Getting Ready

1.3K 431 54
                                    

"Ren!"

Aku ikut lompat saat Gianni mendadak berdiri, melambaikan tangan pada mobil Jeep yang tadinya gak kusadari, masuk ke lapangan. Ternyata beneran, lho. Ren dengan mobil yang sama sangarnya dengan tampilannya, setengah berlari menghampiri.

"Lho? Kenapa kalian berdua di sini?" adalah kata-kata pertama Ren saat melihat kami. Oh iya. Dia datang ke sini untuk Gianni.

"She's marrying my brother, you silly!" Gianni memeluk Ren. Tubuhnya yang buatku selalu tampak tinggi langsing menjulang, mendadak mungil di sebelah Ren, yang terkekeh dan memeluknya erat.

"Oh? Iya betul ya?" Ren tersenyum, menampakkan gigi manis dan ekspresi yang langsung tampak menggemaskan, merangkul Gianni dan memandangku.

Aku masih shock dengan kata-kata Gianni sebelumnya, cuma bisa mengangguk.

"Kalian berdua kerja sama supaya saya gak ke nikahan kamu?" Ren lalu sadar, mengerutkan kening, "Ah. Sekarang saya jadi sedih."

"Kamu memang lagi sedih aja, Grizzly Bear." Gianni mengusap pipi Ren mesra, membuatku agak-agak pengen kabur melihat keduanya begitu akrab.

"Iya." Ren mengangguk.

"KAKAK REN!" Teriakan lain membuatku nyaris lompat lagi, karena sekarang Reina berlari menghampiri kami.

"ADEK REINA!" Ren gak kalah heboh, menggeser Gianni ke kiri dan merangkul Reina di kanan.

Baik. Reuni sama mantanku, lengkap dengan ipar dan sahabatku terlihat super happy di pelukannya. Aneh bener.

"Ren sedih gara-gara Della?" Reina mengacak rambut Ren. Ren mengangguk manja.

Gara-gara hal yang terjadi pada pernikahan sepupunya, Della memutuskan untuk gak mau menikah. Aku gak salty sama pacar barunya mantanku, ya, tapi dari yang kudengar, Della ini kayaknya gampang berubah pikiran, labil, gak tegas... Jelas bukan sosok yang pas untuk Ren.

Selama ini, aku pikir Ren bakalan memilih perempuan kuat yang mandiri, dewasa, tapi di sisi lain juga penuh kasih sayang. Ren dominan, tapi suka dimanja-manja, diatur, disayang-sayang. Nih buktinya, dia curhat di tengah rumah, dengan Gianni, Reina, bahkan Les dan...IBU-BAPAKKU, mendapatkan seluruh perhatian yang dibutuhkannya. Aku nonton sambil meneruskan bungkusin souvenir, dibantu Les yang mendengarkan musik di headphone. Pembicaraan dalam bahasa Indonesia bikin dia merasa tersisih.

"Kayaknya dia lagi ada masalah deh..." Reina menghibur, "Seinget gue, Della tuh tough banget kok."

"Mungkin dia trauma kali, Ren. From what I heard, she's not that bad." Gianni menambahkan, "Dia tuh udah jujur lho, bilang kalau kayaknya gak tertarik lagi untuk menikah. You gotta appreciate that. Yang penting, dia gak bilang gak mau komitmen sama kamu, kan? Dia gak bilang kalau dia gak sayang kamu kan?"

"Ya, saya gak mau dong, masa cuma pacaran seumur hidup gak nikah, Gian. Saya kan juga pengen punya anak-anak, punya istri, punya rumah dan keluarga." Ren menjawab, mengundang ooh-aah dari semua orang.

"Saya mau datang ah kawinan kamu. Mau ketemu calon-calon potensial." Ia berkata padaku, membuatku memutar tubuh dan menggelengkan kepala dramatis.

"Or! We can get you back together with her." Gianni menepukkan tangan semangat.

"Buat apa kalau dianya juga gak mau sama saya?"

"Oh, dia mau. Dia mau banget, percaya deh." Gianni menambahkan yakin. Reina bisa baca tarot dan itu menurutku udah agak creepy, tapi Gianni lebih nyeremin. Udah macam dukun, seakan bisa membaca pikiran orang lain.

"How?" Reina mengerutkan kening.

"Besok aja. Malam ini kita semua istirahat." Gianni memberi instruksi, "Biar bisa berpikir jernih, bisa punya ide bagus, dan jalanin rencana tanpa kesalahan."

...that's Gio's sister, for sure.

"And you will answer my questions tomorrow, Kandi." Gianni menambahkan, menunjukku dengan jari telunjuknya yang di manicure cantik.

Erm...

***

Sisa malam itu kulalui dengan gelisah. Kenapa ya aku jadi resah sendiri memikirkan kata-kata Gianni? Aku gak pernah segalau ini sepanjang hubunganku dengan Gio sebelumnya. Dia suka jealous dan aku merasa terganggu, ribut soal jadwal, sering berantem kecil karena sama-sama capek dan baper... Tapi aku gak pernah mempertanyakan diri sendiri soal perasaanku pada Gio.

Gio, sejak kemunculan pertamanya sebagai sosok yang kukagumi, klien yang demanding, lalu perlahan menjadi bagian dalam keseharianku, gak pernah bikin aku head-over-heels. Aku baru sadar, kalau aku tuh gak pernah merasa memiliki dia, gak pernah takut kehilangan Gio.

...kalau dia mau pergi, ya pergi aja. I'll be fine.
Mungkin aku kangen dia, tapi sebentar. Lalu aku move on. Dan single aja terus.

Juga dengan pernikahan ini. Aku gak punya emosi berlebih saat mempersiapkan semuanya, aku bahkan gak terlalu peduli. Yang penting nikah aja deh. Yang penting Gio happy. Yang penting sah.

Jadi kenapa aku kebat-kebit mendengar Gianni bilang kalau Gio akan selalu punya perasaan untuk Melinda? Kenapa sekarang aku merasa sangat tertekan dengan pernikahanku yang akan berlangsung beberapa hari lagi? Kenapa aku khawatir semuanya batal? Kenapa baru sekarang aku takut kehilangan dia?

Aku melihat-lihat Gallery ponselku. Mengamati banyak foto Gio, yang seringnya kuambil diam-diam. Aku jarang banget punya foto berdua dia, selain memang gak minat dan gak pengen kasih-kasih lihat orang, seringnya dia kelihatan overly ganteng walau kami cuma duduk-duduk pakai baju rumah. Sementara aku...ya gitu deh.

Salah satu dari sedikit foto kami berdua, dikirimkan dari Gio via whatsapp. Kami duduk bersisian di dalam mobil, dengan rambut basah dan senyum lebar. Dalam perjalanan random Jakarta-Bandung lewat Puncak, Gio mendadak pengen berhenti dan jalan ke kebun teh. Dia merasa mendapat ilham untuk bikin camping ground, katanya. Aku ikutan jalan...dan di tengah-tengah kebun, mendadak hujan deras turun, membuat kami basah kuyup berlarian sambil tertawa ke mobil. It was fun. We ended up making out in the car...to get ourself warm.

He made me happy.
But somehow, I never realized it.

***

"We need to go to Jakarta."

Adalah kata-kata pertama Gianni saat aku duduk di meja untuk sarapan. Semua orang kayaknya sudah selesai makan, aku telat bangun, gara-gara overthinking semalaman. Reina terlihat rapi dengan rambut terkepang, Ren dan Les kelihatan sudah mandi, dan Gianni...well, Gianni sih, mungkin bangun tidurnya aja udah cakep paripurna.

"Hah?" Mataku yang masih rapat mendadak terbuka lebar. Gimana maksudnya?

"Let's go to Jakarta!" Les girang penuh semangat. Yah, dia mah emang suka jalan-jalan, "Nonton Ondel-ondel please."

"Gue mesti ngurusin dokumen dan KUA ke Kantor Desa, Gianni." Aku mengingatkan, "Walaupun kita berangkat ke Jakarta, setelah gue beresin urusan di sini, pasti kita kesorean. Gak mungkin bisa PP..."

"Kalau lo urus perintilan KUA itu sekarang, balik sebelum makan siang, kita bisa berangkat secepatnya ke Jakarta, dan kembali kesini besok pagi?" Gianni memotong.

Aku gak bisa menahan tawa heran, "Lo pikir gue Transformer?"

"Transporter." Ren meralat. Laiya. Transformer mah robot ye.

"We're doing it my way. Lo cuma perlu ikut doang kok." Gianni menambahkan, "Mandi gih sana."

"Gian punya ide brilian yang absurd tapi entah kenapa cukup meyakinkan untuk bantuin saya." Ren mengacungkan jempol.

Sebentar. Ini rencana yang mereka sepakati tanpa aku, jadi... "Kenapa gue mesti ikutan?"

"In case you forget... We're doing it for you, Witch. Now, go get your ass ready." Di luar dugaan, malah Reina yang menjawab. Lalu dia high-five sama Gianni.

Hmmmmmm...

Ex CeteraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang