Ren dan Della keluar gak lama, tapi saat kembali, mereka terpisah. Della langsung menuju Reina, dan Ren kembali ke Gianni, membuatku dan Les bertukar pandang dengan waswas.
Sepertinya, Della kekeuh membeli lukisan yang (ceritanya) sudah dibeli sama Gianni, dan setelah perdebatan singkat, ia lantas pergi. Hanya dadah-dadah sama Reina, bahkan gak menengok sedikitpun pada Ren yang...dari atas aja kelihatan banget sudah desperate.
Setelah yakin Della pergi, aku dan Les nyaris lompat dari mezzanine saking penasarannya. Ren terlihat shock dan terpukul, sementara Reina bingung, tapi Gianni masih senyum-senyum penuh keyakinan.
"Gimana, guys?" Aku bertanya gak tahan, lalu baru ngeh aku mirip banget sama anak-anak Tiktok jaman now. Heuh.
"Sepertinya, semua sudah berakhir. Dia udah gak mau lagi sama saya." Ren menjawab, menggelengkan kepalanya hopeless. Mukanya yang serem...makin serem karena dia kalau sedih dan merengut, justru horor.
"It's not. Trust me. I'm a woman." Gianni menepuk punggung Ren ringan. Les merangkul Ren dengan prihatin.
"How could you be sure?" Reina mengerutkan kening.
"How much did she pay you?" Gianni bertanya, membuat Reina mengecek m-bankingnya, dan bersiul kaget.
"Gila. Ini hampir 3x harga yang kita bilang barusan!" Reina memekik dan merangkulku, "Gue kaya!! Lo mau gue traktir Padang Medan Merdeka gak?!"
"That's what I meant." Gianni memutar tubuhnya dan keluar dari studio. Kami berempat saling memandang, gak ngerti. Lalu buru-buru mengikuti Gianni. Gimana pun, dia tebengan utama kami balik ke Salatiga.
***
Menurut Gianni, waktu untuk Della menghubungi Ren adalah sampai besok pagi. Kalau gak ada kabar, berarti rencana gagal.
"If plan A fails, we still have another 22 other plans, Ren. So, no worries. We'll make her back." Gianni menghibur.
Ren manyun sepanjang sore. Kami mengikuti keinginan random Les untuk...pergi ke Monas. Dan, ternyata gak ada satupun kami yang pernah main ke Monas sebelumnya. Bzzz. Buat apa juga kan ya? Rasanya kayak...ngapain gitu mainan ke lapangan Monas? Tapi ternyata lumayan seru dan menghibur. Excitement turis Prancis ini menular pada kami, termasuk Gianni yang akhirnya mau diajakin foto ala-ala. Setelahnya, kami jalan ke kota tua, menuju Cafe Batavia untuk makan malam.
"Lo kok pucat sih, Kandi?" Reina bertanya, saat aku selesai magriban dan duduk di sampingnya.
"Masa?"
Aku memang gak enak badan sejak adegan heroik ala Mission Impossible tadi siang. Kebiasaanku, kalau mabuk darat (laut dan udara--ala jingle obat anti mabuk), pasti gak bakalan membaik sampai besok paginya.
Menurut Ibu, dari jaman kecil pun aku agak-agak sensitif pada guncangan. Konon aku muntah bahkan saat diayun-ayun di buaian.
"Iya lho..." Reina menempelkan tangan ke keningku, "Ih, lo dingin banget! Keringat dingin, kali ya? Lo masuk angin?"
"Mungkin." Aku mengangkat bahu.
"Mati gue kalau Gio tau lo gue bawa pergi-pergi terus sakit!" Gianni terlihat panik untuk pertama kalinya, "Lo udah makan? Lo perlu obat apa? Lo pengen makanan apa?"
Waduh. Iya juga. Aku...tadi siang gak sempat makan, dan pas ditawarin kerak telor Les barusan juga menolak. Ya gimana, aku gak pengen makan, mendadak ikutan tegang kan.
Dengan penuh kesadaran, aku mengisi perut dengan lontong sayur. Gila. Besok lusa mau kawin nih, jangan sakit.
"Mumpung di Jakarta, tell me more about RW." Gianni mengusulkan, "Sekalian kita beresin urusan sama dia."
Hmmm. RW is, pure jerk. Jadinya gak bisa kita bikin rencana sophisticated-sophisticated amat buat dia. Tapi aku gak tau apa dan gimana. Dia bukan macam Ren--kenal sama semua orang sekitarku yang siap bantu. RW berada di lingkungan yang sangat berbeda. Yang aku juga gak pengen dekat deh.
"That way... We can do a little blackmailing." Gianni mengangguk setelah mendengar semua cerita tentang pertemuanku dan RW terakhir.
"Jeez, woman, you're scary." Les si bocor, tentu mengungkapkan pikiran kami semua.
"I prefer 'genius', handsome." Gianni menjawab, tersenyum cantik, "But to have plan, we need good research."
"We have the best here." Reina menyikutku. Oh. Aku maksudnya?
"Lo bisa cari alamat dia? Minimal tempat dia nongkrong, tipe perempuan yang mungkin suka sama dia, kerjaannya apa aja?"
"Yaaa... Aku gak tau karena aku gak mau tau. Tapi kalau perlu, tentu aku bisa cari di tempat yang paling pas."
***
"Dia adalah representasi dari lelaki yang harus dihindari semua perempuan. Go ahead and destroy him."
Mbak Nana, Pemred-ku, ternyata masih di kantor, saat aku minta izin untuk pakai ruanganku buat riset soal RW. Sambil bawa pasukan pula.
Selama beberapa jam, aku dibantu Gianni mencari informasi sebanyak-banyaknya soal RW. Hasilnya gak mengejutkan.
RW adalah dualitas yang sangat berbeda. Dari berbagai berita, laman FB, artikel, hasil penelitian, bahkan jejak digital sesederhana twit, komen, google maps dan reviews, aku dan Gianni memetakan sosok lelaki menyebalkan satu ini.
Salah satu kelakuannya yang nggilani nih: komentarin postingan artis dan berdalih, "Hanya mengingatkan..." --entah cari panggung doang atau beneran julid. Tapi like dan komen di twit artis bokep yang mau bikin video orgy live. Atau, kasih komentar berupa wawancara terkait kinerja pemerintah. Tapi di sisi lain, jadi salah satu anggota dewan yang ngotot pengen gedungnya punya sauna. Antagonis banget sumpah.
"Kelemahan dia banyak dan obvious banget: cewek, duit, power, gengsi. What's wrong with this guy?" Gianni mengamati hasil pencarian kami dengan ekspresi gak percaya, "Dia tuh jenius lho, I mean academically. Apa dia pura-pura bego kayak politikus pada umumnya?"
"Politikus mah pura-puranya pinter, Gianni. Pada gak sadar aslinya gak tau apa-apa." Aku menjawab berdasarkan pengalaman pribadi.
"Oh. I never thought their stupidity was real."
Bhaiq. Tasya Farasya gak tahu ada harga rumah dibawah 1 M, dan Gianni Nirwakarsa gak tahu kalau banyak politikus beneran cuma sotoy dan bukan akting. Betapa berbedanya dunia kami.
"Dia tuh sekarang di Komisi 1, dan salah satu urusannya adalah KPI--Komisi Penyiaran Indonesia. RW termasuk yang sangat vokal untuk meminta KPI mengawasi konten TV yang dianggap gak sesuai dengan nilai kesusilaan..." Aku melanjutkan, melihat data terbaru di layarku, "Tapi entah kenapa aku ngerasa dia hobi banget mantengin Open BO di twitter."
Maafkan Tuhan, kalau aku suudzon dengan komentar jahat dan praduga. Aku hanya manusia.
"Open BO?" Gianni mengernyitkan kening lagi. Reina yang setengah tiduran di kursiku menjelaskan, membuat Gianni menjentikkan tangan semangat.
"That's good!"
"Nothing's good about Open BO." Aku memandangnya shock. I don't judge, but it's not a good way to live.
"Maksudnya untuk bikin si RW gak datang ke nikahan...dan hopefully gak bakalan muncul lagi di hidup kita! Hear me out..."
Idenya Gianni, lebih parah daripada sekedar bikin orang cemburu ala anak SMA. Enggak banget. Sangat sinetron azab nan lebay, aku gak bakalan kaget semisal ujug-ujug muncul petir menyambar mendadak di tengah ruangan, tau gak.
Herannya, semua orang lain sepakat kalau rencana menjebak RW ini...brilian. Mungkin aku aja kurang nonton film action kali. Tontonanku dan Gio, mostly film horor, fantasy, dan banyak thriller-nya. Itupun seringnya gak beres, sibuk ngapa-ngapain berdua atau bosan dan ujung-ujungnya lapar.
Ah. Aku kangen banget sama Gio.
Biasanya, seperti minum obat dan ibadah, sehari minimal 5x aku mesti nelpon dia untuk memberi banyak kata-kata manis yang meyakinkan. Sesuatu yang seringnya kuanggap membosankan, mendadak jadi hal yang kukangenin sekarang.
Begitu banyak rencana.
Aku berharap rencana pernikahanku adalah satu yang masih bisa berhasil dalam beberapa hari ke depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex Cetera
ChickLitNilakandi adalah seorang perempuan yang merasa hidupnya lengkap. Cantik, cerdas, punya karir menjanjikan dan calon suami yang sempurna, walau agak sedikit terlalu pencemburu. Sebuah kesalahan membuat asisten Kandi mengirimkan undangan pernikahan ke...