RW // Reina - The Enigma

1.5K 472 74
                                    

"Maksud lo?" Aku gak bisa menahan diri bertanya, tersinggung seketika. Kata-kata yang barusan muncul dari mulut RW sangat...absurd terdengar.

"Coba tanya langsung sama Reina-nya sendiri dong. Gimana cerita dan penyebab sebenarnya dari kepergian pacar lo satu-satunya itu, hmm?" RW mengedikkan kepalanya pada Reina, membuatku menoleh, dan mendapati ekspresi Reina yang...

Entah kenapa terlihat seperti menyepakati pernyataan RW.

"Kenapa, Rei?" Tanpa bisa kutahan, rasa dingin menyergap perlahan ke tubuhku, membuatku jantungku mendadak berdebar keras. Apalagi, Reina tak bereaksi lebih lanjut, hanya memandang RW dengan tatapan yang kalau bisa membunuh, sudah menghabisi RW dengan sadis.

"Jadi lo gak pernah ngaku sama Kandi selama ini?" RW melanjutkan, membuatku makin bingung, "Lo gak pernah cerita? Ck, ck, ck. Katanya sahabatan, soulmate, BFF..."

Mendadak Reina berdiri, membuatku dan RW terlonjak dari kursi kami masing-masing. Gerakan yang begitu cepat dan mengejutkan.

"Ayo pergi, Kandi. Kita cari jalan lain untuk bikin bajingan ini gak datang ke nikahan lo. Gue udah tau ketemu si keparat ini memang gak pantas untuk kita temui sama sekali." Reina berkata akhirnya, setelah beberapa detik yang menegangkan. Aku melirik RW yang juga gak bisa menyembunyikan kepanikannya. Wajar banget kalau dia mikir bakalan dilempar mangkok terdekat. Pernah soalnya. Mungkin sering, mengingat tabiat kurang ajar mendarah dagingnya RW.

Tentu saja aku segera ikut bangkit, meraih tasku dan menerima uluran tangan Reina, membawaku pergi dari sana.

***

Dua hal yang jarang sekali kutanyakan pada Reina, meskipun kami membahas nyaris segalanya dalam hidup, adalah Mamanya Reina dan Dama.

Soal Mamanya... Setelah lulus SD, Reina dan aku berpisah SMP. Dia masuk ke sekolah swasta paling bonafid di kota kami, sementara aku masuk SMP Negeri. Saat masih SD, kami berdua sudah dekat walaupun berbeda-sama-sama suka nonton film Disney-Non-Princess, terobsesi pada Segitiga Bermuda, dan main Sims City edisi pertama. Tapi, saat SMP, Reina menghilang cukup lama. Ketika ketemu lagi di masa SMA, dia berubah menjadi sosok baru. Masih unik, semakin cantik, tapi sedikit...dark dibandingkan dulu. Kedua orangtuanya berpisah, dan Mamanya membuat Reina sangat terluka. Kami gak lagi main ke rumahnya sama sekali, dan Reina sudah bisa dijadikan anak ketiga ayah-ibuku, dia bahkan pakai kamarnya Mbak Indra yang kuliah di Jogja selama masa SMA kami.

Sepanjang masa itu, aku gak pernah sekalipun mendengar soal Mama Reina, dan keluargaku dengan sangat pengertian juga memutuskan tak pernah bertanya. Reina gak kekurangan sama sekali, jangan salah. Ia ke sekolah bawa mobil terkece pada masanya, Peugeot 206. Ia pakai N-Gage dan Communicator. Uang sakunya selalu berlebih, aku nyaris gak pernah bayar jajanku sendiri. Tapi semua acara dan urusan sekolah yang ada hubungan dengan orangtua, selalu ayah-ibuku yang mendampinginya.

Reina punya satu adik lelaki, yang ikut pindah sama papanya ke Jakarta. Mamanya, entahlah. Sampai sekarang aku juga masih gak pernah tanya. Pikirku, kalau nanti Reina mau, dia pasti akan bilang. Si keras kepala sok misterius itu sama sekali gak buka suara, sampai umur kami sama-sama sudah 35 tahun dan lebih cocok jadi tante-tante.

Lalu, soal Dama.

