Dia dan Les duduk di kursi tengah.

"Don't get nervous, Sweetie. Kalau perlu, kamu gak usah ngapa-ngapain. Stay quiet and try to contain yourself will be enough." Gianni menjawab, mengulurkan tangan untuk mengusap tangan Ren.

"What will I do?" Aku bertanya, mengacungkan tangan.

"You probably could learn something about how we women could do with our feelings and others." Gianni menjawab.

Ex CeteraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang