Di sebuah ruangan yang tidak begitu luas, seorang pria duduk termenung di antara rak buku. Ruangan itu adalah sebuah kamar kosong di rumahnya yang sudah lama dia sulap menjadi ruang baca sekaligus ruang menunaikan pekerjaannya.
Bukan hanya sebatas ruang kerja, ruangan yang terletak di samping kamar tidurnya itu menjadi ruangan favorit nya untuk melakukan banyak hal, termasuk jika hatinya sedang tidak baik, ruangan itu bisa memberikan pelukan hangat untuknya.
Ada yang patah tapi bukan ranting. Bukan juga tulang kering. Tapi hati karena harapan yang terbanting.
Harapan yang sudah disusun setinggi mungkin harus runtuh oleh kenyataan di saat seseorang yang diharapkan tak datang untuk menyambut. Bahkan hingga banyak waktu terbuang untuk meratapinya. Maka pelajaran terpentingnya adalah, jangan dulu berharap untuk sesuatu yang belum pasti. Karena menyusun kembali hati yang runtuh itu susahnya setengah mati.
"Saya mohon maaf sekali lagi nggih, Pak Kyai Mukti. Sepertinya rencana kita besanan, tidak dapat diwujudkan. Saya sangat minta maaf."
Satu kalimat yang hingga kini masih jelas terekam di pikirannya. Kalimat pungkasan yang mampu meruntuhkan semua harapan yang dia punya. Pria itu tersenyum kecut untuk meredam hatinya yang tiba-tiba terasa getir. Ironis sekali, di saat kebanyakan wanita menginginkan bersuami seorang pria yang mapan, tapi perempuan itu, lebih memilih pria yang jauh darinya dari segi apapun.
Kini, ruangan itu yang menjadi saksi bisu bahwa dirinya sedang berada dalam kondisi patah hati mendalam. Ia paham bahwa jodoh dan maut itu adalah dua hal yang sudah Allah takdirkan jadi dia tidak akan menyalahkan takdir jika saat ini dia harus menahan rasa sakit karena seorang wanita yang memang bukan takdirnya.
Kalau ada yang bisa disalahkan, dia memilih menyalahkan diri sendiri karena terlalu dalam menaruh harapan pada gadis itu, yang pada kenyataannya, kini dia sudah menjadi istri orang lain.
"Apa kamu masih belum bisa lupa sama putrinya kyai Arkan, le?"
Mata tajamnya terbuka lebih lebar karena mendengar pertanyaan yang diajukan oleh abahnya.Saking khusyuknya merenung, dia sampai tidak sadar Sang Abah masuk mendekatinya.
Lelaki itu tertawa untuk menutupi rasa hatinya yang tiba-tiba kembali nyeri karena membahas seorang gadis yang pernah sangat dia harapkan. Tapi sayangnya, gadis itu lebih memilih orang lain untuk menjadi imamnya.
"Kata pujangga, waktu yang akan menyembuhkan hati yang luka, Bah." jawabnya.
Sang Abah ikut tertawa kemudian menepuk pundak putranya untuk memberi semangat. Sang Abah sudah berulang kali memberi nasehat agar dia cepat mengalihkan patah hatinya ke hal yang lebih bermanfaat.
"Terima saja tawaran yang waktu itu! Siapa tau di sana kamu lebih bisa fokus untuk menyebar ilmu." tutur Sang Abah lagi.
"Masih Hanan pikirkan, Bah! Aceh itu jauh dari Boyolali, kalau Hanan tinggal di sana, Abah sama umi siapa yang menemani?"
Lelaki tua bernama Mukti itu menghela napas pelan ketika mendengar jawaban putranya yang lagi-lagi mengarah ke penolakan. Besar harapannya agar Hanan bisa menerima tawaran pekerjaan di pulau seberang itu. Selain ingin agar jangkauan dakwah anaknya lebih luas lagi, dia juga ingin agar Sang anak segera bisa mendapat pengalihan dari patah hati akibat gagalnya perjodohan.
Mukti mencoba kembali mengarahkan putra keduanya itu. "Abah sama umi banyak temannya. Ada Afnan, mbak mu Nihal juga sering ke sini menengok. Jangan khawatirkan kami! Pikirkan juga dirimu, le!"
Yang awalnya Hanan tetap ingin menolak arahan abahnya, terpaksa hanya bisa dia simpan dalam hati dan menggantinya dengan anggukan kepala. Melihat wajah panutannya yang penuh harap itu membuat hati Hanan melunak. Bagi dia, menyembuhkan hati tidak harus pergi ke mana-mana, cukup dengan menerima dan berdamai dengan takdir. Dia yakin, lambat laun patah hatinya akan sembuh oleh waktu. Tapi ketika dawuh Sang Abah tetap harus seperti itu, maka dia pilih menerimanya, mungkin itu adalah cara yang Allah tunjukkan agar dia bisa segera sembuh dari patah hati.
Dengan diiringi senyuman, Hanan kembali menjawab, "Hanan selesaikan tanggungan di Ngawi dulu ya, Bah. Kalau mahasiswa-mahasiswa yang masih Hanan pegang skripsinya sudah selesai, insyaallah, Hanan terima tawaran dari pakde Nur ke Aceh."
Sejatinya, di Ngawi ataupun di Aceh sama saja, dia sama-sama menjadi dosen. Tapi mungkin jangkauan di Aceh lebih luas lagi, dan benar kata abahnya, dia bisa lebih fokus dalam memanfaatkan ilmu.
Hanan adalah putra seorang kyai yang mengasuh sebuah pondok pesantren dengan puluhan santri. Tidak terlalu besar memang, tapi selain mengasuh pondok, Sang abah dan Umi aktif dalam bimbingan haji dan umroh di kota tempat dia tinggal, bahkan keluarganya juga mempunyai biro perjalanan haji dan umroh yang bisa dibilang besar di kota nya, sehingga keluarga mereka memang cukup dikenal oleh masyarakat.
Dia anak kedua dari tiga bersaudara. Mempunyai kakak perempuan bernama Nihal yang kini sudah menikah dan melahirkan dua anak namun tinggal di kota yang berbeda. Selain itu dia mempunyai adik lelaki yang hanya berselisih dua tahun denganya, bernama Afnan. Sang Adik juga telah menikah. Mungkin hal itu juga yang membuat bebannya bertambah berat ketika perjodohannya gagal. Secara tidak langsung, abah dan uminya sudah memberi kode agar dia cepat menikah, tapi sayangnya perjodohan dengan perempuan bernama Azkia itu tidak dapat dilanjutkan.
07 September 2022
🍀🍀🍀
Terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca kehaluanku berikutnya. 😘
Ini hadiah untuk teman-teman yang selalu setia baca di lapakku dan yang sudah sering DM kasih semangat dan doa. Semoga berkenan dan menjadi penghibur di kala sepi. 😊
Jangan lupa vote dan komen yang banyak ya...😅

KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Takdir
Любовные романыAda yang patah tapi bukan ranting. Bukan juga tulang kering. Tapi hati, karena harapan yang terbanting. Harapan yang sudah disusun setinggi mungkin harus runtuh oleh kenyataan di saat seseorang yang diharapkan tak datang untuk menyambut. Bahkan hing...