Part 25 : Juru Bicara

1.5K 418 68
                                        

Suara motor yang terdengar berhenti di depan rumah membuat Laila dengan cepat meninggalkan tempat tidur. Secepat kilat dia mengintip dari balik jendela. Dan jangan lupakan degup jantungnya yang berdebar kencang disertai napas yang berat.

Debar jantungnya langsung melonggar disertai gumaman syukur yang terdengar dari bibir kecilnya ketika mendapati yang berhenti di depan rumahnya adalah salah satu tetangga karena sedang membenarkan posisi karung beras yang dibawa.

Akibat dari ancaman-ancaman yang sering dia dapat dari DC online itu membuat dirinya selalu diliputi kekhawatiran yang berlebih. Pesan masuk, panggilan masuk, dan motor yang berhenti di depan rumahnya selalu membuat tubuhnya basah oleh keringat karena takut.

"Ngintip siapa, La?"

Suara teguran dari ibunya tidak keras sama sekali, tapi mampu membuat Laila kaget sampai berjingkat.

"Tadi ada yang berhenti di depan rumah, Laila kira siapa ternyata pak Bari berhenti karena beras yang dia bawa mau jatuh."

Bukan jawaban Laila yang menarik perhatian ibunya, melainkan wajah tegang dan berkeringatnya. Laila terlihat begitu panik meskipun berusaha menutupi.

"Kamu kenapa to?" singgung ibunya lagi.

Tubuh Laila merosot begitu saja. Rasa panik dan takut yang berlebihan membuat tubuhnya lemas.

"Eh!" pekik ibunya lalu ikut berjongkok di depan Laila. "Kamu sakit, La?"

Mata Laila terpejam, dia menghela napas sambil beristighfar.  "Laila lemas, Buk. Rasanya takut kalau ada yang datang terus nagih utang."

Dengan perasaan yang ikut sedih, ibuk membawa Laila berdiri dan mengajaknya duduk. Ia memang telah mengetahui masalah apa yang terjadi pada Laila. Lagi-lagi anak keduanya yang membuat ulah tentang utang.

"Kalau sampai ada yang ke sini nagih, Ibuk yang menghadapi." tuturnya mencoba memberi ketenangan pada bungsunya.

Laila tak membalas. Seumur-umur belum pernah dia menghadapi masalah dengan Orang lain terkait utang. Tentu dia butuh ibunya untuk menghadapi. Ancaman-ancaman DC itu sangat berhasil menghancurkan mentalnya. Tiga bulan selama menjalani PPL, dari awal hingga selesai, dia selalu mendapat teror itu, bahkan tidak berhenti sampai sekarang. Dan sudah empat hari ini Laila absen masuk karena sakit.

"Yusuf bilang apa?" tanya ibunya.

"Mas minta Laila sabar dulu sementara dia cari jalan keluar. Apapun yang terjadi, Mas Yusuf melarang Laila membayar utang itu, Buk."

Tentu Laila nurut apa kata Yusuf. Selain tidak punya jalan keluar lain, dia juga tidak punya uang sebanyak itu. Dan hal yang bisa ia lakukan saat ini adalah sabar, meskipun pikiran dan mentalnya diserang habis-habisan.

Tak banyak yang bisa ibunya katakan. Wanita itu mengusap lengan Laila. Kembali teringat almarhum suaminya. Dulu, keluarga mereka pernah bermasalah seperti ini dan dia masih sangat membela sumber masalahnya—Nuri. Tapi sekarang, tak sedikitpun dia membela walaupun anak keduanya itu sudah datang dan memohon-mohon bantuan. Yang bisa dia katakan adalah agar Nuri bisa bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Nuri sendiri juga yang meminta agar tanah peninggalan bapak dijual, sekarang mereka sudah tidak punya apa-apa.

Di tengah lamunan kedua wanita beda usia itu, kembali terdengar suara motor berhenti di depan rumah. Tak dapat Laila sembunyikan jika dadanya kembali bergetar, takut kalau yang datang adalah DC. Namun menit berikutnya, dia kembali lega karena yang datang adalah pasangan sumber masalah.

"Ada apa, Nur?" ibunya langsung bertanya,

Sepasang suami istri yang datang tanpa anak-anak mereka itu langsung mencium tangan ibu bergantian.

Di Persimpangan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang