Part 3 : Hukuman Laila

1.9K 426 36
                                        


Sebelum saling mengenal, rasanya Hanan tidak pernah berpapasan dengan Laila di lingkungan kampus. Tapi setelah mengenal gadis itu adalah adik Yusuf, hal kebetulan sering terjadi sehingga membuat mereka saling bertegur sapa. Atau mungkin saja, Laila sering menyapanya tapi karena belum kenal, Hanan menganggapnya sapaan biasa seperti mahasiswa yang lain.

Siang ini, dia kembali melihat seorang mahasiswi duduk di pojok masjid dengan bibirnya yang terus merapalkan ayat demi ayat. Pemandangan itu membuat Hanan flashback ke beberapa waktu yang lalu ketika dia juga melihat mahasiswi baru yang duduk di sana, dengan posisi persis yang dilakukan Laila sekarang. Apa mungkin yang dia lihat dulu itu juga Laila?

"Mau sholat, Pak?"

Hanan tersentak karena sapaan Laila yang berada di ujung itu mengangetkannya.

"Mau curhat, La." jawab Hanan berusaha melucu, dan dia sudah bersiap diri jika Laila tak tertawa sedikitpun karena sudah biasa seperti itu, dirinya garing.

Tapi dia salah tebak. Di dekat pintu masuk wanita itu Laila tertawa. "Bapak bisa aja! Lagian saya juga ngapain nanya, ya? Udah tau kalau ke masjid mau sholat. Ya udah, Pak. Monggo dilanjut!"

Hanan mengangguk dengan perasaan yang masih terheran karena ternyata ada juga yang bisa tertawa karena lelucon garingnya.

Seusai sholat, Hanan masih mendapati Laila yang duduk di serambi. Gadis itu tak lagi terlihat merapalkan ayat melainkan memainkan ponselnya untuk hal lain.

Melihat Laila dari belakang membuat perasaannya sedikit terusik. Laila dan Kia hanya saudara ipar, tapi entah kenapa, nampak dari belakang, Gadis itu bisa mengingatkan nya dengan Kia. Cara berpakaiannya, dan gesturnya lebih mengindikasikan kalau Laila adalah adik kandung Kia.

Hanan menggeleng untuk segera mengusir pikirannya itu. Tak pantas rasanya kalah masih terus memikirkan istri orang.

"Ning Kia dan Yusuf apa kabar, La?" Hanan kembali membuka percakapan membuat Laila menoleh pada dosennya yang berjalan santai menuruni tangga masjid.

"Alhamdulillah baik, Pak." jawabnya.

Laila kemudian menaruh semua perhatiannya pada Sang Dosen. Sebenarnya ada sesuatu yang membuatnya penasaran. Sejak menjadi lebih akrab karena pertemuan mereka di kontrakan Kia, Hanan selalu mengawali percakapan dengan menanyakan Kia. Hal itu memancing sisi ingin taunya, tapi ragu untuk mengutarakannya.

"Pak Hanan itu temannya mbak Kia, atau mas Yusuf?" Akhirnya Laila mengutarakannya.

Hanan tersenyum simpul kemudian mendudukkan dirinya di anak tangga yang berselang dua tingkat dengan Laila. "Saya merasa mereka berdua teman saya, entahlah mereka." jawabnya.

Tanpa diduga lagi Laila tertawa. Padahal Hanan sudah tidak berekspektasi lebih, lawan bicaranya akan tertawa dengan gurauannya. Di keluarganya, dia sudah terkenal garing. Mereka malah sering nya bingung dengan lelucon yang Hanan lontarkan. Dan sekarang dia menganggap selera humor Laila terlalu rendah.

"Jawaban Bapak sering diluar dugaan." gumam Laila yang menambah lebar tawa Hanan.

Keduanya tidak kunjung meninggalkan masjid karena Hanan menanyakan banyak hal dan itu tak jauh dari Kia dan Yusuf, membuat beberapa mahasiswa yang hendak masuk menjadi sedikit enggan karena harus melewati dosen yang duduk di tangga.

"Tidak apa-apa, lewat saja!" ucap Hanan entah untuk yang ke berapa kali pada orang yang akan masuk ke masjid.

Menyadari dirinya mengganggu orang-orang yang akan masuk, Laila berdiri untuk pamit ke dosennya itu. "Maaf ya, Pak. Saya duluan."

"Iya, Laila! Terimakasih." jawab Hanan.

Sebelum Laila mencapai anak tangga yang terakhir, Hanan kembali memanggilnya. Lelaki itu langsung menuruni anak tangga agar lebih dekat dengan Laila. "Boleh saya minta nomor teleponnya Yusuf?" tanyanya ragu.

Di Persimpangan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang