"Yang terakhir, saya ingin haturkan Sebuah pesan yang bisa kita ambil dari kebiasaan menyambut kelahiran dan kematian sebagai penutup. Datangnya kelahiran biasanya disambut dengan tawa walaupun bayi mungilnya menangis. Bahkan ketika bayinya tidak menangis, malah menjadi kekhawatiran tersendiri. Semakin bayinya nangis kenceng, semakin bahagia pula orang-orang sekelilingnya. Tangis yang disambut bahagia.. Itulah sebuah kelahiran."
"Pesannya apa? Pesannya adalah, jangan sampai kebiasaan saat menyambut kelahiran itu juga berlaku saat ada kematian. Berdoa dan berusaha, di saat kita meninggal, semoga yang terjadi adalah kebalikannya. Orang-orang sekeliling yang masih hidup menangisi kepergiannya sedangkan Si Mayit tertawa bahagia di alam kuburnya. Jangan sampai orang-orang yang masih hidup tertawa bahagia sedangkan Si Mayit menangis, meraung sedih menghadapi gelap alam kuburnya."
"Mari, tinggalkan sesuatu yang baik! Kita memang hidup hanya sekali, hanya mampir sebentar di dunia ini, maka dari itu, gunakan kesempatan sebaik-baiknya!"
Hampir seluruh tamu yang memenuhi halaman rumah Yusuf dan Kia itu mengangguk karena setelah kurang lebih satu jam mendengar tausiyah perihal hak dan kewajiban orang tua terhadap anak, di akhir mendapat sebuah pesan penutup yang dirasa begitu mendalam dari mertua Yusuf, alias ayah dari Kia.
Malam ini sedang berlangsung acara yang cukup terasa hikmah. Yusuf dan Kia mengadakan acara aqiqah anak pertama mereka sebagai wujud rasa syukur karena kurang lebih tiga minggu yang lalu Kia berhasil melewati masa-masa sulit dan akhirnya melahirkan anak mereka dengan selamat.
Sejak dua hari yang lalu juga, Laila bergerak seperti gangsingan, kesana kemari membantu kakak-kakak tersayangnya agar acara berjalan lancar. Apalagi keluarga besar Kia dari Semarang banyak yang datang, tentu dia harus menyiapkan penyambutan yang besar.
Di saat Pak Kyai Arkan yang tak lain adalah ayahnya Kia menutup tausiyahnya, Laila segera melaksanakan tugas terakhirnya sebagai Wakil ketua Event Organizer jadi-jadian, yaitu memastikan semua tamu undangan pulang dengan membawa souvenir yang sudah disiapkan.
"Udah semua kan, La?" tanya Ketua utama EO malam ini.
"Semoga udah sih, Mas. Biasanya kalau ada yang belum pasti pada minta sendiri." jawab Laila sambil meringis.
"Iya juga sih, kayak itu kan?" Rian membalas sambil memberi kode ke beberapa orang yang terlihat masih belum meninggalkan kursi tamu.
"Eh! Dosa lho, Mas, ngatain orang!" protes Laila yang langsung mendapat jitakan dari Rian, karena biasanya gadis ini juga tak lepas dari membicarakan kelakuan beberapa orang itu.
Dua anak ini yang berperan besar dalam jalannya acara. Mereka yang banyak membantu Yusuf dan Kia mengatur semua kebutuhan agar acara berjalan selesai.
Setelah acara selesai, para tetangga masih banyak yang sibuk beres-beres. Keluarga besar Kia juga masih belum meninggalkan tempat. Mereka berasal dari keluarga pondok yang cukup besar, tapi tidak enggan untuk tetap duduk di sana, membaur dengan saudara dan tetangga Yusuf.
Melihat Yusuf dan Kia yang juga bergabung dengan keluarga mereka, Laila jadi kepikiran keponakan barunya. Langsung saja dia menuju kamar, kangen dengan bayi mungil sekaligus ingin meluruskan punggung setelah seharian ini benar-benar tak istirahat.
Niat Laila yang ingin menemani tidur Si Bayi, kalah cepat dengan bapaknya karena saat ini Sang Bapak sudah tidur memeluk kaki cucu barunya dengan posesif.
Senyum simpul tercetak di wajah Laila melihat pemandangan yang akhir-akhir ini sering terlihat. Sejak bayi Yusuf dan Kia lahir, bapaknya seperti tak pernah ingin pisah darinya. Bahkan lebih sering menghabiskan waktu di rumah ini daripada di rumah sendiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Takdir
RomanceAda yang patah tapi bukan ranting. Bukan juga tulang kering. Tapi hati, karena harapan yang terbanting. Harapan yang sudah disusun setinggi mungkin harus runtuh oleh kenyataan di saat seseorang yang diharapkan tak datang untuk menyambut. Bahkan hing...