Senin nyaris berlalu terlalu cepat. Di malam hari, Les berinisiatif ngajakin kami jalan-jalan ke kebun sambil membawa teropong bintangnya. Aku tadinya malas, dan ingin meneruskan bungkusin souvenir untuk Jumat besok. Tapi Gianni setengah memaksaku ikut, mungkin supaya mereka berdua gak nyasar atau ditanyain warga, dan akhirnya aku setengah menyeret kaki untuk jalan.
Jadi, kami berempat bawa senter, pakai baju hangat yang gak terlalu ngaruh mengurangi dingin yang menusuk, dan boots untuk melindungi kaki dari berbagai hal--genangan air, serangga, ranting tajam...
Sementara Les dan Reina jalan duluan dan ngobrol dalam pembicaraan full English, Gianni dan aku mengikuti.
Beberapa menit terasa awkward, hingga tiba-tiba Gianni berkata pelan, "You come from a very nice family."
Aku meliriknya dengan tatapan gak percaya. "Describe 'nice'."
"Very warm and complete." Gianni mengangkat bahu. Dan aku merasa sedikit iba pada perempuan seumuranku ini. Sedikit aja. Dia masih kelihatan kayak bintang iklan Lux padahal seharian udah perjalanan antar-kota di mobil tua tanpa AC dan diperbudak membungkus souvenir selama berjam-jam.
"I'm grateful."
Satu hal yang kusyukuri dalam hidup adalah keluarga kecilku. Dan Reina, tentu saja. I keep them close enough to share my happiness and far enough to not share my burden.
"That's one quality I don't see in others." Ia menambahkan, "You know, other girls that's been with Gio."
Oh. Oke. Aku gak tau mesti jawab apa, jadi aku lanjut berjalan dalam diam.
Lalu aku jadi ingat Melinda. I know! It's silly, karena Gio kemarin sudah sempat bilang kalau dia sama Melinda sama sekali gak ada apa-apa, tapiiiii... Melinda is too perfect.
"Do you know Melinda?" Aku gak bisa menahan diri.
Gianni tergelak, "I do. I do know her, to know I do not like her."
"They've met. Few days ago." Aku menambahkan, dan tiba-tiba Gianni ketinggalan di belakang. Dia berhenti, dengan ekspresi membingungkan di tengah suasana gelap remang-remang.
"Come again?" Ia bertanya.
"Gio ketemu Melinda gak sengaja di acara awards sesuatu." Aku menjelaskan, agak ragu mau menghampiri Gianni atau diam di tempatku.
"Oh. No. Melinda gak mungkin gak sengaja ketemu Gio." Gianni menggelengkan kepala, "She held grudges, you know. Dialah yang menghindar dari Gio selama bertahun-tahun ini."
Gianni berjalan ke sampingku dengan langkah-langkah kesal yang cepat.
"Gue pikir kebalikannya..."
"Oh, Kandi. Didn't you you know? Gio and Melinda, they just won't stop!"
Kali ini aku yang berhenti melangkah. Kata-kata Gianni seakan menyengatku, membuat dadaku memanas seketika. "Apa? Gimana maksudnya?"
Gianni memutar tubuhnya, "Isn't it obvious? Gio still has feelings for her."
Dia gak repot-repot menghampiri, lanjut jalan menjauh.
***
Saat kami tiba di lapangan tempat Les mau memasang teleskopnya, aku sudah berjalan seperti zombie. Pikiran buruk sudah memenuhi kepalaku, lengkap dengan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban yang makin banyak dan mulai menenggelamkan keyakinan.
Malam cerah, langit terang. Reina dan Les bersemangat mencari berbagai gugusan bintang. Les dulu pernah ikut kelas astronomi, dan Reina tergila-gila astrologi. Sementara itu, Gianni duduk di sampingku, di atas rumput, sambil memandangi keduanya, gak sadar efek dari kata-kata yang dilontarkannya barusan.
"Lo tadi bilang kayak gitu karena mau bikin gue kesal, atau memang itu hal yang sebenarnya?" Aku akhirnya bertanya.