Kalau aku nyangkut sama si lelaki toksik of the decade, RW... Reina cukup beruntung dalam percintaannya di masa kuliah. Walaupun kami berdua sama-sama kuliah di Bandung, dan basically hidup gak jauh dari keluarga, Reina nge-kost tentu saja. Dia tinggal di sebuah rumah Belanda yang dikontraknya bersama mahasiswa-mahasiswi jurusan Seni Rupa yang artsy, keren dan super trendy. Tiap minggu selalu ada kesibukan di sana, nonton film indie dan membahasnya bersama, jam session ramean, ngelukis bareng, BBQ... Seru banget, kan? Nah, Dama adalah salah satu teman kost-nya ini, seorang senior tingkat akhir yang... Haduh. Mau bilang ganteng aja rasanya gak cukup. Taehyung BTS + Jared Leto lah, pokoknya.

Dia...perfect untuk Reina. Jurusan Seni Murni - Patung, sama-sama blasteran dengan kulit terang dan tubuh menjulang, dan kecintaan pada seni. Sama-sama menarik, sama-sama unik, keduanya segera jadi pasangan dalam waktu singkat. Tapi aku hanya beberapa kali ketemu Dama, karena keburu pacaran sama si RW dan dikekang pula, gak boleh lagi berhubungan dengan mereka.

Selama 8 bulan hubunganku dengan RW, aku gak terlalu kenal sama Dama, walau ceritanya Reina selalu seru dan membuatku iri. Sementara aku dan RW ribut tiap Sabtu, mereka bersenang-senang dan menghabiskan waktu muda: berdua tiba-tiba naik motor sampai Jogja, bikin film yang dipublish di Youtube, ikutan kompetisi mural bareng, bikin event layar tancep di lapangan kampus...sangat produktif, menggembirakan, positif. Beda banget dengan hubungan yang kujalani.

Sayangnya, hal ini tak bertahan selamanya. Di akhir masa pacaranku, tiba-tiba kudengar Dama meninggal. Saat itu, aku baru saja mengetahui kalau RW ternyata PDKT pada banyak junior di kampusnya, sedang sedih dan galau.

Orang baik pergi lebih dulu. Tapi kenapa yang bajingan macam RW gak mati-mati ya?

Aku datang ke pemakaman Dama, dengan satu tujuan: Reina. Saat mendengar berita itu, yang kupikirkan hanya Reina. Selama berbulan-bulan aku gak ada untuknya, dan kini ia harus kehilangan kekasihnya. Kejadian ini membuatku menyadari orang-orang yang penting untukku. Aku gak peduli sama RW yang memaki-makiku di parkiran, aku gak peduli dia bilang mau bilang ke dosenku kalau semua tugasku adalah hasil kerjanya, aku gak peduli dia sibuk PDKT sama cewek-cewek lain sementara aku sedih sendirian dibilang bodoh di kamarku.

Kematian Dama menghidupkan persahabatanku dan Reina kembali.

Aku akan selalu ingat melihat Reina duduk di depan jenazah Dama yang sudah diawetkan di dalam peti terbuka-masih terlihat tampan dan tersenyum abadi. Reina lah yang justru terlihat lebih tak bernyawa dibandingkan mayat kekasihnya. Saat aku datang, ia menoleh tanpa suara dengan air mata mengalir deras, dan untuk pertama kali sejak pertengkaran-pertengkaran soal RW, kami bergenggaman tangan. Aku berjanji gak akan pernah melepaskannya lagi. Sampai sekarang. Keakraban kami berdua, pernah jadi candaan ayah-ibuku, seperti sahabat kandung.

Aku gak pernah bertanya apapun tentang Dama. Aku hanya menerima Reina dan semua kesedihannya yang...sebetulnya tak pernah benar-benar pergi. Meskipun dia seringkali berkelakuan ekstra norak di depan cowok ganteng, jadi tante-tante thirsty kalau lihat BTS dan ngeceng banyak cowok random... Dia gak pernah lagi punya pacar, dia gak pernah tertarik menjalin hubungan dengan siapapun. Foto Dama masih ada di ponselnya, di meja kerja, bahkan di dalam dompetnya. Dia gak pernah move on. Dan aku gak pernah mempermasalahkannya.

"Are you okay?" Aku mengusap punggung Reina, yang tertutup rambut merah muda. Ia menyetir seperti kesetanan, dan baru memelan saat terhadang macet di Sudirman.

Ia mengangguk, masih dengan ekspresi datar, lalu melirikku, "Maaf kita belum bisa bikin si keparat itu cancel RSVP kamu, Kandi."

"It's fine." Aku lebih memikirkan Reina daripada undanganku saat ini, sejujurnya.

"Dama bunuh diri, Kandi." Kata-kata yang keluar dari mulut Reina membuatku membeku seketika. Reina memandangku dalam-dalam, "RW benar, kamu adalah salah satu penyebabnya."

Ex CeteraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang