Reina masuk ke apartemenku dengan kuncinya sendiri. Dia datang jam 8 malam, dengan ransel kulit, boots tua favoritnya sejak masa kuliah, dress bertumpuk dan cardigans dekil. Rambut pink dijepit asal, dengan tindikan di telinga...dan bibir bawah. Kayak teman sekostan, udah gak ada lagi segan-segan permisi sama sekali dia mah. Padahal dia nyetir dari Bandung.
"Witch." Sapaku dari meja makan, masih riset soal mantan-mantanku.
"Hei, Witch." Ia mencuci tangan dan mencium pipiku sebelum duduk dengan semena-mena di pangkuanku. Kelakuan emang. Lupa kalau dia tuh perempuan bongsor separo Belanda yang tingginya 180 cm dan beratnya 70 kg.
"Lebih berat gue apa masalah lo sekarang?" Ia bertanya sambil tersenyum lebar, saat aku berseru kaget.
"I fucked up, Rei." Aku memeluknya.
"I know.""Gio will kill me if he knows."
"He would.""What do I do?"
"You did right. You called me. Kita voodoo aja semua lelaki itu malam ini, minggu depan bakalan banyak pemakaman."Aku mengeplak paha Reina yang ngakak menggelegar.
***
Reina dan aku adalah sahabat yang sangat berbeda satu sama lain. Aku kaku, gugupan, agak pendiam dan rasional sampai kadang terlalu pesimis... Reina, well, she's Reina. Ceria, supel, meriah, suka-suka, happy go lucky yang percaya ilmu nujum dan pseudoscience. Kalau Luna Lovegood jadi anak paling gaul di Hogwarts...ya persis Reina ini lah.
Dulu, aku yang muda dan suka dengki berpikir kalau Reina can get away being a weird girl karena dia cantik. Di negara yang masih mental penjajahan, Reina yang berkulit putih, berhidung mancung dengan mata biru kehijauan dan tubuh tinggi semampai terlihat kayak supermodel di mana-mana. Tapi perlahan aku sadar, semua orang suka dia, karena dia BAIK HATI. Banget. Dia mau repot, suka bantuin, tulus, menghibur, walaupun kadang agak ngaco tapi maksudnya selalu baik.
Akulah yang beruntung menjadi orang yang dia masukkan dalam inner circle-nya, yang kayaknya isinya cuma aku. Dia juga punya dan pernah ada di kondisi suram kayak manusia normal lain, tapi cuma aku yang diizinkan melihat dan membantu.
Gio, dengan anehnya, get along sama Reina. Tadinya aku udah ngeri aja keduanya gak bakalan cocok. Tapi Gio mengerti keunikan dan istimewanya Reina. Ia bahkan jadi investor utama cafe-nya Reina di Bandung, hanya beberapa minggu setelah ketemu... Jadi keduanya sekarang punya hubungan bisnis juga, selain kenal lewat aku.
"Ini rencananya lo mau hubungin satu-satu gitu? Kalau mereka cuma mau iseng klik YES doang gimana? Rugi banget nanti lo keep in touch."
"Lo tau kan undangan gue udah termasuk flight ama hotel? Kalau mereka BENERAN datang gimana?"
"Witch, you're marrying Gio. Don't be ashamed. Kalau lo kawinnya ama RW, baru lo malu. Mantan lo tau diri pasti, gak bakalan berani aneh-aneh. Plus, ini kan kayak kawinan yang pasti lo pengen dateng biar eksis..."
"Lo tau Gio, imajinatif. Dia sama abang parkir yang gue gak sengaja kepegang tangannya aja jealous. Ini mantan pacar."
"Dia harusnya paham dong, lo bisa jago sepik-sepik iblis dan sesabar ini ama dia, karena mantan-mantan lo brengsek needy semuaaaa hahahahahaha." Reina kembali berkomentar, sebelum menambahkan, "Kecuali Ren ya. He's sweet. I still don't know why you two broke up."
Aku menghembuskan napas keras-keras.
Reina, of all people, penting buatku melihat kenyataan, despite cara pikirnya yang kadang gak realistis. Kalau dalam kerjaan, kita mesti dapat semua data dulu sebelum bisa analisis dan bikin rencana yang bagus. Kalau dalam hidup, aku harus punya pendapat Reina dulu sebelum membuat keputusan penting dalam hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex Cetera
Literatura KobiecaNilakandi adalah seorang perempuan yang merasa hidupnya lengkap. Cantik, cerdas, punya karir menjanjikan dan calon suami yang sempurna, walau agak sedikit terlalu pencemburu. Sebuah kesalahan membuat asisten Kandi mengirimkan undangan pernikahan ke...