Seperti biasa, hari-hari yang Laila lalui terasa cepat. Pagi kegiatan di sekolah kemudian dilanjutkan kerja di toko. Bagi dia rasanya dua puluh empat jam itu hanya seperti beberapa menit saja. Di saat akan menarik selimut dan mengistirahatkan tubuh, tau-tau hari sudah berganti pagi.
Namun ada yang berbeda. Jika biasanya dia lalui dengan senang meskipun badan terasa tak berdaya, tapi akhir-akhir ini rasanya dia ingin menyerah. Bukan hanya tubuhnya yang lelah, pikiran dan mentalnya juga ikut lelah karena setiap hari hp nya selalu sibuk dengan telepon dan pesan dari pihak pinjaman online yang terus menerornya. Sehari dua hari mungkin Laila masih bisa menahannya, tapi jika sudah berlangsung selama dua bulan, rasanya jarang yang akan kuat.
Belakangan Laila baru sadar jika namanya dipakai di beberapa aplikasi, total lima belas juta itu berasal dari tiga aplikasi, belum ditambah bunga dan denda yang terus bertambah karena tidak dibayar. Laila selalu mengejar Nuri dan Meri agar menyelesaikan utang yang memakai namanya, tapi jawaban mereka pun membuat emosi Laila memuncak. Dengan entengnya mereka memohon maaf karena sedang bingung juga memikirkan hutang di aplikasi lain.
Belum lagi memikirkan isi ancaman dari berbagai nomor. Ancaman akan menyebarkan data pinjaman Laila ke semua nomor kontak yang ada di hpnya. Tentu Laila sangat memikirkan hal itu. Bukan hanya keluarga dan teman, tapi di dalam hpnya tersimpan berbagai kontak penting seperti dosen, beberapa pegawai daerah karena dulu dia pernah mengurus surat-surat perijinan ketika menjadi panitia acara kampus. Mau ditaruh mana wajah dia jika benar-benar data utang disebar ke semua kontak-kontak itu.
Tidak ada doa setelah sholat yang Laila lalui tanpa menangis. Dia tak tau lagi harus berbuat apa untuk keluar dari masalah ini, pikirannya terlalu buntu karena setiap hari mendapat teror ancaman. Di saat panik saja dia bisa dengan mudah kehilangan konsentrasi, terlebih sekarang, selain panik, mentalnya benar-benar diserang.
"Laila, ada yang nyari kamu di depan."
Buru-buru Laila mengusap air matanya yang kembali mengalir di saat berdoa seusai maghrib. "Iya, Mbak. Maaf ya, Mbak, aku lama sholatnya."
Teman kerjanya hanya tersenyum sekilas. "Lain kali cepat saja, kalau mau lama doa ya di rumah."
Mendengarnya, kembali lagi Laila dihinggapi rasa bersalah. Masalah ini sangat menganggu semua aktivitasnya. Jika di toko ini Ada HRD untuk menilai kinerja karyawan, pasti nilainya sudah sangat turun.
Segera dia melepas mukena, melipatnya lalu meluncur ke depan toko lewat pintu samping karena keadaan toko biasanya ramai sehabis maghrib.
Langkahnya melambat ketika mendapati Yusuf yang duduk di depan menunggunya. Sebelum Laila melanjutkan langkahnya, Yusuf terlebih dulu mengambil langkah panjang untuk menghampiri adiknya.
"Mas, ada apa?" tanya Laila karena sejujurnya dia khawatir melihat wajah tegang kakaknya.
Yusuf menarik adiknya itu ke samping toko, meskipun pelan tapi Laila bisa merasakan aura dinginnya.
"Minta tolong jelaskan, kenapa ada orang menelpon ke nomorku dan bilang kalau kamu haru bayar utang!"
Laila menelan ludah dengan kasar untuk membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba kering. Ternyata ancaman itu benar adanya, datanya akan disebar ke kontak-kontak. Dia teramat stres dan bingung sehingga benar-benar tidak bisa berpikir jernih.
"Kamu punya utang, La?" tanya Yusuf lagi.
Merasa adiknya tak juga memberi jawaban, Yusuf kembali bersuara. "Jadi untuk apa kamu kuliah sambil kerja sampai malam kalau malah punya utang?"
"Mas,"
"La, kamu paham sendiri kalau utang itu masalah besar, apalagi secara online begitu! Seberapa berat kebutuhan kamu sampai harus kerja keras bahkan sampai utang? Kakakmu ini memang bukan orang mampu, tapi daripada kamu main utang begini, mending aku yang kerja lebih keras."

KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Takdir
RomansaAda yang patah tapi bukan ranting. Bukan juga tulang kering. Tapi hati, karena harapan yang terbanting. Harapan yang sudah disusun setinggi mungkin harus runtuh oleh kenyataan di saat seseorang yang diharapkan tak datang untuk menyambut. Bahkan hing...