Gianni menoleh padaku, "Gue bilang karena gue tahu. Dan gue rasa lo perlu tahu juga. Marriage is not always rainbows and butterflies, Kandi. Especially with an ex like Melinda."
"What about her?"
"Gini. Lo aja, yang menurut Gio adalah orang yang baik-baik, setia, penurut, penyayang... Ternyata lagi ngapain nih?" Ia bertanya, melirikku dengan senyum sinis. Bikin aku nyesek seketika. "Let's just say, Melinda will do something worse, and Gio usually lets her be."
...sepertinya ini gak sesuai dengan apa yang kutahu tentang Melinda dan Gio sebelumnya.
"Dia masih ada rasa sama Melinda?" Aku mengulang, entah kenapa aku butuh diyakinkan. Mungkin karena Melinda...kelihatan seperti perempuan yang gak bakalan bisa disaingi.
"Kamu gak ada rasa sama semua mantan kamu? Sama Les? Sama Ren?" Gianni mengerutkan kening, "Bahkan sama orang yang menyebalkan itu?"
"Enggak, lah..."
"Bullshit." Gianni menggelengkan kepala, "Ini teori gue. Perasaan itu, apapun bentuknya, ya perasaan. Lo benci, kesal, sayang, cinta sama orang, it takes up spaces in your heart and mind. Lo mungkin gak mikirin, tapi saat orangnya ada, lo akan tahu dia masih ada tempat di dalam diri. Dan kadang-kadang, perasaan ini bisa mendorong lo melakukan hal-hal yang gak lo lakuin sama orang lain.
You prove my theory right dengan memutuskan gak bilang-bilang sama Gio soal salah ngirim undangan. You make these exes special, instead of ngomong jujur sama Gio in the first place.
Gue yang mesti bertanya sama lo sekarang... Do you really love my brother? Are you still in doubt entering this marriage? What's your feelings for him?"
Pertanyaan Gianni membuatku tercekat, mendadak gak bisa napas. She's right somehow. Aku gak pengen mengakui aku salah, karena aku merasa yang kulakukan benar. Tapi... Aku gak bisa langsungmenjawab semua pertanyaan yang ia ajukan, malah mulai berpikir.
"I love him." Aku menjawab, meski sadar nadaku mengambang dalam keraguan, agak sedikit terlalu lambat dari yang kuinginkan.
"Love is never enough in marriage, Kandi." Gianni tertawa kecil, menepuk pundakku. "You need trust, respect and good communication. Yang gue lihat, lo gak punya semuanya.
Lo gak percaya sama Gio. If you trust him that well, you will tell him the truth, and trust that he'll accept you and all your stupid mistakes.
Lo gak bisa berkomunikasi dengan baik, karena ini sebetulnya masalah kecil yang bisa lo selesaikan... Lo akan repot, betul. We all know how he would interrogate you like the CIA. Tapi lo akan repot sama DIA, bukan sama cowok-cowok lain.
Yang terakhir, meskipun lo mungkin mikir kalau ini sesuatu yang lo adalah bentuk respek: gak mau mantan lo datang di hari nikahan lo berdua... What you did is totally the opposite. You don't respect him by not trusting him and not communicating at all."
Kalau tadi aku berasa dipanah dan kena tusuk di dada, sekarang Gianni seakan memojokkan dan memberondongku dengan ratusan peluru. Aku merasakan air mataku menggenang.
"Do you really love Gio, Kandi?" Gianni bertanya lagi, "I know you don't give a fuck about money and other worldly stuff. I know you have good values, good family, good relationships with all people you love. I appreciate you for that. But, do you really love Gio? How much space do you have for him, inside your mind and soul?
Gue ngomong gini, sebagai perempuan ke sesama perempuan. Once we get married, we won't be that same person anymore. And marriage, damn, it's hard. It's challenging everyday. If you don't love the guy you're marrying, you're wasting your precious time, suffering and living a dreadful life."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex Cetera
Chick-LitNilakandi adalah seorang perempuan yang merasa hidupnya lengkap. Cantik, cerdas, punya karir menjanjikan dan calon suami yang sempurna, walau agak sedikit terlalu pencemburu. Sebuah kesalahan membuat asisten Kandi mengirimkan undangan pernikahan ke...