Part 8 : Nyai Ratu

1.5K 381 31
                                    

"Saya kembalikan uang yang Gus Hanan berikan untuk membantu kakaknya Yusuf."

Hanan termangu ketika Ilyas —kakak lelaki Kia—menyodorkan sejumlah uang yang berada di dalam amplop coklat. Belum sembuh rasa terkejutnya ketika tiba-tiba Ilyas datang ke rumahnya, sekarang ditambah lagi mengembalikan uang yang sebenarnya sudah diikhlaskan. Lebih dari satu kali Hanan bermaksud menolak tapi sebanyak itu pula Ilyas tetap bersikeras agar Hanan menerimanya.

"Kalau Gus Hanan benar-benar menyesal karena telah lancang ikut campur urusan rumah tangga Yusuf dan Kia, maka seharusnya uang ini diterima."

Tak ada yang bisa Hanan ungkapan lagi. Mungkin memang lebih baik dia mengambil uang itu lagi dengan harapan bisa sedikit membantu masalah Yusuf dan Kia.

"Sekali lagi saya minta maaf, ya, Gus Ilyas. Saya sangat tidak bermaksud membuat Yusuf dan Kia bermasalah."

Wajah Ilyas tak sedingin tadi ketika datang. "Tidak ada manusia yang luput dari kesalahan, Gus. Saya juga minta maaf."

Pertemuan tak terencana malam itu berakhir dengan cukup baik meskipun awalnya penuh ketegangan.

Setelah Ilyas pamit, Hanan masih duduk tak tenang di depan rumahnya. Jika ditanya, ingin sekali dia menemui Yusuf atau Kia, meminta maaf secara langsung tapi kemudian teringat apa kata Laila, lebih baik menunggu keadaan tenang.

"Laila," Ia berkata lirih sambil memandang gawainya. Terbesit satu keinginan untuk menghubungi mahasiswa nya itu.

Me:
La, di jam segini, bisa saya telepon?

Sebaris  kalimat yang Hanan kirim ke nomor Laila. Mendadak dirinya ragu dan ingin menarik pesan itu, namun terlambat karena tak sampai dua menit, Laila sudah membalasnya.

Laila Ainun Nissa:
Kalau ada yang penting, monggo, Pak!

Mendapat balasan seperti itu membuat Hanan bangkit dari duduknya. Mondar-mandir gelisah hanya karena mendapat balasan dari seorang mahasiswa. Sebenarnya dia juga tidak mengerti kenapa ingin menghubungi Laila, dan sayangnya jarinya lebih cepat bertindak daripada otaknya.

"Gus, saya mau keluar sebentar. Ada nitip sesuatu?"

"Iya, Wan."

Arwan berhenti dengan alis yang bertaut, mengamati gusnya yang mondar-mandir tak jelas ditambah jawaban yang sama sekali tidak nyambung.

"Gus!" panggil Arwan lagi yang akhirnya membuat Hanan berhenti lalu menatapnya.

"Saya mau pamit keluar sebentar, Gus Hanan ada butuh sesuatu?" Arwan mengulang pertanyaannya.

"Oh, enggak. Hati-hati!" jawab Hanan kemudian masuk, menyisakan Arwan yang masih bingung dengan sikap aneh gusnya.

Bunyi motor Arwan terdengar semakin menjauh, membuat Hanan lebih leluasa untuk menghubungi Laila. Sebelum menekan tombol panggilan, Hanan tersenyum geli sendiri menyadari sikap anehnya.

"Kenapa harus nunggu Arwan pergi hanya untuk menghubungi Laila?"

Dan lagi, jarinya lebih cepat bekerja daripada otak. Seperti kejadian di bawah alam sadar, jempol Hanan dengan sendirinya menekan tombol itu dan tidak sampai dering ke tiga sudah ada jawaban dari seberang.

"Assalamualaikum, Pak!"

Hanan menahan napasnya, mendadak kehilangan konsentrasi lalu segera menenangkan diri dan menjawab salam dari Laila.

Di Persimpangan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang